Di tengah kelesuan ekonomi, banyak perusahaan kemungkinan bakal mengurangi penerimaan karyawan baru. Jadi apa yang harus disiapkan mahasiswa mulai saat ini? Jawabannya, membuka usaha.
Bagaimana cara memulainya? Strategic Planner Shafiq Pontoh mengatakan, seseorang perlu mengubah paradigma terlebih dahulu dengan memahami yang diinginkan banyak orang. Dari situ mulailah mencari jawaban pertanyaan umum 5W+1H dari why, kemudian who, where, when, what, lalu how. Shafiq memaparkan itu dalam acara Teras Usaha Mahasiswa: Kembangkan Usahamu Lampaui Batas yang diselenggarakan harian Kompas dan Bank BRI di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, Selasa (8/9). Setelah Medan, acara tersebut digelar di Yogyakarta, Makassar, Bandung, Jakarta, dan Denpasar. Setelah seminar kewirausahaan, harian Kompas-Bank BRI mengadakan kompetisi kewirausahaan oleh mahasiswa dengan hadiah total Rp 420.000.000.
Di Medan, hadir pembicara antara lain Change Management Consultant & Entrepreneur Christopher Tobing, Account Officer BRI Sumut Muhammad Fadel, dan Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Sutta Dharmasaputra. Sekitar 300 mahasiswa dari tujuh universitas di Medan antusias mengikuti acara ini. Ruangan penuh hingga tengah hari. Selepas makan siang, peserta tetap antusias mengikuti sesi berbagi di tiga tempat bersama Alween Ong, pemilik CV Al Company Indonesia; Windi Septia Dewi, pemilik Teri Bajak Medan; dan Aditya ST, pemilik DreamARCH Animation.
Dagang mi
Christopher bercerita, ia belajar berusaha pertama kali dengan menjual mi instan saat studi di Australia. Mi seharga 25 sen itu ia jual 50 sen ke mahasiswa yang datang ke kamar kosnya. Ia pun terkenal sebagai pedagang mi instan.
Ia memulai dari pertanyaaan kesukaanku itu apa? Setelah lulus Christopher sempat bergabung dengan korporasi. Saat ia hendak keluar dan menceritakan minatnya, teman-temannya bertanya, bener lo mau ke situ? Pertanyaan-pertanyaan dari teman-teman pasti bermunculan ketika seseorang memulai bisnis. Namun, yang utama adalah kerjakanlah rencana itu, jangan hanya rencana, kebanyakan diskusi dan rapat tanpa ada keputusan. Kerja keras dan kerja pintar harus dilakukan bersamaan. Itu karena tidak banyak orang mau kerja keras.
Kerja keras pasti ada hasilnya. Setelah kerja keras lalu kerja pintar dengan melakukan efisiensi. Lalu, kerja keras lagi untuk mengembangkan usaha, lalu efisiensikan lagi, begitu seterusnya. Jika tidak, seseorang akan masuk zona aman yang membuat bisnis tidak berkembang.
Jika gagal, jangan putus asa karena menurut Christopher tidak semua usaha membuahkan hasil yang bagus. ”Saya pernah buka tempat latihan kebugaran, tutup. Pernah jadi manajer majalah, hanya BEP. Pernah juga jualan billboard, tetapi lalu masuk yang kelompok 80 persen jatuh,” urai Christopher yang Direktur NusantaraRun itu. Hal tersebut terjadi karena pebisnis tidak fokus, bedakan hobi dengan bisnis. Hobi itu mengeluarkan uang, sedangkan bisnis menghasilkan uang.
Bisnis dimulai dari diri sendiri. Apa nilai tambah untuk saya? Uang, waktu, keluarga, atau yang lain. Lalu apa nilai tambah bagi keluarga? Yang terakhir, apa nilai tambah bagi dunia. Karena, jika tidak ada nilai tambah bagi dunia, bisa jadi itu bisnis yang tidak etis.
Christopher juga menyatakan, bisnis harus dijalankan profesional. Jika anggota keluarga/kawan yang terlibat bisnis tidak mampu menjalankan tugas, harus ada ketegasan/keberanian untuk menegur, bahkan memecatnya. Bisnis pasti jatuh bangun. Jika jatuh, bersyukurlah dan belajar dari kejatuhan itu bahwa hidup tersebut keras dan selanjutnya lakukan yang benar. Pebisnis juga bukan bos. Pebisnis memulai usaha dari nol mengerjakan semuanya sendiri. Baru setelah ada asisten, pekerjaan bisa dibagi. Bisnis juga butuh proses, tidak semua serba instan. Tidak bisa menghindari proses. Hanya saja, proses itu bisa dipercepat.
Yogyakarta dan Makassar
Di kampus Universitas Negeri Yogyakarta, Shafiq Pontoh menyatakan hal yang sama dengan di Medan. Ia menyemangati sekitar 300 mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Yogyakarta yang antusias meminta saran tentang bisnis yang akan mereka jalankan. Di antara mahasiswa itu ada yang ingin membuka usaha percetakan.
