Bak bunga cantik di musim semi, demikianlah Chelsea Elizabeth Islan (20). Baru terjun ke dunia film sejak 3 tahun lalu, pesonanya sudah mekar menghiasi perfilman Nusantara.
Gadis dengan mata berbinar yang lahir di New York dan mulai menetap di Jakarta sejak taman kanak-kanak ini tak butuh polesan riasan demi tampil cantik. Ketika berkunjung ke kantor redaksi Kompas, gayanya natural, dengan celana panjang dan jaket longgar, dan wajah tanpa riasan.
Sabtu itu sebenarnya merupakan hari libur satu-satunya yang dimiliki Chelsea di bulan Agustus lalu. Tapi, ”Mustahil untuk libur di bulan ini. Bulan ini didedikasikan untuk 3 Srikandi,” ujar Chelsea tentang film di mana ia menjadi pemeran utamanya.
”Straight to the point. Apa yang ingin ditanyakan?” katanya memulai perbincangan yang berawal serius, namun berakhir penuh tawa itu.
Setelah sebelumnya bermain dalam film-film serius bertema sejarah hingga politik yang butuh penjiwaan luar biasa, tampil di film komedi seperti membawa angin segar. ”Bukan slapstick komedi fisik. Kita fresh comedy. Smart comedy. Tidak melucu tapi orang tertawa. We are not comedian. Saya aktris yang berusaha membuat orang tertawa, tapi tidak fisik. Lewat dialog, kalimat, dan ekspresi wajah,” tambah Chelsea.
Salah satu film yang dibintanginya, Love You… Love You Not yang diadaptasi dari film laris asal Thailand I Fine Thank You, itu menjadi film komedi pertama yang dibintangi Chelsea. Di saat yang hampir bersamaan, Chelsea juga sudah harus mempersiapkan diri untuk film 3 Srikandi. Apalagi, tuntutan peran untuk 3 Srikandi cukup berat. Hari-harinya diisi dengan olahraga ketat sejak April lalu.
Tertambat panahan
Tak lebih dari dua pekan dari Love You… Love You Not, karakter Amira harus sudah dinetralisir dan tergantikan oleh peran baru sebagai Lilies Handayani dalam 3 Srikandi. Film terbaru yang akan tayang perdana Desember mendatang itu unik karena mengangkat kisah tiga atlet panahan perempuan Indonesia yang pertama kali meraih medali di ajang Olimpiade.
Bersama dengan Nurfitriyana Saiman (diperankan Bunga Citra Lestari) dan Kusuma Wardhani (diperankan Tara Basro), Lilies meraih medali perak untuk Indonesia di Olimpiade Seoul, Korea Selatan, pada 1988. Berperan sebagai atlet yang berkiprah di era 1980-an, Chelsea merombak penampilannya menjadi lebih ”jadul” dengan rambut keriting tergerai dan kulit menghitam terbakar matahari. ”Enggak boleh terlalu kurus. Ini sudah naik berat badannya. Enggak dihitung. Di layar sudah kelihatan beda,” tambahnya.
Memerankan atlet panahan ternyata bukan perkara mudah. Selama enam bulan terakhir, stamina fisik benar-benar diuji karena banyak adegan lari. Tenaga pun terkuras habis untuk berlatih panahan. Bayangkan, berat untuk menarik busur saja sekitar 8 kilogram dan meningkat menjadi 12 kilogram plus anak panah. ”Belum sampai berotot sih, tapi kataku sudah ada shape-nya. Wah Chelsea sudah berotot ni ye,” ujar Chelsea dengan nada bangga.
Latihan panahan semakin melelahkan karena digelar di beberapa tempat, seperti lapangan areal Bumi Perkemahan Cibubur hingga kamp latihan panahan di Ujung Genteng, Sukabumi. Perjalanan 5-7 jam dari Jakarta menuju Ujung Genteng ternyata tetap dilakoni dengan ceria oleh Chelsea. Bahkan, di sela padatnya jadwal latihan di Ujung Genteng, ia masih sempat ”melarikan diri” ke Jakarta untuk melihat drama musikal dengan dirinya berperan sebagai produser eksekutif.
