Mayoritas pengguna ponsel dengan sistem operasi Android di Indonesia akan menemukan Play Store begitu mengoperasikan gawai mereka untuk pertama kali. Sebagai pasar aplikasi, di tempat itu pengguna bisa mencari perangkat lunak untuk dipasang sehingga ponsel tersebut memiliki fitur atau kemampuan yang mendukung aktivitas sehari-hari.
Suka menghabiskan waktu dengan terhubung ke jejaring sosial tinggal mencari aplikasi semacam Facebook, Twitter, Path, atau Sebangsa. Mereka yang gemar memanfaatkan kamera ponsel bisa memilih berbagai opsi, seperti Instagram, Flickr, Vine, Snapseed, atau Camera FV-5. Play Store menawarkan pilihan aplikasi bagi pengguna untuk diunduh, sebagian dengan skema gratis dan selebihnya berbayar.
Layanan riset Statista menyebut bahwa jumlah aplikasi yang diunggah oleh para pengembang ke pasar aplikasi ini mencapai 1,6 juta buah pada bulan Juli. Angka tersebut menempatkan Play Store sebagai pasar aplikasi paling banyak dibandingkan sistem operasi lain, seperti App Store untuk iOS sebanyak 1,5 juta buah atau Amazon Appstore sebanyak 400.000 buah.
Dari angka dan pertumbuhan tiap semester bisa dibayangkan betapa ramainya aplikasi baru yang hadir di katalog produk Play Store setiap hari. Hal tersebut justru memunculkan masalah baru bagi pengguna, yakni mengetahui aplikasi mana yang paling sesuai dengannya mengingat dia harus memperhatikan daya tampung perangkatnya.
Masalah yang sama juga dihadapi oleh pengembang aplikasi yang ingin produk mereka banyak dipasang. Katalog yang bertambah tiap hari bisa membuat karya mereka terkubur dengan cepat, kecuali mau mengeluarkan uang untuk memasang iklan sehingga aplikasi ditampilkan di halaman depan agar mudah ditemukan pengguna. Umumnya metode itu paling manjur mengingat pengguna kian tidak punya waktu untuk berburu sendiri.
Masalah berikutnya adalah mekanisme pembayaran di Play Store yang sebelumnya hanya bermodalkan kartu kredit baik untuk membeli aplikasi maupun transaksi di dalamnya (in app purchase). Jumlah pengguna kartu kredit di Indonesia hanya 3-4 persen dari total populasi atau sekitar 16 juta nasabah. Jumlah ini kontras dengan jumlah pengguna ponsel pintar yang mengakses internet dari gawai mereka, yang menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia sebanyak 85 persen dari pengguna internet atau 74,8 juta orang.
Masalah pembayaran sedikit terpecahkan karena kerja sama Google dengan operator telekomunikasi dengan memotong pulsa. Artinya, pengguna bisa memilih untuk bertransaksi dengan pulsa untuk membeli aplikasi atau barang-barang virtual di dalamnya.
Pasar lokal
Dominasi Google tidak menghentikan pemain lain untuk ikut terjun di bisnis pasar aplikasi. Muncul sejumlah pemain yang menjual konten lokal untuk pengguna, misalnya Yandex Store yang digunakan di Rusia dan beberapa negara, seperti Ukraina, Kazakhstan, dan Turki. Dengan koleksi sekitar 120.000 aplikasi pada tahun 2014, mereka bekerja sama dengan merek ponsel untuk dipasang sebelum diedarkan ke tangan konsumen.
Pengguna di Tiongkok hanya bisa menggunakan pasar aplikasi lain di luar Play Store. Google menghentikan layanan di sana sehingga aplikasi mereka, seperti peta, surat elektronik, dan panduan kesehatan, tidak bisa dipergunakan. Para pelaku lain meramaikan pasar aplikasi, seperti Tencent, Baidu, dan Xiaomi dengan konten lokal mereka.
Salah satunya, Baidu makin serius menggarap pasar di luar Tiongkok dan Indonesia termasuk di dalam rencana mereka. Ditemui di sela-sela acara Konferensi Permainan Mobile Indonesia-Tiongkok beberapa waktu lalu, Bo Jianlei, Direktur Baidu Indonesia, menuturkan bahwa mereka memiliki katalog berisi 500.000 aplikasi untuk membantu pengembang dalam negeri memasarkan karya mereka. Salah satu hal yang disebut, aplikasi mereka akan lebih mudah ditemukan ketimbang diunggah ke Play Store.
Baidu, kata Jianlei, bakal berfungsi sebagai perantara antara pengembang lokal yang ingin memasarkan produk di Tanah Air atau dipasarkan ke pasar luar negeri. Hal serupa dilakukan untuk produk dari luar Indonesia seperti Tiongkok yang dipersiapkan masuk ke Tanah Air. Selain menerjemahkan ke bahasa lokal, mereka juga memberikan konsultasi mengenai tampilan antarmuka agar sesuai dengan karakteristik pemain di sebuah negara.
Baidu tidak berambisi muluk. ”Kami hadir bukan untuk menggantikan Play Store,” kata Jianlei.
Perusahaan yang dikenal dengan produk peramban (browser), yakni Opera, juga serius menggarap pasar aplikasi di Indonesia. Baru-baru ini mereka meluncurkan Opera Subscription Mobile Store bekerja sama dengan tiga operator telekomunikasi Indonesia, yakni Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat. Cara kerjanya, pengguna hanya perlu membayar biaya langganan sebesar Rp 3.300 hingga Rp 5.500 selama seminggu dan mereka bebas untuk mengunduh aplikasi apa pun di katalog yang disediakan, baik yang gratis maupun yang sebelumnya berbayar.
Menurut Ivollex Hodiny, Growth Director of Asia Opera Software, skema tersebut bisa membantu para pengembang agar karyanya lebih mudah ditemukan dan dipergunakan. Dari sudut pandang operator telekomunikasi, mereka bisa memberi insentif kepada pelanggan dengan menghadirkan konten eksklusif.
Saat ini, Opera memiliki koleksi aplikasi sebanyak 300.000 buah untuk diunduh dari situsnya. Hodiny mengatakan, layanan tersebut akan sejalan dengan produk peramban yang memiliki varian berdasarkan kemampuan untuk kompresi data agar pengguna bisa berhemat. Saat ini terdapat 30 juta pengguna Opera di Indonesia, masih jauh di bawah angka pasar aplikasi seperti Play Store.
Masih ada kue yang tersisa dari pasar aplikasi untuk semua.
(DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO)
Versi cetak artikel ini terbit di Kompas Web edisi 17 September 2015, dengan judul “Berbagi Kue dari Pasar Aplikasi”