Mari Terbang Aman dengan ”Drone”

0
3080

Kian banyak obyek terbang yang berada di atas langit Jakarta dan sekitarnya. Kian murah teknologi ”drone” membuat benda terbang tak berawak itu kian terjangkau sehingga siapa pun bisa membeli dan mengoperasikannya.

Penggunaan pesawat nirawak (drone), baik untuk kepentingan komersial maupun sekadar hobi, tengah booming di Jakarta. Pesawat tak berawak itu dipakai untuk pengambilan gambar, pembuatan film, pemetaan, dan berbagai macam keperluan lain.

Produsen pesawat nirawak tersebut pun membanjiri pasaran dengan beragam produknya. DJI baru saja meluncurkan Phantom 3, meneruskan generasi sebelumnya yang sangat populer di Indonesia. Sejumlah produsen juga menawarkan drone dengan dilengkapi fitur canggih. Gimbal dengan tiga poros stalilizer,
streaming langsung gambar, dan aneka fitur lain. Harganya 999 dollar AS.

Selain itu, ada juga 3D Robotics 2DR Iris+ Multicopter. Begitu dikeluarkan dari bungkusnya, produk ini bisa langsung diterbangkan. Seperti juga Phantom 3, Iris+ memiliki fitur follow me sehingga bisa terbang otomatis mengikuti penggunanya, dengan memakai GPS di perangkat Android atau iOS. Harga perangkat ini 555 dollar AS. Masih banyak lagi produk pesawat nirawak di pasaran, seperti UDI U818A yang harganya hanya 52 dollar AS dan Parrot BeBop seharga 480 dollar AS.

Meski begitu mudah diterbangkan, bahkan oleh pemula, drone tidak boleh hanya dianggap mainan. Selain potensi penggunaannya, pesawat nirawak itu berpotensi disalahgunakan atau menyebabkan kecelakaan udara. Drone memiliki propeler tajam dan berputar cepat yang bisa melukai orang atau merusak properti. Kian ramai langit membuat risiko kecelakaan membesar.

Di Jakarta, insiden drone hingga melibatkan polisi melakukan penyelidikan tercatat baru satu kali. Pada akhir Juli lalu, polisi mengamankan pesawat tanpa awak berjenis multirotor yang jatuh di area Menara BCA, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, dan memeriksa pemiliknya.

Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Metro Menteng Ajun Komisaris Ridwan R Soplanit mengungkapkan, pihaknya masih menyelidiki kasus jatuhnya drone yang terjadi 20 Juli lalu. Menurut dia, polisi telah membuka rekaman dari pesawat nirawak jenis DJI Phantom 2.

Drone itu merekam sejumlah obyek vital yang berada di sekitar kawasan Thamrin,” kata Ridwan, Selasa (4/8).

Polisi menduga drone tersebut terkena turbulensi udara sehingga menabrak gedung dan terempas. Menurut Ridwan, polisi telah membuka rekaman drone itu dan memeriksa pemiliknya yang berinisial OX pada 30 Juli lalu.

Pemiliknya diduga melanggar Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia. OX diduga menerbangkan drone-nya lebih tinggi dari 150 meter dan di kawasan terlarang, seperti diatur dalam peraturan tersebut.

Maraknya penggunaan drone ditunjukkan dari penelitian yang dilakukan Frost & Sullivan bahwa pada 2014 lalu, konsumen membelanjakan hingga 720 juta dollar AS untuk pembelian drone di seluruh dunia. Seperti dikutip dari CNBC, jumlah itu setara dengan volume penjualan 200.000 unit pesawat nirawak per bulan. Diperkirakan, jumlah tersebut akan membengkak dua kali lipat pada tahun ini dan studi yang sama memperkirakan pada 2020, belanja drone akan mencapai 4,5 miliar dollar AS per tahun.

Komunitas DJI Phantom Indonesia berkumpul untuk menerbangkan pesawat terbang tanpa awak (drone) bersama-sama di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Minggu (11/1). Pertemuan sesama penggemar drone dari berbagai daerah tersebut sekaligus ajang bertukar informasi dan pengalaman seputar drone. Kompas/Lucky Pransiska (UKI) 11-01-2015

Drone, yang juga disebut unmanned aerial vehicle (UAS), pesawat tak berawak, oleh Badan Penerbangan Federal AS (FAA) disebut sebagai UAS. Bukan hanya pesawat terbang, UAS meliputi juga sistem yang mendukung operasionalnya seperti pusat kendali, komunikasi, dan sistem lain yang dibutuhkan untuk mengoperasikan drone itu.

