Danau Batur telah memberi isyarat parahnya kerusakan lingkungan. Permukaan air yang naik hingga 4 meter dalam dua tahun terakhir menenggelamkan sejumlah pura di tepiannya. Sebagian warga Trunyan harus mengungsi karena rumah mereka terendam. Dermaga perahu dan lahan pertanian tersapu air danau.

I Wayan Cipta, warga Trunyan, berdiri tepat di garis batas antara teras rumahnya yang cukup tinggi yang hampir tak berjarak lagi dengan air pasang Danau Batur. Sepuluh meter di hadapannya, tampak gapura dan jalanan desa yang tak lagi bisa dilalui karena terendam air. Ladang bawang yang dulu membentang di tepian danau pun tak lagi terlihat, tertutup air.

Kekhawatiran menyelimuti hati Wayan Cipta dan warga Trunyan karena kenaikan air danau justru terjadi pada musim kemarau. ”Airnya terus naik. Rumah ini sempat tenggelam. Ya waswas, enggak tahu pengaruh apa sehingga airnya terus naik,” kata Wayan Cipta.

Akibat kenaikan air Danau Batur, sebanyak 21 rumah di Desa Trunyan turut tenggelam. Kepala Desa Trunyan Wayan Arjana mengukur kenaikan muka air Danau Batur mencapai 4 meter dari sejak tahun 2013. Tak hanya rumah warga, dermaga yang biasanya digunakan untuk tambatan perahu menuju obyek wisata kuburan kuno Trunyan pun sudah tenggelam. Pelataran kuburan suci atau setra wayah juga tertutup air. Papan petunjuk wisata Trunyan tampak tertancap di dalam air.

Untungnya, setra wayah, yang dikenal dunia internasional karena cara penguburan unik dengan menidurkan jenazah di bawah pohon kemenyan, terletak di atas bukit sehingga masih selamat dari jangkauan air. ”Pendangkalan danau terus terjadi. Dulu, kedalamannya bisa sampai 80 meter, sekarang ada yang tinggal 16 meter,” tambah Nengah Percis, guru sekolah dasar di Trunyan.

Desa lain di sekeliling danau pun terimbas kenaikan air muka danau. Salah satu pura yang bagian gerbangnya sudah tenggelam adalah Pura Segara Hulun Danu Batur di Desa Pakraman Songan yang Bersama Pura Hulun Danu Batur didedikasikan untuk pemujaan Dewa Wisnu, manifestasi sumber kemakmuran yang diwujudkan dalam sosok Dewi Danu atau dewi pelindung air.

Umat Hindu yang ingin menyucikan diri di Pura Segara Hulun Danu Batur ini tak lagi bisa berjalan kaki melewati gerbang utama yang terendam air. Jalan baru menuju pura dibuat tinggi di bukit sehingga umat tetap bisa bersembahyang. Ladang bawang yang dulu membentang di halaman muka Pura Segara Hulun Danu Batur pun telah tenggelam. Pura lain yang turut tenggelam adalah Pura Jati di Desa Batur.

Wisata lesu

Di Desa Kedisan, pemilik Hotel Lake Side Hut dan Restoran Apung Wayan Rena Wardana harus merelakan delapan dari 30 kamar hotelnya tenggelam. Bangunan restoran pun beberapa kali diuruk agar terhindar dari luapan air Danau Batur.

Memulai bisnis setelah pensiun dari jabatan sebagai hakim pada 2006, Rena merasakan kenaikan air danau semakin parah pada 2014. Beberapa kali, Rena berusaha menyodet air dari Danau Batur dengan menggunakan pipa raksasa di perbukitan, tetapi gagal. Danau Batur memang unik karena termasuk danau kaldera yang airnya berasal dari tampungan hujan dan rembesan air pegunungan.

Pemerintah Desa Trunyan sempat berusaha meninggikan badan jalan, tetapi tak bisa membendung kenaikan air danau. Tenggelamnya lahan pertanian mengurangi pendapatan warga desa. Apalagi, potensi wisata Trunyan belum tergarap dengan baik sehingga tak memberi sumbangsih signifikan bagi warga. Jumlah warga miskin di Desa Trunyan terus meningkat dari 438 keluarga pada 2011 menjadi 560 dari total 785 keluarga pada 2015.

Dari biaya penyeberangan wisatawan Rp 600.000 per kapal, Desa Trunyan hanya memperoleh pemasukan retribusi Rp 15.000. Rata-rata ada sepuluh perahu per hari yang menyeberang ke makam. Wisatawan semakin risi karena banyaknya pungutan liar. Tanpa tiket masuk, seluruh informasi yang diberikan oleh warga menjadi berbayar. Tak memiliki restoran ataupun hotel, tidak ada wisatawan yang kemudian tertarik menginap di Trunyan.

