Salman Aristo – Cerita tentang Pencerita

0
2497

Awalnya adalah puisi berjudul ”Candi” karangan Sanusi Pane yang dibaca Salman Aristo di depan kelas III sekolah dasar. Sejak itu, ia jatuh cinta pada puisi dan sastra. Sebelumnya, ia terpikat pada sinema. Gabungan dua bidang seni itu membentuk Salman hari ini. Penulis skenario film.

Salman adalah nama di balik skenario film Ayat-ayat Cinta (adaptasi dari novel karangan Habiburrahman El Shirazy), Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi (Andrea Hirata), serta Garuda di Dadaku. Ketiga film yang disebutkan pertama itu masih berada di daftar sepuluh besar film terlaris Indonesia sejak 2007.

Skenario film pertama yang terwujud di layar lebar, Brownies, masuk dalam nominasi skenario terbaik versi Festival Film Indonesia 2005. Selepas itu, pria kelahiran Jakarta, 13 April 1976, ini merampungkan lima naskah film dalam kurun waktu 18 bulan. Melihat produktivitas itu dan geliat kebangkitan film Indonesia, Salman memutuskan berhenti menjadi wartawan dan fokus pada penulisan naskah film.

Ia tak menyesali keputusan tersebut. Dunia film dan literasi telah memikatnya sejak kecil. Ia juga memulai memproduksi film. Produksi pertamanya, Garuda di Dadaku, mendatangkan 1,5 juta penonton di bioskop-bioskop.

Kecintaan terhadap film mulai tumbuh ketika menyaksikan film Captain America di bioskop sekitar Manggarai, Jakarta Selatan, waktu ia berusia lima tahun. Hingga akhir dekade 1980, Salman menyimak dan mengagumi karya besar film Indonesia, seperti film Taksi besutan Arifin C Noer. Selepas itu, ia lebih banyak menonton film Hollywood karena industri film dalam negeri saat itu roboh.

Pada masa suram perfilman Indonesia tersebut, ia terkesima pada film Rain Man (Barry Levinson, 1988) dan film-film dari Eropa. Dari film itulah, standar tontonannya ”naik”. Uang sakunya habis untuk menonton bioskop. Ia menjadi seorang ”kutu film”, tetapi belum yakin bisa memproduksinya. Baru ketika kuliah di jurusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran, Bandung, wawasannya terbuka. Membuat film tak butuh biaya besar.

Belakangan, ia menyebarluaskan kebisaannya menulis skenario lewat sejumlah pelatihan rutin. Di sela-sela kegiatan perfilmannya, Salman ”menyepi” dengan berkumpul bersama teman-teman band Silentium yang ia bentuk sejak 1999. Musik ialah denyut kreativitasnya yang lain.

Salman Aristo - Kompas/Herlambang Jaluardi (HEI)
Salman Aristo – Kompas/Herlambang Jaluardi (HEI)

Berikut adalah tanya jawab pembaca Kompas dengan Salman Aristo tentang ide, gagasan, dan harapan pemain bas Fender jazz bass ini.


Kagetkah Bang Salman dengan kesuksesan film Ayat-ayat Cinta?

(Aan P, Garut)

Sangat kaget karena di luar dugaan. Pada masa itu, diyakini bahwa sasaran penonton film yang diarah Ayat-ayat Cinta, masih belum ”keluar” ke bioskop. Jadi hasilnya buat saya cukup mengejutkan.


Bang Salman Aristo, bagaimana awal mula Bang Salman terjun di dunia perfilman? Jika ada kesempatan untuk menulis skenario film tentang si Pitung, Jaka Sembung, atau Wiro Sableng, mana yang paling Bang Salman minati, kenapa?

(Irfan Syariputra, Bekasi Utara)

Cerita ini cukup panjang. Tapi, awalnya dari seorang bocah lima tahun yang jatuh cinta pada sinema saat pertama kali ke bioskop bersama orangtuanya. Kalau memang sangat ingin tahu lebih detail lagi, bisa cek ke situs personal saya di salmanaristo.com bagian ”Tentang”.