Berpotensi disalahgunakan

Sekali lagi, drone bukan sekadar mainan semata. Di samping potensinya, drone juga bisa disalahgunakan untuk keperluan kriminal atau berpotensi menimbulkan kecelakaan. Kian ramainya langit oleh drone sangat berpotensi mengganggu keamanan penerbangan berawak.

FAA menyebutkan, insiden nyaris tabrakan yang dilaporkan para pilot meningkat drastis di AS. Pada 2014 lalu, pilot melaporkan hanya ada 238 laporan nyaris tabrakan atau pesawat nirawak yang terlalu dekat dengan pesawat berawak, meningkat menjadi 650 sampai 9 Agustus 2015.

Pada Juli 2014, pilot pesawat berbagai ukuran, termasuk pesawat komersial besar, melaporkan, selama Juni 2014 melihat 16 drone dan 36 drone pada bulan berikutnya. Tahun ini, 138 pilot melaporkan melihat drone pada ketinggian sekitar 3.000 meter (10.000 kaki) pada Juni dan 137 drone pada Juli.

Belum ada laporan serupa di Indonesia. Namun, penggunaan drone di Indonesia, khususnya Jakarta dan kawasan sekitarnya, mendapat perhatian karena terdapat banyak obyek vital, seperti istana, kedutaan besar, dan bandar udara yang sibuk.

Untuk menghindari bahaya dan penyalahgunaan, FAA dan juga Pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi. Pemerintah Indonesia menerbitkan aturan drone berupa Peraturan Menteri Perhubungan No 90/2015.

Aturan di AS di antaranya berat maksimal pesawat nirawak 25 kilogram, saat drone terbang harus selalu terlihat oleh operatornya (visual line-of-sight/VLOS only), hanya terbang waktu siang, ketinggian maksimum sekitar 122 meter (400 kaki), dan aturan lainnya. Sementara permenhub di antaranya mengatur ketinggian terbang maksimal 150 meter dan sejumlah regulasi lain yang kini masih diperdebatkan.

Salah seorang pilot pesawat nirawak, Bobby Gunawan, juga mengimbau agar para pemilik memperhatikan prosedur terbang dan mengutamakan keselamatan terbang. ”Kita memang harus selalu berhati-hati, menaati prosedur terbang, mematuhi manual pesawat, melakukan kalibrasi sebelum terbang,” kata Bobby yang memakai drone untuk membantu pekerjaannya.

Ia menambahkan, seorang pilot pesawat nirawak harus benar-benar memahami teknis pesawatnya agar bisa terbang dengan aman. Seorang pilot drone yang baik juga harus bisa memakai common sense, mempertimbangkan kondisi area lokasi terbang.

”Saya pernah melakukan peliputan di Hongkong saat ada demo besar-besaran. Di situ banyak gedung tinggi dan massa. Akhirnya, saya lapor ke atasan, saya memutuskan tidak terbang. Jadi, kalau dirasa berbahaya, lebih baik tidak terbang, jangan memaksakan,” tuturnya.

Terkait dengan peraturan menteri yang mengatur penggunaan drone, Bobby menyambut baik regulasi tersebut demi keselamatan penerbangan. Hanya saja, ada aturan yang perlu direvisi, yaitu Pasal 4 Ayat (2) yang menyatakan, untuk kegiatan pemotretan, pembuatan film, dan pemetaan harus melampirkan izin dari instansi dan pemerintah daerah setempat. Aturan lain, seperti ketinggian terbang, juga perlu dibicarakan lagi.

DJI dan 3D Robotics, dua produsen drone populer, memberikan petunjuk agar pengguna selalu mengutamakan keselamatan dan menaati regulasi setempat, seperti ketinggian maksimal saat terbang. Mereka menyarankan agar pilot selalu mematuhi manual terbang di area terbuka, jauh dari properti dan manusia.

Saran lain adalah pemilik drone agar terbang di ketinggian aman dan diperkenankan serta selalu memastikan pesawat berada dalam jarak pandang selama penerbangan. Selain itu, juga disarankan mematuhi keberadaan kawasan no-fly zone. Sayangnya, tak semua orang tahu daerah larangan terbang tersebut.

FAA berencana merilis aplikasi telepon cerdas bernama B4UFLY yang memberitahukan daerah terbatas dan larangan terbang. Bagi pengguna drone, mari berharap ada aplikasi sejenis di Indonesia.

(PRASETYO EKO P)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Agustus 2015, di halaman 35 dengan judul “Mari Terbang Aman dengan ”Drone”