Terletak di ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Bali mencatat luas permukaan Danau Batur mencapai 16,05 km persegi dengan volume air 815,38 juta meter kubik dan kedalaman rata-rata 50,8 meter pada 2004. Panjang garis pesisirnya lebih kurang 21,4 km yang dikelilingi dataran rendah bergelombang hingga Gunung Batur (1.717 meter dpl) serta perbukitan terjal sampai Gunung Abang (2.172 meter dpl).

Keelokan pemandangan danau serta pegunungan itulah yang menjadi jualan utama wisata di Batur. Memiliki bentang alam yang unik serta bentukan geologi yang menarik, promosi wisata Taman Bumi Batur ke dunia semakin gencar setelah tercatat sebagai bagian dari geopark internasional pertama dan hingga kini masih menjadi satu-satunya di Indonesia.

Bentang alam uniknya antara lain dibentuk dari letusan dahsyat pada 29.300 tahun lalu, yang membentuk kaldera Batur pertama. Letusan besar kedua terjadi 20.150 tahun lalu dan membentuk kaldera kedua yang di dasarnya tumbuh Gunung Api Batur. Gunung Api Batur muda itu telah meletus 28 kali sejak 1804 hingga 2000.

Lampu kuning tambang

Material vulkanik dari hasil letusan Gunung Batur tersebut telah membatu dan ditambang masyarakat menjadi bahan bangunan. Selain kerusakan danau, potensi wisata Batur juga terancam kerusakan alam akibat eksploitasi tambang tersebut. ”Pengembangan wisata bertabrakan dengan tambang galian C. Bungalow saya sepi, kondisinya kembang kempis. Untuk menginap di sini, wisatawan harus adu nyawa berpapasan dengan truk-truk yang membawa hasil tambang,” tambah Rena.

Debu serta antrean panjang truk di jalanan yang menanjak dan berkelok-kelok selama 24 jam sehari secara signifikan memengaruhi minat wisatawan untuk berkunjung. Begitu matahari terbenam, wisatawan memilih pulang untuk menginap di lokasi lain seperti Ubud. Suasana yang sunyi di Kawasan Batur semakin terasa sepi karena seluruh warung dan restoran tutup selepas maghrib.

Warga Banjar Yeh Mampeh, Desa Batur Parsini (28), yang sempat menjual pasir seluas 20 are miliknya seharga Rp 250 juta pada tahun 2000-an mengaku sering sakit karena alergi debu dari pertambangan pasir. Sebelum 2000 enggak kayak gini debunya. Dulu di sini banyak pohon mangga,” kata Parsini.

Setelah uang hasil penjualan pasir habis, Parsini juga tak bisa lagi memulihkan areal bekas tambang. Untuk kembali menanami lahan bekas tambang dengan kedalaman kerukan mencapai 20 meter itu, membutuhkan biaya mahal. ”Kalau ditanami lagi butuh biaya mahal. Tapi, uang pemiliknya sudah banyak dari jual pasir. Sayang memang tak lagi bisa ditanami, tapi enggak rugi,” tambahnya.

Dosen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung Budi Brahmantyo menyebut perlunya penelitian komprehensif untuk mengetahui penyebab kenaikan muka air Danau Batur, apalagi pada musim kemarau. Karakteristik Danau Batur unik sebagai danau dengan sistem air tertutup yang tak memiliki buangan air seperti sungai. Air yang berasal dari hujan meresap masuk ke batuan dasar kaldera yang poros dan mudah menyerap air. Diperlukan penelitian dengan biaya mahal di beberapa titik pengukuran terkait efektivitas penyerapan batuannya.

Maraknya pertambangan pasir dan batu di kawasan Geopark Batur menjadi semakin ironis karena Indonesia hingga kini masih mengajukan beberapa lokasi, seperti Danau Toba dan Karst Gunung Sewu, sebagai geopark dunia, namun belum disetujui. ”Dulu, aktivitas tambang ini pernah menjadi catatan ketika akan ditetapkan sebagai geopark. Dengan syarat harus membenahi. Kalau tidak atau lebih buruk, status geopark-nya bisa dicabut. Beberapa bulan lalu pernah mendengar sudah ada lampu kuning untuk tambang yang sangat mengkhawatirkan ini,” ujar Budi.

Menjadi satu-satunya geopark dunia yang dimiliki Indonesia, masyarakat sekitar seharusnya bisa mendapat keuntungan ekonomi dari konservasi alamnya yang terjaga. Keuntungan ekonomi dari aktivitas tambang hanya dinikmati segelintir orang, sedangkan keuntungan pelestarian geopark bisa dinikmati jangka panjang oleh seluruh masyarakat.

”Butuh perjuangan susah untuk menjadi geopark. Jadi sayang jika tiba-tiba hilang. Di tempat lain di dunia, rasanya enggak ada wilayah geopark dunia yang ditambang. Sayang dan malu sebagai bangsa,” kata Budi.

Kini, saatnya untuk secara arif membaca isyarat alam….

(Mawar Kusuma)


Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 24 Agustus 2015, di halaman 03 dengan judul “Isyarat Air Danau Batur”