Secuil Bandung tempo ”doeloe” masih tertinggal di sini, di Warung Kopi Purnama yang sudah ada sejak tahun 1930. Kenangannya dihidupkan oleh secangkir kopi susu dan sepotong roti srikaya. Hmmm….
Tempat ini tak terlihat menonjol. Berada di tengah-tengah ruas Jalan Alkateri, warung kopi ini diapit deretan toko yang mayoritas menjual tirai dan perlengkapannya. Bangunannya tidak jauh berubah dari aslinya yang ditunjukkan dengan sebuah foto besar bergambar seorang anak perempuan kecil dan seorang pria.
Foto-foto suasana Bandung jadul, poster iklan masa lalu, hingga hiasan dinding lawas yang terpasang di dinding menyambut tamu-tamu yang datang. Kursi dan mejanya sebagian besar merupakan kursi dan meja yang sama dengan yang diduduki tamu-tamu sejak 85 tahun lalu. Hanya bantalannya yang berganti. Satu lagi yang tidak berubah, menu andalan yang menjadi favorit sejak dulu, kopi susu dan roti srikaya.
Meskipun tidak mengolah sendiri kopinya, kopi susu Purnama yang rasanya mantap bagi lidah kebanyakan tamu ini bikin betah pengunjung. Paduan rasa manis dan gurih susu kental manis serta pahit kopi terasa pas dan saling melengkapi. Kopinya merupakan campuran antara kopi robusta dan arabika.
Sementara selai srikayanya yang berwarna hijau kecoklatan dibuat sendiri dengan resep yang dijaga turun-temurun. Selainya sama sekali tidak dibuat dari buah srikaya, tetapi dibuat dari santan, telur, dan gula. Ada pula yang menyebutnya selai kaya. Rasanya legit dan manis dengan aroma pandan. Selainya juga dijual terpisah dalam toples kaca tanpa pengawet.
Meskipun dipesan dari orang lain, roti dibuat khusus hanya untuk warung ini. Rasanya kenyal, tetapi lembut. Cara memotong roti ini membuat bentuknya terlihat khas.
Kopitiam
Warung kopi ini mengingatkan pada model kopitiam yang banyak ditemukan di Medan dan Batam. Tidak heran karena pendirinya yang bernama Yong A Thong berasal dari Medan yang kemudian hijrah ke Bandung. Semula warung ini diberi nama Chang Chong Se yang artinya silakan mencoba. Namun, nama itu kemudian diubah menjadi Warung Kopi Purnama seiring kebijakan pemerintah saat itu yang mengharuskan pemakaian nama Indonesia. Nama purnama dipilih karena mengandung unsur positif, yakni terang dan bulat sempurna.
Kini, warung ini dikelola generasi keempat, yakni Aldi Rinaldi Yonas (27), Reza Josanna (26), dan Michael Tanudjaja (26) yang merupakan cicit dari pendiri pertama. Ketiganya merupakan saudara sepupu yang berasal dari tiga cucu Yong A Thong. Salah satu cucu Yong A Thong yang menjadi penerus generasi ketiga adalah Evy Josana yang juga ibu dari Aldi. Evy baru beberapa pekan lalu meninggal. Namun, tampuk pengelolaan sudah mulai dialihkan kepada ketiganya sejak dua tahun lalu ketika Evy mulai sakit-sakitan.
”Meskipun kami punya pekerjaan masing-masing, kami sudah berjanji meneruskan Purnama yang telah menghidupi keluarga kami turun-temurun,” ungkap Reza.
Ada banyak menu lain selain roti srikaya dan kopi susu yang mencerminkan khazanah kuliner Indonesia, Tionghoa, dan Belanda, seperti bitter ballen, risoles, roti palm suiker, lumpia, dan pisang goreng keju. Selain menu ringan, juga disediakan hidangan lebih berat, antara lain gado-gado, lontong cap go meh, nasi lengko, nasi soto bandung, nasi timbel, dan nasi begana.
Warung ini buka pukul 06.30 dan ramai saat jam makan pagi atau siang. Di waktu lain, tamu datang bergantian hingga warung tutup pukul 22.00. Sejumlah pesohor pernah mampir di warung ini, seperti Andien, Daan Aria, Capung ”Java Jive”, dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Tempat ini pernah pula dijadikan lokasi shooting film Love is Cinta.
Maraknya kehadiran kedai kopi memberi tantangan sekaligus peluang. Menurut Aldi, pihaknya akan tetap mempertahankan kesederhanaan, tetapi senantiasa mendengar apa kata pelanggan. Mereka punya pelanggan setia sejak zaman kakek buyut mereka dan akan protes jika ada perubahan rasa. ”Ada pelanggan yang umurnya sekarang sudah 80 tahun, sempat kenal dengan engkong saya. Warung ini sudah kayak rumah kedua untuk sarapan pagi,” kata Aldi.
[venue id=”4bf1ff7c78cec9287018bb86″]
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Agustus 2015, di halaman 20 dengan judul “Purnama di Alkateri”