Pria berkaus hitam bertuliskan ”Skeptikal” menggandeng pasangannya yang bergaun cerah. Mereka lalu berduet menyanyi ”Melati, maafkan aku lagi… kita semestinya satu hati…”.

Begitulah satu babak malam Minggu di penyelenggaraan festival musik Soundrenaline 2015, Sabtu (5/9), di kompleks Garuda Wisnu Kencana, Kabupaten Badung, Bali.

”Skeptikal” adalah lagu milik band beraliran heavy rock, Seringai. Lagu itu jadi pembuka kuartet asal Jakarta tersebut di panggung Go Ahead Stage. Arian 13 (vokal), Ricky Siahaan (gitar), Sammy Bramantyo (bas), dan Edi Khemod (drum) main pakai kemeja ala pantai. Iya, kemeja bermotif bunga itu menyelimuti kaus hitam bergambar band metal idola masing-masing.

Pakaian santai itu tak mengurangi kesangaran mereka. Lagu kencang seperti ”Program Party Seringai” dan ”Amplifier” berjejalin dengan jilatan lampu, yang sepertinya terlalu mewah bagi mereka. Produksi suara mereka tak terlalu baik malam itu. Namun, penonton di barisan depan tetap asyik, apalagi ketika kru panggung melemparkan boneka karet besar berbentuk buaya, ban, dan bola-bola.

”Kalian (meskipun) berbaju hitam-hitam tak terlalu banyak gerak. Tapi ketika dikasih bola-bolaan dan balon, semangat sekali,” kata Arian mengundang tawa. Sekitar pukul 22.00 lagu-lagu mereka tuntas. Di panggung itu akan tampil band cadas lainnya, Burgerkill. Banyak penonton bergeming, tetapi tak sedikit pula yang bergeser ke panggung sebelahnya. Di panggung sebelah, Dewa 19 yang kini namanya diimbuhi ”Reuni” baru mulai. Penonton terlihat lebih padat di panggung bernama A Stage ini, panggung terbesar dari tujuh panggung yang ada. Kepadatan bertambah karena Serigala Militia, sebutan penggemar berat Seringai, ikutan merapat. Salah satunya adalah pemakai kaus Skeptikal itu, yang rupanya hafal lirik lagu ”Satu Hati (Kita Semestinya)” produksi tahun 1995 itu.

Di panggung, Ahmad Dhani (keyboard) tak terlalu banyak bernyanyi. Porsi itu diambil Ari Lasso, yang dulu dikeluarkan dari band pada 1997. Ari lantas bersolo karier. Pemain drum malam itu adalah Tyo Nugros yang bergabung dengan band pada 1999, menggantikan beberapa drumer sebelumnya. Gebukan Tyo malam itu dikawal Yuke, mantan pemain bas The Groove yang masuk Dewa pada 2002.

Selain Dhani, personel ”asli” Dewa yang ada di panggung reuni itu adalah pemain gitar Andra Ramadhan. Selain ”Satu Hati”, Dewa menyanyikan lagu-lagu terkenal mereka seperti ”Cukup Siti Nurbaya”, ”Cinta ’Kan Membawamu”, dan juga hit dari album pertama, ”Kangen”.

 

Warisan 1990-an

Dewa banyak memilih tembang dari dekade 1990-an, termasuk ”Kirana” yang keluar pada 1997. Ari Lasso menyebut lagu itu cukup mengerikan ia nyanyikan, tetapi nyatanya berjalan mulus juga. Band rock lainnya, Rif, yang tampil sebelum Dewa di panggung yang sama juga mengusung nuansa 1990-an. ”Tahun ini kami berulang tahun ke-21. Mari merayakannya dengan memainkan lagu-lagu yang sering kami bawa di awal karier dulu,” kata Andy, vokalis. Maka meluncurlah lagu ”Song #2” dari Blur dan ”Bulls on Parade” dari Rage Against The Machine (RATM). Andy, tak dinyana, jago juga nge-rap ala Zack de La Rocha, vokalis RATM. Rif juga memainkan lagu lama dari album pertama yang keluar 1997, ”Radja” dan ”Bunga”.

Di panggung Amphitheater ada juga nuansa harta karun dari dekade 1990-an. Penyanyi pop Lala Karmela yang album debutnya keluar 2013 menyisipkan tembang milik Alanis Morissette, ”You Oughta Know”. ”Ini lagu dari penyanyi yang berpengaruh besar dalam karierku,” ujarnya.

Panggung Amphitheater itu lebih banyak menampung band bercorak pop, dan bisa dibilang ”indie” tapi cukup tenar, sebut saja White Shoes and The Couples Company, Mocca, Sore, hingga Tulus. Kelompok Scared of Bums dari Bali juga main di panggung ini, tetapi mendapat jadwal di luar prime time.

Band folk tuan rumah, Dialog Dini Hari, juga tampil ”terlalu pagi” di panggung Welcoming Stage. Trio Dadang SH Pranoto, Brozio Orah, dan Deny Surya cuma memainkan empat lagu, termasuk ”Tentang Rumahku”. Sehari sebelumnya, band Bali lainnya, Parau dan The Lolots, juga beraksi ketika matahari masih terik. Empat panggung itu tersebar di arena terbuka Garuda Wisnu Kencana. Dua panggung besar di antaranya, A Stage dan Go Ahead Stage, dipisahkan oleh dinding tebing. Welcoming Stage terletak di ketinggian yang lebih rendah. Penampilan di setiap panggung dijalankan berbarengan, tetapi bunyinya tak tercampur.

”Sekat tebing di antara dua panggung besar itu jadi pemisah bunyi yang alamiah. Kami menghitung kekuatan bunyi dan jarak dengan cermat,” kata Novrial Rustam, Managing Director Kilau Production, pengelola Soundrenaline 2015. Kekuatan suara di dua panggung utama mencapai 340.000 watt, sementara tata lampunya 600.000 watt.

Tata suara dan lampu yang megah itu memanjakan sekitar 80.000 penonton yang hadir dengan membeli tiket seharga Rp 100.000 untuk dua hari. Mereka juga disuguhkan berbagai corak musik; pop, jazz, reggae, hingga elektronik besutan DJ. Namun, rupanya rock masih jadi komandan.

Trio Wolfmother dari Australia beraksi gila-gilaan hingga Senin dini hari. Mereka main setelah Slank tampil. Penonton yang bertahan memang tak sebanyak saat Slank beraksi. Namun, hal itu justru menyuguhkan intensitas berbeda. Lagu ”The Joker” yang dipakai untuk penutup terasa menggema lebih kencang.

(Herlambang Jaluardi)


Versi cetak artikel ini terbit di halaman Kompas MuDA, Harian Kompas edisi 11 September 2015, di halaman 36