Pagi hari di Wakatobi, ketika fajar perlahan ”melencer” dari ufuknya, sekawanan lumba-lumba mulai berangkat beriringan mencari makan. Kepergian mereka dikuntit ketat segerombolan tuna dan cakalang. Nelayan pun bersuka ria membuntutinya.

Lumba-lumba akrab dengan kehidupan suku Bajo, nelayan andal yang tinggal di Kepulauan Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Bagi orang Bajo, lumba-lumba atau lummu dalam bahasa mereka, adalah sumber penghidupan, ada nilai ekonominya. ”Kalau kita melihat lumba-lumba, berarti kita dekat dengan rezeki,” kata Derbi (32), nelayan Bajo yang kini menjadi pegawai kantor desa.

Ini karena lumba-lumba akan makan ikan-ikan kecil yang juga menjadi makanan bagi tuna dan cakalang, dua jenis ikan yang diburu para nelayan. Lummu punya kebiasaan mencari ikan pada pagi hari. Biasanya mereka akan muncul di area-area tertentu, salah satunya di perairan Pulau Kapota, seperti yang saya kunjungi tempo hari bersama rombongan wartawan, blogger, dan tur wisata atas undangan British Council dan Bank Mandiri.

Kami tiba di area munculnya lummu setelah 30 menit menumpang body atau kapal bermotor dari Pulau Wangi-wangi, tempat kami menginap. Pulau Wangi-wangi adalah satu dari empat pulau utama di Kabupaten Wakatobi.

Mentari belum lagi terbit ketika kami bertolak dari dermaga Sombu. Sebagian rombongan berangkat dari Pelabuhan Mola di Desa Mola Utara. Lummu bisa muncul pagi-pagi sekali. Namun, kali itu, kami harus bersabar lebih lama karena mereka baru muncul menjelang pukul 07.30.

Jeritan heboh seperti anak-anak yang kegirangan berhamburan dari mulut para penumpang kapal yang sebelumnya hampir putus harapan menanti kemunculan si lumba-lumba. ”Whooaa, itu, itu,” teriak para penumpang sambil menunjuk sosok hitam bersirip khas yang berloncatan kecil di permukaan laut.

Sekawanan lumba-lumba muncul bergantian di kanan dan kiri. Ada yang berhidung botol atau berkulit abu-abu dengan bintik-bintik putih. Gerak mereka seirama dengan gelombang. Warna air laut yang biru gelap membuat mata harus awas mengawasi kemunculan lummu. Nelayan pun sigap mengikuti ke mana lummu bergerak. Benar-benar cekatan. Kaki mereka menggantikan tangan untuk mengendalikan kemudi perahu, sementara tangan mengatur arah terbang layang-layang.

Para nelayan bukan sedang bermain-main ketika menerbangkan layang-layang, melainkan tengah memancing. Nelayan mengaitkan layang-layang dengan umpan yang posisinya kemudian terapung di atas air. Ketika umpan tampak bergerak ditarik ke dalam laut, nelayan akan sigap menarik tali umpan yang dimakan tuna atau cakalang tersebut.

Isyarat ”lummu”

Berdasarkan hasil pengamatan program kerja sama The Nature Conservancy-World Wildlife Fund dan Taman Nasional Wakatobi, sejak 2006 hingga saat ini, ada lima jenis lumba-lumba yang teridentifikasi di perairan Wakatobi, yakni lumba-lumba paruh panjang, lumba-lumba hidung botol, totol, gigi kasar, abu-abu. Selain itu, ada pula paus kepala semangka, paus biru, paus sperma, dan paus sirip pendek.

Orang Bajo juga menganggap lummu sebagai sahabat manusia. Banyak nelayan menceritakan pengalaman mereka dibantu lummu, termasuk Derbi, ketika mesin body-nya mati di tengah samudra. Ia merasa ada lummu putih di belakang mendorong body-nya dan di depan memberi petunjuk arah pulang.

”Ada kepercayaan, kalau ada lummu muncul dari arah samping ke depan seperti menghalangi, berarti kita harus berbelok. Itu isyarat di depan ada mara bahaya. Begitu pula kalau ada lummu datang melawan arus, yakni dari arah depan menuju daratan, itu isyarat ada peristiwa buruk di daratan. Nelayan harus segera pulang,” kata Derbi.