Ada pula Rudianto, mahasiswa Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, yang ingin membuka usaha makanan sehat, tetapi tak tahu memulai dari mana. ”Ide itu bagus sekali, tetapi untuk memulai bikin usaha, bukalah usahamu di dekat ’pasarnya’. Cari orang yang memang sudah punya kebutuhan untuk makan sehat. Dari situ, nanti akan berkembang lebih luas,” saran Shafiq. Di ”Kota Pelajar” itu, selain Shafiq, ada juga aktor Rio Dewanto, Kepala Biro Kompas Yogyakarta dan Jawa Tengah Bambang Sigap Sumantri, serta Kepala Bagian Bisnis Program Kemitraan BRI Yogyakarta Tri Sakti Budi Cahyono.
Rio memaparkan bisnis kedai kopi yang ia rintis sejak April lalu. Agar berbeda dengan kedai lain, Rio sengaja tak menyediakan fasilitas Wi-Fi. ”Saya ingin siapa pun yang datang ke kedai kami ya untuk bersilaturahim. Bukan malah datang barengan, tapi malah sibuk dengan gadget masing-masing,” kata Rio. Dalam acara yang sama di Gedung Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin, Makassar, Selasa (15/9), selain pembicara dari kalangan wirausaha, hadir pula Pemimpin Wilayah Bank BRI Makassar Supari dan Wakil Rektor Universitas Hasanuddin Bidang Kemahasiswaan Abdul Razak.
Supari menjelaskan kondisi BRI saat krisis ekonomi tahun 1998-1999. ”Bank BRI mungkin menjadi salah satu bank terdampak krisis, tetapi kami tak langsung kolaps. Jatuh lalu bangun lagi. Yang membuat kami kuat adalah keberadaan puluhan ribu usaha kecil menengah yang cukup tangguh menghadapi krisis. Mereka adalah nasabah kami. Itulah mengapa kami mendorong tumbuhnya wirausaha muda,” tutur Supari.
Masih soal kewirausahaan, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Unhas Abdul Razak mengatakan, setiap tahun ada sekitar Rp 1 miliar dana bantuan pemerintah yang dikelola Unhas untuk kewirausahaan. ”Dana itu diberikan ke mahasiswa yang memiliki usaha. Ada yang dikembalikan, ada yang tidak. Namun, intinya kami ingin semangat berwirausaha itu sudah tumbuh sejak mahasiswa. Sudah bukan zamannya lagi berharap jadi karyawan atau pegawai setamat kuliah,” katanya.
(WSI/REN/TRI)
ARGUMENTASI
Menjual ”Narkoba”
Melonjaknya harga kebutuhan pokok membuat saya harus bekerja keras mencari tambahan uang saku. Saya membuka usaha untuk mencari uang dan latihan berwirausaha.
Setiap hari saya menjual nasi rames khas Karangkobar (”narkoba”) di depan kos. Resep masakan saya dapat dari ibu pemilik warung di Desa Karangkobar. Kata ”narkoba” sengaja saya pakai untuk memancing perhatian pembeli. Benar, banyak pembeli datang ke kos sampai polisi yang sedang berpatroli pun berhenti. Setelah mendengar penjelasan saya, mereka tersenyum dan ikut membeli ”narkoba” saya. Saya harus sabar dan telaten melakukannya. Tiap hari saya harus bangun pagi untuk memasak dan menyiapkan semua hal. Berkat ”narkoba”, saya bisa memenuhi sendiri kebutuhan hidup dan untuk kuliah.
Berani Memulai
Sebagai pelaku usaha baru, saya bekerja sama dengan teman yang lebih dulu berwirausaha dengan menjual pulsa. Dengan modal kecil-kecilan, saya bisa menjalankan usaha pertama ini.
Ketika waktu perkuliahan berkurang, saya dengan beberapa teman membuat usaha katering yang amat dibutuhkan mahasiswa. Faktor kesibukan membuat umumnya mahasiswa lupa makan. Akibatnya, kesehatan mereka sering terganggu sehingga banyak mahasiswa menderita penyakit lambung.
Butuh kerja keras dan keuletan saat memulai usaha. Bangun pagi-pagi sekali, memasak, dan mengantar rantangan sampai tempat pelanggan menjadi keseharian kami. Meski kadang-kadang bosan dan lelah, kepuasan pelanggan membuat kami semakin bersemangat.
Terganjal Kegiatan Kampus
Tingginya biaya hidup membuat saya sempat berpikir untuk mengawali berbisnis dengan teman. Bisa disebut bisnis miniatur untuk kado ulang tahun. Menurut rencana, saya dan teman akan membuat miniatur kue dari tanah liat (clay) bertulisan happy birthday. Sasaran pembelinya ya teman-teman kampus. Setiap hari pasti ada yang ulang tahun, pasti bakal laku begitu pikir kami. Menurut rencana, bakal dijual secara daring (online). Promosi awal sudah berlangsung. Kami membawa contoh saat menemui calon pembeli.
Sayang sekali, rencana itu terhenti walau bahan-bahan untuk bisnis sudah dibeli. Itu karena jam kuliah dan kegiatan organisasi yang padat. Berbisnis saat kuliah memang harus pintar-pintar bagi waktu. Kalau tidak, kuliah terbengkalai, ya bisnisnya yang tak jalan.
(Soelastri Soekirno)
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 18 September 2015, di halaman 34