Remaja sekarang banyak tak tahu lagu-lagu wajib nasional yang juga lagu perjuangan. Demikian keluhan umum yang sering terucap dalam perbincangan tentang keberadaan lagu wajib kita. Benarkah pernyataan itu? Benarkah remaja masa kini tak peduli lagi kepada lagu-lagu yang menyulut rasa cinta kepada bangsa dan negaranya?
Mari kita tanya para remaja. Annisa Maulidina, siswa kelas XII Sekolah Menengah Atas Negeri 81 Jakarta Timur, mengaku merasakan ketidakpedulian itu. Ia memang masih tahu dan bisa menyanyikan banyak lagu wajib, tetapi banyak temannya hanya tahu beberapa lagu, misalnya lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” saja.
Pengetahuannya itu banyak ia dapatkan justru ketika masih duduk di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Tak hanya cewek bertubuh tinggi langsing itu yang mengalami hal seperti itu. Hampir semua siswa SMA di kota besar tak lagi punya banyak kesempatan mengenal atau mengingat lagu nasional. Zia, siswi sebuah SMA di kawasan Senayan, dengan malu-malu mengaku hanya hafal lagu ”Indonesia Raya”. Lagu seperti ”Bagimu Negeri” ia tahu, tetapi tak hafal.
Ketidakmampuan dan ketidaktahuan pelajar menyanyikan lagu wajib nasional bukan sepenuhnya salah mereka. Sistem pendidikan nasional mempunyai andil besar dalam soal ini. Lihatlah pelajaran seni musik yang menjadi salah satu sarana siswa tahu dan belajar lagu nasional nyaris tak ada lagi. Upacara bendera yang menjadi kesempatan untuk mempraktikkan kemampuan menyanyikan lagu nasional juga jarang diadakan.
Selama tiga tahun terakhir, upacara hanya diadakan dua minggu sekali. Syukurlah, mulai tahun ajaran 2015/2016 ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kembali mewajibkan upacara bendera setiap Senin. Tak hanya itu, setiap hari sebelum mulai pelajaran di kelas, semua harus menyanyikan lagu ”Indonesia Raya”. SMAN 81 menambah dengan menyanyikan lagu wajib nasional setiap akhir pelajaran.
”Waktu SMA kelas X masih ada pelajaran musik yang masuk mata pelajaran seni budaya. Kami bermain pianika atau organ dan menyanyikan lagu wajib nasional. Waktu ujian akhir sekolah, kemampuan itu diujikan,” tutur Annisa. Namun, saat ia naik kelas XI dan XII, pelajaran itu digantikan menggambar. ”Padahal, aku senang banget pelajaran musik dan menyanyi, selain menghilangkan stres juga salah satu cara memperkuat nasionalismeku,” urainya.
Sewaktu sekolah di SMP, setiap tahun ia mendapat pelajaran seni musik. Lagu-lagu yang ia dan kawan-kawan pelajari meliputi lagu wajib nasional dan lagu-lagu daerah. Hal itulah yang membuat ingatannya terhadap lagu nasional masih lekat.
Rutin berlatih
Keadaan berbeda dialami Aldo Rizal, siswa kelas XI SMA Negeri 4 Madiun, Jawa Timur. Sejak SD sampai SMP, ia mendapat pelajaran seni musik yang mempelajari dan menyanyikan lagu wajib nasional dan daerah. Meskipun saat SMA tak ada pelajaran menyanyi, keaktifannya di ekstrakurikuler pasukan pengibar bendera membuatnya harus tetap berlatih menyanyikan lagu nasional. Apalagi tahun ini Aldo terpilih sebagai satu dari 300 siswa di Kota Madiun yang akan menyanyi dalam upacara peringatan HUT Ke-70 RI di Alun-alun Madiun.
”Sejak sebelum bulan puasa lalu, kami berlatih menyanyikan lagu ’Hari Merdeka’, ’Indonesia Jaya’, ’Syukur’, dan lagu daerah seperti ’Manuk Dadali’,” ujar remaja bertinggi 168 sentimeter ini. Ia sadar pengetahuannya akan lagu wajib nasional membuat ia lebih memiliki rasa cinta kepada bangsa dan negara. ”Ketika membaca teks lagunya saya mikir. Kalau kita belum merdeka, kira-kira bagaimana keadaan negara kita ya,” lanjutnya.
Dalam semangat menggemakan lagu nasional untuk memompa semangat nasionalisme, konduktor Addie MS dan pemain harpa Rama Widi mengadakan Simfoni Bhinneka Tunggal Ika di Theatre Ciputra Artpreneur, Jakarta, 16 Agustus. Konser akan mengajak khalayak menyadari potensi alam dan sumber daya manusia Indonesia yang sangat besar lewat musik. Dengan kesadaran ini, mereka berharap, Indonesia bisa lebih bersatu untuk kemajuan negeri.
(Soelastri Soekirno)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Agustus 2015, di halaman 34 dengan judul “Merawat Nasionalisme Lewat Nyanyian”