Tiga-tiganya (Si Pitung, Jaka Sembung, Wiro Sableng) ha-ha- ha. Karena saya lahir-besar di Jakarta, nyaris sudah ”dibaptis” jadi Betawi di area saya dibesarkan di kawasan Menteng Wadas, Jakarta Selatan. Jadi, Pitung adalah pahlawan kanak-kanak saya. Jaka Sembung adalah sentuhan pertama saya dengan film laga Indonesia. Sementara Wiro Sableng selalu jadi jeda paling saya cari saat mencuri waktu dengan membaca komiknya diam-diam.


Apa yang memotivasi Anda terus berkarya di dunia perfilman Indonesia? Terkait film-film yang ditayangkan di televisi, apa pendapat Anda tentang kondisi perfilman Indonesia?

(Perlita Nathania, Yogyakarta)

Pada dasarnya, hasrat terbesar saya adalah cerita. Saya merasa saya adalah pencerita. Film adalah medium yang saya cintai dan saya anggap sangat kuat dalam menyampaikan cerita. Berbagi cerita sepertinya sudah jadi jalan hidup saya. Untung/rugi rasanya sudah tidak relevan dimasukkan dalam ”peta” itu.

Satu yang harus dipahami, bioskop dan televisi adalah dunia medium dan dua industri yang amat berbeda meski saling terkait. Industri film bioskop tempatnya, ya, di bioskop. Televisi punya film dan tata caranya sendiri. Jadi, jangan dicampur logikanya. Jadi, film bioskop industrinya harus tumbuh dengan sehat karena film bioksop, seperti TV, juga punya potensi kontribusi amat kuat ke masyarakat. Soal akses bioskop yang tidak sampai ke akar rumput adalah hal yang sedang diperjuangkan oleh para pekerja film bioskop Indonesia.

Ini memang masalah besar sejak tahun 1990-an sampai sekarang. Melihat negara lain sebagai contoh, misalnya, Korea Selatan atau Tiongkok, bioskop ada di mana-mana sampai ke pelosok. Dulu, pada era 1970-80-an, Indonesia punya bioksop sampai tingkat Kabupaten. Silakan coba juga cari tahu sendiri soal sejarah bioskop di Indonesia.


Bagi saya, Anda adalah salah satu jagoan dalam naskah film di Indonesia. Apa hal paling mendasar agar dapat membuat naskah yang menarik dan dapat ditangkap oleh khalayak? Untuk waktu dekat ini, adakah naskah film yang tengah Anda kerjakan?

(Imas Damayanti, Jakarta Timur)

Tiap penulis punya cara dan metodenya sendiri-sendiri. Selama ini yang selalu saya coba kembangkan adalah membuat relasi antara cerita dan penonton melalui bangunan karakter yang kuat dan memikat. Negeri ini amat kaya dengan berbagai macam kultur dan istiadat, surga buat menggali karakter yang khas, unik, dan sekaligus bisa dirasakan dekat oleh penontonnya. Saat ini ada beberapa naskah yang sedang dikembangkan di Wahana Penulis, tempat saya menggodok cerita bersama rekan-rekan lainnya, mulai dari layar lebar, naskah drama radio sampaiwebseries.


Kapan biasanya Anda menulis skenario? Pernahkah Anda mengalami ”jalan buntu” atau ”tiba-tiba mati ide” saat menulis? Apa yang Anda lakukan kemudian?

(Githa Nila Maharkesri, Depok)

Dulu saya merasa saya adalah ”orang malam”. Namun, sejak benar-benar terjun menjadi profesional, saya melatih diri saya untuk bisa menulis kapan saja dan di mana saja, apalagi teknologi gawai sudah memungkinkan untuk itu. Saat ”mati angin”, saya biasanya akan datang ke hobi saya yang lain, musik. Apakah itu melakukan fingering di bass kesayangan saya, pegang gitar, atau mendengarkan album-album favorit yang sudah saya anggap signifikan dalam hidup saya.


Bagaimana Anda mendapatkan gambaran alur cerita aspiratif yang begitu menarik, lengkap dengan unsur budaya kisah tersebut sehingga pola pikir penonton dapat teraplikasi positif?

(Aditya Jaka Laksana, Cipete Selatan)

Saya selalu percaya dengan yang dibilang almarhum seniman besar Soedjatmoko. Ide itu pasti punya kaki. Artinya, saya selalu berusaha ide-ide saya punya relevansi dengan masyarakat, dengan publik penonton saya. Untuk itulah, saya selalu berusaha dekat dan terimbas terus hingga peka dengan dinamika masyarakat. Dengan cara apa pun.


