Tak banyak orang tahu, kita pernah punya lapangan udara di ketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut di Pulau Jawa. Lapangan udara Cikasur namanya. Ia terletak di dataran tinggi Hyang, di antara Kabupaten Probolinggo dan Situbondo, Jawa Timur. Kini jalan masuk ke Cikasur hanyalah jalan setapak. Setelah tak lagi menjadi lapangan terbang, Cikasur banyak mendapat kunjungan warga yang ingin menikmati keindahan alam di sana.

Pasca kemerdekaan, pemerintah sudah tak memfungsikan lagi lapangan terbang Cikasur. Bekas landasan pacu yang sudah tertutup sabana dan sebuah rumah sebagai pengontrol lapangan terbang sudah rusak. Tinggal menyisakan reruntuhan dan tiang-tiang pancang bangunan. Sejauh mata memandang, kita bisa menikmati lautan padang rumput yang luas dengan beberapa bukit berhias satu-dua pohon pinus. Berjalan agak ke tengah sedikit, akan terlihat dua garis sejajar memanjang sekitar 150 meter, yang menampakkan bekas lapangan terbang.

Cikasur kini merupakan salah satu pos pendakian menuju Gunung Argopuro, yang memiliki puncak tertinggi dataran Hyang (3.088 meter di atas permukaan laut). Perjalanan dimulai melalui jalur Desa Baderan, Kecamatan Sumber Malang, Kabupaten Situbondo. Wilayah dataran tinggi Hyang terletak di empat kabupaten di Provinsi Jawa Timur, yakni Situbondo, Jember, Bondowoso, dan Probolinggo.

Sabli (20), mahasiswa asal Malang, salah satu pengunjung Cikasur, berkata, ”Saat melihat burung merak di pagi hari, indah sekali. Perjalanan panjang kami menuju Argopuro terbayar dengan indahnya Cikasur.” Hewan liar seperti merak, kijang, rusa, babi hutan, monyet, dan macan kumbang memang masih banyak meski mereka jarang tampak jika pengunjung sedang ramai. Hewan-hewan itu umumnya muncul pada malam hari untuk minum air dari Sungai Qolbu yang mengalir melintang di pinggir Cikasur.

Peninggalan Hindu Buddha

Menurut sejarawan dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, pada awal abad IX seorang peneliti Inggris, HG Quaritch Wales, mengadakan penelitian tentang pemujaan terhadap dewa-dewa di tanah Jawa dan mengumpulkannya di dalam sebuah buku yang berjudul Mountain of God.

”Tempat pemujaan biasanya berada di puncak-puncak gunung. Atau jika tempat ibadahnya terdapat di lereng, arah orientasi ibadahnya ke arah puncak gunung,” kata Dwi saat ditemui di Malang pada Agustus lalu.

Jalur lapangan terbang sendiri dibuat awalnya bertujuan untuk memudahkan Wales melakukan riset. Dalam buku itu dijelaskan, Wales tak sendirian, tetapi disertai oleh ahli biologi dan ahli botani yang juga melakukan penelitian. Dalam penelitian, mereka juga menemukan banyak spesies hewan dilindungi di area Argopuro.

”Sebagai salah satu tujuan penelitian, dibuatlah penangkaran hewan di sekitar area Cikasur dengan pertimbangan di daerah tersebut terdapat tanah yang relatif rata sehingga memungkinkan menjadi penangkaran hewan,” ujar Dwi.

Namun, soal dua garis sejajar atau bekas jalur lapangan terbang tersebut sebelumnya sudah ada pada saat tradisi Hindu Buddha. ”Kemungkinan itu bekas jalan berbatu untuk jalur pemujaan, sehingga saat Wales dan tim membuat landasan terbang, ia tinggal mengikuti bekas jalur tadi,” lanjutnya.

Tertutup untuk pendakian

Untuk mencapai Cikasur, pengunjung dari Situbondo butuh waktu normal sekitar dua hari perjalanan, atau jika berjalan tanpa istirahat perlu waktu tempuh sekitar 12 jam perjalanan. Cukup melelahkan, terutama bagi pendaki pemula. Karena alasan itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur tidak menyarankan untuk mendaki gunung Argopuro.

”Sebenarnya tidak disarankan untuk mendaki ke Argopuro karena ini suaka margasatwa, bukan taman nasional,” kata Arifin dari Staf Sub BKSDA Jawa Timur Wilayah Jember yang ditemui di Desa Bermi, Probolinggo.

Meski sudah dilarang, warga Baderan banyak lalu lalang menggunakan sepeda motor di jalur pendakian. Menurut Arifin, sebenarnya dahulu dibuka jalur sepeda motor untuk perlombaan sepeda motor trail, tetapi ditutup lagi setelah perlombaan usai. ”Namun, warga membuka kembali,” ujar Arifin. Warga memanfaatkan jalur motor tersebut untuk mengambil bunga angin yang tumbuh di sekitar sabana Cikasur. Kadang-kadang mereka berburu rusa dan kijang.

”Perburuan tersebut sebenarnya tidak boleh. Namun, apa boleh buat, kami hanya bisa mengimbau. Semua kembali ke masyarakat lagi,” lanjut Arifin.

(Muhammad Rifqy Fadil Departemen Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran)


Versi cetak artikel ini terbit di kolom ‘Liputan Kampus’ harian Kompas edisi 18 September 2015, di halaman 35