Meski begitu, ada pula lummu yang menjadi ”musuh” nelayan, yakni lummu bergaris. Lummu jenis ini berenang lambat sehingga tidak pintar mencari mangsa. Mereka senang memakan hasil tangkapan nelayan.

Sekawanan lummu masih sibuk hilir-mudik mencari makan ketika kami dengan berat hati harus mengucapkan selamat tinggal. Tujuan berikutnya adalah spot koloseum, tidak jauh dari Pelabuhan Sombu, yang dikenal sebagai tempat snorkeling. Perairannya dangkal dengan kekayaan terumbu karang yang mengagumkan. Taman Nasional Wakatobi ditetapkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sebagai salah satu cagar biosfer dunia. Bupati Wakatobi Hugua mengatakan, di perairan Wakatobi ditemukan 942 jenis ikan dan 750 jenis terumbu karang dari 850 jenis yang ada di dunia. Sementara Laut Karibia yang terkenal itu hanya memiliki 50 jenis dan Laut Merah dengan 300 jenis terumbu karang.

Jernihnya air membuat pandangan kami leluasa menikmati ikan berwarna-warni dan tebaran terumbu karang aneka bentuk. Keindahannya lebih mudah dikenang dalam ingatan. Tentakel terumbu karangnya seakan melambai-lambai mengingatkan bahwa mereka makhluk hidup rapuh, yang mudah rusak jika tersentuh. Perairan dangkal ini langsung berbatasan dengan palung yang ditandai dengan air yang berwarna biru gelap. Ikan-ikan lebih banyak bergerombol di sini.

Perjalanan Wakatobi Kompas/Sri Rejeki (EKI)
Perjalanan Wakatobi
Kompas/Sri Rejeki (EKI)

Sertifikat selam

Untuk diperbolehkan menyelam di Wakatobi, seseorang harus menunjukkan sertifikat menyelam. Dengan alasan kesehatan, seseorang yang baru saja menyelam disarankan untuk tidak langsung terbang. Waktu sehari sambil menunggu penerbangan inilah yang dimanfaatkan warga Desa Mola di Pulau Wangi-wangi untuk menawarkan daya tarik wisata lainnya. Selain melihat lumba-lumba, ada pula bersampan yang dilakukan sore hari sambil menjemput matahari terbenam.

Bersampan ditekuni 1,5-2 jam di wilayah sekitar Desa Mola Raya. Sambil diperkenalkan dengan berbagai jenis lepa atau perahu, pengunjung diajak naik lepa berkapasitas 5-6 orang yang bisa sangat tidak stabil jika penumpangnya terlalu banyak bergerak. Sambil bersampan yang meluncur di atas air dengan bantuan dayung, tamu diajak mengenal suku Bajo yang kehidupannya berpusat di laut. Di beberapa titik, sampan akan berhenti dan penumpang akan mampir melihat-lihat keramba apung dan keramba tancap yang dipasang di bawah rumah apung. Ikan-ikan kecil yang turut terjala saat melaut tidak dijual, tetapi dibesarkan di keramba hingga ukuran tertentu. Setelah itu baru dijual.

Namun, tidak semua ikan itu dijual. Ada beberapa ikan dibiarkan besar hingga panjangnya mencapai 1 meter. Ini andalan orangtua Bajo untuk menghibur anaknya yang masih balita. ”Ketika ada anak kecil menangis tidak kunjung berhenti, dia akan diajak orangtuanya ke keramba,” kata Samran, pemandu kami yang juga Koordinator Lembaga Pariwisata (Lepa) Mola.

Pasar ikan, tempat pengolahan ikan, dan Sekolah Maritim adalah tujuan berikutnya. Sekolah Maritim, mulai dari SD hingga SMA, dikembangkan sejak 2006. Sekolah ini menampung anak Bajo agar tidak putus sekolah. ”Anak-anak Bajo kerap ikut orangtuanya melaut hingga sebulan. Saat kembali, mereka kesulitan beradaptasi di sekolah darat. Akhirnya enggan sekolah,” ungkap Samran.

(SRI REJEKI)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Agustus 2015, di halaman 25 dengan judul “Berburu ”Lummu” di Wakatobi”