Sejak didaki Tenzing Norgay dan Edmund Hillary pada 29 Mei 1953, Everest terus menjadi magnet. Beberapa upaya ”menaklukan” Everest berujung menjadi tragedi, termasuk tragedi pendakian Mei 1996. Film terbaru tentang tragedi itu, Everest, menghadirkan ”pertempuran” lain dalam ”penaklukan” Everest.
”Tubuh manusia tidak dirancang untuk berfungsi pada ketinggian jelajah terbang pesawat jet. Tubuh kita akan mati, bukan kiasan. Tanpa keraguan, Everest adalah tempat paling berbahaya di dunia,” kata Rob Hall (Jason Clarke) di hadapan para kliennya, pendaki amatir yang ingin merasakan berdiri di puncak tertinggi bumi, 8.848 meter di atas permukaan laut.
Kali ini, Februari 1996, Hall berhadapan dengan delapan pendaki amatir yang memiliki mimpi yang sama. Mereka adalah pendaki amatir, membayar sendiri biaya pendakian yang menjadi hobi mereka, tetapi tak satu pun dari mereka pendaki pemula. Doug Hansen (John Hawkes) yang tukang pos, misalnya, sudah mendaki Everest setahun sebelumnya, dan gagal mencapai puncak. Yasuko Namba (Naoko Mori), seorang perempuan Jepang, telah memuncaki enam dari tujuh puncak tertinggi dunia dan memuncaki Everest akan melengkapi pencapaiannya.
Yang lain, Beck Weathers (Josh Brolin), seorang dokter patologi asal Texas, memang belum pernah merasakan mendaki ketinggian di atas 8.000 meter dari permukaan laut, tetapi rajin mendaki gunung di Amerika Serikat. Jurnalis Jon Krakauer (Michael Kelly) datang karena ingin menulis pengalaman otentik mendaki Everest juga akrab dengan pendakian gunung.
Mereka memilih Robert Edwin Hall sebagai pemandu mereka di Everest. Rob Hall, pendiri Adventure Consultants, adalah pendaki profesional yang telah memuncaki tujuh puncak tertinggi dunia. Hall terkenal sebagai penjelajah yang sangat mengutamakan keselamatan, pilihan terbaik bagi orang-orang seperti Doug Hansen, Yasuko Namba, Beck Weathers, Jon Krakauer, dan empat pendaki amatir lain dalam tim pendakian mereka. Pendakian yang ternyata berujung bencana, yang menjadi drama utama suguhan film Everest besutan sutradara Baltasar Kormákur.
Everest bukanlah film pertama tentang tragedi pendakian Mei 1996 yang menewaskan Rob Hall dan tujuh pendakinya. Film dokumenter Into Thin Air: Death on Everest yang beredar tahun 1997 telah membeber rinci tragedi itu. Film sutradara Robert Markowitz itu didasarkan buku Into Thin Air: A Personal Account of the Mt. Everest Disaster karya Jon Krakauer, sang jurnalis yang turut dalam pendakian terakhir Rob Hall itu.
Meski bukan film pertama, Everest lebih menarik karena tidak terikat metodologi bertutur ketat dalam genre dokumenter. Di tangan sutradara Baltasar Kormákur, Everest yang jelas ujung ceritanya menjadi drama menegangkan. Kormákur menafsir Gunung Everest sebagai metafora dari segala jenis ambisi manusia, termasuk ambisi paling manusiawi dan emosional untuk mempertahankan hidup sendiri, atau menyelamatkan orang lain.
Mengaduk emosi
Sisi pertempuran mengalahkan diri sendiri dalam upaya ”menaklukkan” alam keras Everest tersaji dengan lembut dan menyentuh, termasuk pilihan sulit Rob Hall menghadapi kekerasan kepala Doug Hansen untuk memuncaki Everest. Juga ketika Hall dihadapkan pada pilihan untuk menyelamatkan dirinya sendiri, atau menghabiskan lebih banyak energi dan waktu untuk menyelamatkan Hansen.
Dengan menggunakan sisi domestik para pendaki sebagai penyeimbang segala ambisi di punggung Everest, film Kormákur menjadi menyentuh. Lebih penting lagi, film itu bakal terasakan dekat bagi penonton yang jauh dari kegilaan bertualang di alam bebas. Penulis naskah William Nicholson dan Simon Beaufoy beruntung sekaligus piawai menjadikan transkrip asli pembicaraan telepon satelit Rob Hall dan istrinya, Jan Hall (Keira Knightley), sebagai gayung pengaduk emosi penonton.
Kormákur juga berhasil menghindari penghakiman kepada siapa pun karakter yang ada dalam filmnya, tokoh-tokoh yang nyata dari tragedi pendakian Mei 1996. Ketimbang mencari ujung-pangkal sebab-akibat tragedi itu, Kormákur menonjolkan kemanusiaan tiap-tiap tokoh yang nyata, termasuk pilihan sulit Anatoli Boukreev (Ingvar Eggert Sigurðsson) untuk meninggalkan tubuh sekarat Beck Weathers dan Yasuko Namba yang dianggapnya tak bakal tertolong lagi.
Beck Weathers ternyata bertahan hidup dan berhasil meniti sendiri perjalanannya turun gunung. Ketimbang menghakimi penilaian keliru Boukreev tentang kondisi Weathers, Kormákur terus menghadirkan adegan upaya keras Boukreev mencoba menyelamatkan pendaki lain yang masih tertinggal di punggung Everest.
(Aryo Wisanggeni G)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 September 2015, di halaman 29 dengan judul “Kisah Para Penakluk Everest”