Tantangan berat lain yang sulit ”dicuri” dalam film 3 Srikandi adalah dialek medok Surabaya yang melekat dalam diri Lilies. Khusus untuk belajar dialek Jawa Timur, Chelsea didampingi guru bahasa untuk latihan selama dua hingga tiga pekan. Ketika diminta mengucapkan kalimat dalam dialek Surabaya, Chelsea memilih merahasiakan agar menjadi kejutan pada tayang perdana yang direncanakan digelar pada 24 Desember.
Tak hanya di Indonesia, Chelsea juga harus terbang ke Korea untuk pengambilan gambar Olimpiade Seoul. ”Jadi jatuh cinta dengan panahan. Setelah ini pasti akan melanjutkan panahan. Stress release, latih konsentrasi, penuh disiplin, dan membutuhkan determinasi juga. Mata kita harus jeli melihat busur serta anak panahnya. Kalau enggak sabar, jadinya anak panahnya lari ke mana-mana. Apalagi kalau emosian. Belajar banyak sekali. Take it easy, slowly, dan fokus!” kata Chelsea.
Ragam karakter
Tiga tahun terakhir, Chelsea super produktif sebagai pemain film layar lebar. Sebelum 3 Srikandi dan Love You… Love You Not, ia mengawali kariernya dengan film Refrain (2013), Street Society (2014), Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar (2014), Di Balik 98 (2015), dan Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015). ”Mau ambil karakter berbeda biar kelihatan grafik emosinya, untuk pengembangan akting,” tambahnya.
Dari peran anak SMA yang lugu di Refrain, Chelsea berubah menjadi Karina dengan gangguan jiwa di Street Society. Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar dan Di Balik 98 menjadi film kebanggaannya karena semakin menuntut kematangan berakting. Karena aktingnya sebagai aktivis reformasi mahasiswa di film Di Balik 98, Chelsea diwawancara khusus oleh stasiun televisi berita ABC di sela gelaran Indonesian Film Festival 2015 di Melbourne, Australia. Memakai baju tenun lurik karya desainer Didiet Maulana, Chelsea tersipu ketika presenter ABC mewawancarai kemungkinan dirinya suatu saat bakal menapaki Hollywood.
”Gimana ya rasanya. Aku punya mimpi. Cita-cita aku memang ingin sampai sana (Hollywood) agar perfilman Indonesia bisa terseret ke sana. Untuk perfilman Indonesia juga kalau sampai terwujud,” kata Chelsea.
Kematangan dalam bermain peran semakin dibangun ketika tampil sebagai gadis blasteran Belanda-Indonesia bersama aktor-aktris kawakan, seperti Christine Hakim, Didi Petet, dan Alex Komang, dalam film sejarah Guru Bangsa Tjokroaminoto. ”Enggak ada target. Setiap film yang aku ambil pasti harus dipikir baik-baik. Kalau karakter sama, enggak ada tantangan baru. Selalu cari tantangan baru,” ujarnya.
Terlanjur jatuh cinta dengan industri perfilman Indonesia, Chelsea tak puas sekadar menjadi bintang film. Sembari terus belajar, ia memantapkan langkah untuk menjadi sutradara film layar lebar. Sejak usia 16 tahun, Chelsea sudah membuat dua film indie yang sempat dikirim ikut lomba di Europe on Screen Film Festival.
”Aku pengin banget bikin film tentang perjuangan anak kecil di Indonesia yang tidak mendapat pendidikan. Idealis memang. Sedih lihat pendidikan yang belum didapat oleh semua anak. Aku belum tahu detailnya, tapi garis besarnya tentang pendidikan,” kata Chelsea. Tak hanya cantik, kebaikan hatinyalah yang bakal membuat setiap orang kepincut, terpanah pesona Chelsea…. Ah.
(Mawar Kusuma)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 September 2015, di halaman 17 dengan judul “Terpanah Pesona Chelsea”