Monolog Koruptor, Pembohong sejak dalam Pikiran

0
7063

Sesungguhnya dampak korupsi sedemikian luas. Tak hanya rakyat miskin yang menjadi korban, mereka yang selayaknya turut menikmati korupsi itu pun menjadi korban.

Monolog #3Perempuanku: Bukan Bunga Bukan Lelaki mencoba membentangkan betapa dampak korupsi itu. Lakon ini seolah menegaskan bahwa koruptor memang pembohong sejak dalam pikiran. Siapa pun yang bersinggungan dengannya bakal merugi.

Lewat penuturan Wagiyem, Renata, dan Liza Syasya, terkuak kesejatian watak koruptor itu. Koruptor sejak awal muncul sebagai sosok yang tak bertanggung jawab. Wagiyem, Renata, dan Liza tidak pernah saling kenal, tetapi hidup mereka beririsan oleh korupsi.

Tokoh Wagiyem, yang diperankan Inayah Wahid, adalah perempuan desa yang menyambung hidup dengan menjadi buruh cuci pakaian di kampung. Dia ditinggal suaminya, Wagiyo, yang pamit ke kota menjadi anggota parlemen. Namun, setelah itu, tak pernah ada kabar berita. Wagiyem curiga suaminya, yang mantan preman Pasar Wage itu, beristri lagi sehingga tak kunjung pulang.

Jauh di tengah kota, Renata (Olga Lydia) merana meratapi nasibnya. Dia ditinggal suaminya, Tirto. Tirto awalnya bukanlah siapa-siapa. Ayah Renata lalu memungutnya dan menjodohkannya dengan Renata. Lama-lama dia kurang ajar dengan jarang pulang. Tiga bulan terakhir menghilang dari rumah. Naluri keperempuanannya membisikkan bahwa Tirto mempunyai perempuan lain yang membuatnya malas pulang.

Adalah Liza (Happy Salma), perempuan belia yang juga merana ditipu lelaki pujaannya, Om Wio, pengurus partai politik. Dia kepincut Om Wio yang menjanjikan akan mengorbitkannya sebagai penyanyi dangdut. Ia ingin seperti Iis Dahlia atau Ikke Nurjanah. Untuk itu, hati dan raganya dia tumbalkan untuk Om Wio seorang demi obsesinya.

Belakangan Om Wio menghilang. Hanya bunga-bunga yang datang menggantikannya. Ketika Liza menagih janjinya lewat telepon, Om Wio malah mengatakan badan Liza kurang aduhai.

Perasaan ketiga perempuan itu semakin tak tenang setelah muncul berita tentang penangkapan seorang wakil rakyat yang terlibat korupsi daging sapi. Ketiganya dituding ikut menikmati hasil korupsi. Siapa sebenarnya wakil rakyat itu?

Perspektif korban

Penulis naskah Putu Fajar Arcana dan sutradara Rangga Riantiarno menyuguhkan pemanggungan monolog yang terbilang segar. Mereka memunculkan tiga perempuan di tiga panggung berbeda. Kehadiran mereka terasa hidup oleh jalinan cerita dan dialog yang bersahutan.

Ketiga perempuan tersebut dapat dikategorikan sebagai pengejawantahan korban. Mereka mengekspresikan kemarahannya dengan mencurahkan kegalauan hati. Tengoklah Wagiyem yang berbicara dalam bahasa Banyumasan. Logatnya yang ngapak dan meledak-ledak itu jelas sekali menyimpan amarah.

Itu pilihan sadar Inayah menggunakan bahasa Banyumasan. Ledakan emosinya menjadi lebih terasa. Dia belajar bahasa Banyumasan dari banyak orang. Termasuk dari Zainuddin atau Jai, pengurus Jaringan Gusdurian, wadah pengagum Gus Dur, ayahanda Inayah. ”Awalnya saya dianggap meledek dia, he-he-he,” kata Inayah yang menilai aksen bahasa Banyumasan sangat pas untuk mengekspresikan kemarahan Wagiyem.

Inayah yang telah 15 tahun berteater ini tak canggung memerankan Wagiyem. Dalam beberapa sesi latihan, dia sangat rileks. ”Mungkin karena sehari-hari saya ini memang berakting,” kelakar Inayah saat ditanya tentang kematangan aktingnya. Inayah bersedia memerankan Wagiyem karena menyimpan unsur perlawanan itu. Ini sebangun dengan aktivitas dia yang juga aktif di dunia pergerakan sejak mahasiswa.

Berbeda dengan Happy Salma yang merasa agak susah beradaptasi menjadi Liza. Apalagi dia dituntut untuk bergoyang dan bernyanyi dangdut. Dia kerap latihan bernyanyi di rumah. ”Saya ini susah kalau diminta bergoyang sambil bernyanyi. Saat goyang, lupa lirik. Begitu juga saat bernyanyi, lupa bergoyang. Jadi masih perlu banyak latihan,” kata pemain teater yang terbiasa memainkan tokoh-tokoh idealis seperti Inggit Garnasih.

Monolog #3Perempuanku ini terasa lebih segar dengan ilustrasi musik yang dibawakan dan digarap Dewa Budjana. Gitaris Gigi ini memberi rasa baru dalam pentas monolog dengan mengusung warna jazz. Jika monolog ini adalah makan malam, musik Budjana menjadi suguhan sejenis es cendol. Tidak lumrah, tetapi memberi kesegaran.

Rangga mengatakan, musik yang dibawakan Budjana dan rekan-rekannya memberi referensi baru dalam pentas monolog. Selama ini, musik ilustrasi teater monolog cenderung ngerock dan keras. Budjana memasukkan kerancakan dan kelembutan di sana. ”Sejauh ini sih mantap,” kata Rangga di sela-sela sesi latihan.

Budjana menafsirkan naskah monolog itu dengan musik khas dia. Adakalanya mengalun lembut, tetapi pada saat lain menggebrak dengan distorsi gitar, seperti mencurahkan amarah. Juga, dia menyajikan musik dangdut dengan menambah sentuhan seruling tentunya.

”Saya baca naskahnya dan mencoba memberi sentuhan musik. Latihannya hanya seminggu. Setelah itu saya tinggal ke Praha untuk rekaman album Duo bersama Tohpati. Tanggal 26 September tinggal memainkan musiknya saat pentas #3Perempuanku nanti,” kata Budjana.

Lakon #3Perempuanku: Bukan Bunga Bukan Lelaki ini akan dipentaskan Arcana Foundation di Taman Ismail Marzuki pada Sabtu, 26 September 2015, pukul 20.00.

(Mohammad Hilmi Faiq)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 September 2015, di halaman 26 dengan judul “Monolog Koruptor, Pembohong sejak dalam Pikiran”