Asam Si Kuah Ikan

0
2993

Kuliner Flores Timur adalah cermin dari hasil alamnya. Ikan laut, baik yang segar maupun kering, jagung, ubi-ubian, dan sayuran, seperti kelor atau jantung pisang, mewarnai wajah kuliner di ujung timur Pulau Flores.

Salah satunya, ikan kuah asam, menu populer di kota Larantuka, Kabupaten Flores Timur. Menu ini dapat dijumpai di beberapa rumah makan di pusat kota. Salah satunya, di Rumah Makan Mas Gempar yang berlokasi di satu sudut taman kota Larantuka.

Rumah Makan Mas Gempar sebenarnya semacam tenda kaki lima yang baru buka sore hingga malam hari. Sebelah-menyebelah adalah para penjaja aneka kuliner lainnya, seperti bakso dan nasi goreng. Ikan yang biasa dijadikan bahan menu ikan kuah asam adalah ikan batu alias yang hidup di bebatuan, seperti kerapu dan kakap. Yang terbaik tentu saja kerapu yang juga menjadi favorit banyak orang.

Lidah segera saja terpikat pada kuah asam yang bersumber dari irisan belimbing wuluh. Kuah kuningnya yang encer, terasa gurih namun ringan. Penggunaan jahe membunuh rasa amis ikan. Kualitas ikan yang baru pagi hari ditangkap juga meminimalisir rasa amis yang muncul. Sebagai gantinya, rasa daging ikan yang manis segar dan terasa kenyal menemani lidah bergoyang.

Sayangnya, kerapu tidak selalu mudah didapat. Di saat musim angin besar, nelayan jarang mendapat kerapu. Bu Pardi, pemilik Rumah Makan Mas Gempar, pun harus sabar menjawab pelanggan yang kecewa karena kerapu tidak ada.

”Kalau sedang ada kerapu, saya bisa habis tiga ikan seukuran begini,” kata Bu Pardi sambil merentangkan kedua tangannya sejauh hampir semeter.

Dalam semalam, ia bisa melayani hingga 75 porsi ikan kuah asam. Ini belum lagi ikan bakar dengan bumbu yang lebih banyak mendapat pengaruh dari Jawa. Bu Pardi yang punya nama kecil Inah sebenarnya asli Cimahi, Jawa Barat. Ia sudah 25 tahun berjualan di Larantuka. Sejak kecil ia tinggal di kota itu karena ayahnya yang tentara ditugaskan di sana. Setelah menikah, ia kemudian membuka warung makan.

Tempat ini sangat ramai mulai pukul 19.00 waktu setempat bersamaan dengan waktu makan malam. Selang dua jam kemudian, bisa-bisa sudah tidak kebagian, terutama untuk ikan kuah asamnya. Menu baru dimasak setelah dipesan.

”Bumbu saya sama dengan bumbu orang asli sini. Hanya saja yang berbeda, saya menambahkan gula pasir, sedangkan orang sini tidak,” ungkap Bu Pardi.

Selain ikan kuah asam, menu setempat yang banyak diangkat ke rumah makan adalah rumpu rampe yang merupakan campuran dari berbagai jenis sayuran, seperti daun pepaya, bunga pepaya, jantung pisang, dan pepaya muda. Dipakai pula sayuran, semacam wortel atau kentang. Memasaknya dengan cara ditumis. Jenis-jenis sayuran ini banyak kita jumpai dijual di pasar-pasar di Larantuka, selain daun ubi dan daun kelor yang biasanya dimasak bening atau ditambahkan santan. Untuk menghilangkan rasa pahit, dedaunan tadi direbus dulu hingga matang baru kemudian ditumis. Cara lain, menaburi irisannya dengan garam lantas diperas airnya baru dimasak.

Bumbu seperti bawang merah, bawang putih, dan haliya atau jahe merupakan bumbu dasar yang sering dipakai. Lada dan cabai juga dipakai sesuai selera.

Dalam berbagai acara hajatan atau pesta, ada lagi salah satu menu yang sering dihidangkan, yakni lawar, semacam salad yang berisikan irisan sayur segar, seperti kol, wortel, daun kesambi, tomat, belimbing wuluh, dan bawang merah. Bumbunya garam, bawang merah, dan lombok. Aroma yang menguar dari campuran sayur-sayuran segar ini benar-benar memancing selera makan.

”Kalau tidak ada lauk, makan ini sebagai pengganti ikan, supaya mudah telan nasi,” kata Antonia, salah seorang warga yang hadir dalam pesta sebelum dimulainya Festival Seni dan Budaya Se-Daratan Flores dan Lembata beberapa waktu lalu.

Ikan tentu saja menjadi menu andalan sehari-hari. Banyak warga membuat sendiri ikan asin. Setelah ikan digarami lantas dijemur 3-7 hari. Matahari terik Flores membuat ikan cepat kering ketika dijemur. Aneka ikan asin juga banyak dijual di pasar. Terlihat segar-segar dengan daging masih berwarna putih dengan rasa yang tidak terlampau tertutup garam. Hanya sekadar digoreng saja sudah terasa nikmat, seperti yang kami cicipi di rumah Mama Ina dalam perjalanan kembali dari Danau Waibelen alias Danau Asmara.

Menu daging

Namun, dalam berbagai pesta atau hajatan, menu daging sapi banyak dihidangkan. Biasanya, daging dibuat semacam sambal goreng atau goreng kering dengan bumbu bawang merah, bawang putih, ketumbar, jahe, merica, dan garam.

Salah satu yang menarik adalah kehadiran kue putu yang terbuat dari singkong yang diolah sedemikian rupa. Singkong setelah dikupas lantas dipotong-potong dan dijemur. Setelah itu, potongan singkong ditumbuk dan dicampur dengan parutan kelapa lalu dikukus. Kue putu biasanya dibentuk besar-besar seperti apem dengan rasa manis dengan tekstur kenyal. Makan seperempat bagian saja sudah terasa mengenyangkan perut. Jenis makanan ini mengingatkan pada soami di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang juga berbahan dasar singkong dengan proses pembuatan serupa.

Singkong bersama palawija dan jenis umbi-umbian lainnya menjadi andalan ketahanan pangan warga Flores Timur. Sebagian besar lahan di daerah ini merupakan tadah hujan yang hanya mampu panen padi sekali saja dalam setahun. Hanya sedikit yang memiliki irigasi teknis sehingga bisa panen padi sepanjang tahun.

Di pasar yang menjadi etalase kuliner setempat, banyak dijumpai singkong, biji jagung, jewawut, sorgum, keladi, uwi, dan berbagai jenis palawija dan umbi lainnya. Jenis-jenis bahan pangan ini biasanya dimakan sebagai pengganti atau campuran nasi. Seperti, serpihan jagung yang dicampur dengan beras lantas diaron dan dikukus bersama. Ada pula yang dijadikan penganan ringan, seperti jagung titi, yakni tumbukan biji jagung di atas batu yang kemudian disangrai. Penampilannya seperti jagung berondong (pop corn).

”Kalau mau terasa kenyang lama, kasih banyak ini campur beras,” kata Yuliana, seorang pedagang sambil menunjuk serpihan biji jagung.

Diungkapkan Sylvester Hurit, staf pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Flores Timur, dahulu kala jauh lebih banyak jenis umbi-umbian yang disantap. Seiring waktu, dengan semakin dominannya konsumsi beras, tinggal umbi jenis tertentu yang masih sering dimakan.

(Sri Rejeki)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2015, di halaman 20 dengan judul “Asam Si Kuah Ikan”