Mas Salman, mata pelajaran/kuliah apa yang dulu disukai sehingga mampu mengantar jadi penulis skenario andal? Mata pelajaran/kuliah apa yang seharusnya dipelajari agar mampu menjadi seperti Anda?

(Firman Kurniawan Sujono, Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia)

Saya belajar skenario secara otodidak. Disiplin ilmu saya Jurnalistik. Sarjana saya dari bidang itu di Universitas Padjadjaran. Jadi kalaupun ada kolerasinya, adalah menulis. Dan saya mencintai film. Pada titik itulah korelasinya dengan dunia akademis saya. Sisanya, saya belajar sendiri dari buku dan lainnya. Kalau memang benar-benar berminat belajar secara formal, bisa sekolah film.


Bisakah kasih tips supaya termotivasi menulis? Apa yang menjadi pemancing Anda dalam menulis, apakah mengalir saja, atau apakah bikin peta permasalahan?

(Latif Bimo Yustisiano, Kota Cimahi Jawa Barat)

Halo Bimo. Ada banyak teknik menulis. Cari di search engine pasti banyak. Coba saja ketik key word, how to write a novel/screenplay/poem/shortstory. Buku juga banyak sekali. Justru modal awalnya adalah hasrat. Seberapa besar mau meluangkan waktu mencari dan melahap segala hal tentang penulisan itu. Budi Darma pernah bilang terobsesilah dengan menulis, bukan menjadi penulis.


Lebih mudah mana membuat skenario adaptasi (dari novel) atau asli? Bagaimana membuat skenario yang bisa membuat filmnya laris?

(Ahmad Bahtiar, Depok)

Teknisnya lebih kurang sama. Kesulitannya juga khas. Yang satu soal kepekaan terhadap sudut pandang dari karya yang sudah ada. Satunya lagi soal keotentikan cerita kita dan bagaimana orang akan peduli dengan cerita kita.

Ini tidak pernah bisa dijawab dengan satu jawaban pasti sebab ”laris” bukan cuma datang dari skenario saja. Faktornya banyak sekali.


Apakah sinopsis sudah memiliki hak cipta? Rumah produksi atau stasiun TV mana saja yang terbuka untuk menerima sinopsis dari penulis pemula dan apa bisa dikirim lewat surat elektronik? Lalu, bagaimana cara mencegah agar ide kita tidak dicuri sewaktu mengirimkan karya tersebut? Bisa ceritakan sedikit tahapan-tahapan belajar yang dilakukan Mas Aris sehingga bisa menjadi penulis seperti sekarang ini? Misalnya, berapa jam dalam sehari Mas Aris meluangkan waktu untuk menonton film, membaca script, atau hal-hal lain yang dirasa diperlukan untuk menjadi penulis skenario yang berkualitas?

(Apendi, Jakarta Barat)

Sinopsis sudah bisa didaftarkan ke Direktorat Jenderal HKI (Hak Kekayaan Intelektual).Production house dan TV sangat terbuka. Soal curi-mencuri itu sudah ada mekanisme hukumnya. Kalau bisa dibuktikan secara hukum, akan dapat perlindungan dari sana. Sebenarnya, hak cipta itu sudah lahir dengan sendirinya. Jadi siapa pun yang mencuri bisa dituntut.

Saya selalu berusaha meluangkan waktu paling tidak sehari menonton satu tayangan audio visual. Apa pun itu. Dulu waktu masih ada waktu, bisa tiga-empat film sehari. Sekarang minimalwebseries. Sisanya saya selalu terus memburu buku apa pun soal skenario, film, dan penceritaan.


Apa kekhawatiran terbesar ketika Anda menulis sebuah skenario film, apalagi film tersebut diangkat dari novel laris? Bagaimana meyakinkan diri bahwa kekhawatiran itu dapat diatasi?

(Ali Machmudin, Jakarta Pusat)

Kekhawatiran saya selalu sama, adaptasi ataupun tidak, apakah saya sudah mencurahkan semua kemampuan terbaik saya? Cara meyakinkan diri adalah dengan selalu terbuka dengan kemungkinan kalau saya pasti masih berbuat salah dan harus terus belajar. Jadi, belajar tanpa henti adalah jurus utama saya mengalahkan kekhawatiran itu.


Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 25 September 2015, di halaman 33 dengan judul “Cerita tentang Pencerita”