Cerita dalam Seni Perhiasan

0
2271

Perhiasan tak mesti gemerlap. Satu hal yang pasti, tiap perhiasan itu memuat cerita dan curahan rasa. Bagi pembuatnya, karya seni perhiasan adalah muara melabuhkan rasa hati.

Mainan adalah obyek yang selalu membawa Annie Gobel (24) kembali pada kenangan masa kecil. Lego, balok, juga bentuk mainan lain, ia rasakan memuat rekaman rasa suka dan sedih dari masa kanak-kanak. ”Re-Played” adalah cara yang dipilih Annie untuk kembali merasakan keriangan masa kecilnya. Melalui proses dekonstruksi—membongkar lalu menyusun ulang—mainan, ia juga mengubah emosi negatif yang terselip di kenangan masa kecil itu jadi suatu ”permainan” yang kini menggembirakan.

Annie menggunakan istilah ”Re-played” sebagai tema koleksi karya seni berupa perhiasan yang ia pamerkan Juni-Juli lalu di Galeri Seni Dia.lo.gue, Kemang, Jakarta. ”Pembuatan karya ini sebenarnya seperti saya memainkan ulang mainan-mainan itu,” kata Annie yang kini menempuh studi pascasarjana manajemen seni dan budaya di Australia.

Cara Annie ”bermain” saat ini tentu berbeda dengan ketika masih bocah. Kini Annie memotong-motong mainan berbahan plastik atau balok kayu, memadukannya dengan materi logam (mild steel), menyusun ulang, lalu membubuhkan warna pada komponen logam dengan teknik enamel. Dari proses ”bermain” itu, jadilah sebentuk perhiasan, terutama berupa kalung.

Aras, Miki dan Sasri mengenakan perhiasan Sikra Mahto karya mereka. Kompas/Nur Hidayati
Aras, Miki dan Sasri mengenakan perhiasan Sikra Mahto karya mereka.
Kompas/Nur Hidayati

Tak berhenti dengan menggunakan mainan-mainan lama sebagai materi karya seni perhiasan yang ia buat, Annie juga menggunakan mainan sebagai alat dalam pembuatan karyanya. Balok dan lego, misalnya, ia gunakan sebagai ”kuas” untuk membubuhkan enamel. Mainan juga ia gunakan sebagai alat ”cap”. Hasilnya, sapuan pada lapisan enamel karya Annie seolah berlukis atau sebagian memiliki tekstur timbul.

Annie jatuh hati pada enamel karena materi itu memberinya keleluasan untuk mengolah warna sendiri. Namun, berkarya dengan enamel juga penuh tantangan. Mula-mula Annie memotong materi logam, lalu ditekuk, dipatri, atau dilas sesuai dengan bentuk yang ia inginkan. Kemudian ia mengaplikasikan lapisan pertama enamel. Pada pelapisan pertama, enamel harus dipanaskan dalam semacam oven hingga suhu 840 derajat celsius. Berikutnya, kembali dibubuhkan enamel untuk menampilkan warna.

”Pada lapisan kedua, suhunya lebih fleksibel, tergantung dari tingkat warna yang diinginkan,” ujar Annie yang mengerjakan sendiri seluruh proses pembuatan karyanya. Berikutnya, Annie membubuhkan lagi lapisan ketiga dengan mainan sebagai kuas atau cap pembentuk motif.

Di Australia, perempuan yang menamatkan pendidikan seni rupa dari Universitas RMIT, Melbourne, Australia, pada 2013 ini telah beberapa kali memamerkan karyanya. Ia juga mendapat penghargaan residensi Maggie Fairweather selama setahun di Melbourne hingga Mei 2015 lalu.

Rasa Indonesia-Jepang

Di Tokyo, Jepang, Dilah Sasri Indra (28) bersama adiknya, Aras Ratri Kara (26), dan sahabat mereka, Miki Eto (26), mengekspresikan kecintaan kepada Indonesia sekaligus ketertarikan mereka terhadap cita rasa Jepang melalui Sikra Mahto. ”Kami memadukan nuansa etnik Indonesia dengan cita rasa modern dan minimalis Jepang sebagai karakter desain Sikra Mahto,” ujar Sasri.

Anting, gelang, dan kalung Sikra Mahto memiliki garis desain yang simpel dan ringan—seperti selera Jepang—tetapi meriah, sekaligus kaya warna dan berkesan hangat. ”Dari keragaman budaya Indonesia, kami banyak mengambil warna-warna. Kalau warna Jepang, kan lebih dominan monokrom,” ujar Miki.

Selain warna, komponen perak dan kuningan berukir juga menonjolkan corak budaya Indonesia dalam karya seni perhiasan ini. Mereka memadukan unsur logam itu dengan kerang, mutiara, kayu, kumihimo (gabungan benang), manik-manik, ada kalanya juga dengan materi kulit. Sebagian bahan mereka dapatkan dari Jepang, sebagian lagi dari Indonesia. Di Jepang, mereka juga mendaur ulang bahan sisa produksi tekstil dan kulit. Sementara dari Indonesia, mereka mengolah beragam bahan alami, juga kerajinan ukir perak dan kuningan.

Sikra Mahto lahir pada 2011 ketika ketiganya tengah menempuh studi di Tokyo. Sasri mempelajari desain tekstil, Aras mendalami desain produk dan grafik, sedangkan Miki menggeluti studi mode. Kecintaan terhadap nuansa budaya Indonesia, dan minat yang sama pada bentuk perhiasan, membuat mereka berkarya bersama.

Sasri, Miki, dan Aras memiliki ”keahlian” berbeda. Perbedaan yang justru membuat ketiganya saling melengkapi dalam berkarya. Aras terampil mengolah kayu dan lem serta mendesain secara digital. Miki mahir menjahit dan membuat simpul, selain memahami tren dan desain mode sesuai bidang studinya. Sementara Sasri yang mempelajari desain tekstil punya spesialisasi mengolah bahan tekstil dan komposisi warna.

Menikmati proses

”Membuat karya seni aksesori bagi kami juga menjadi cara pelepasan stres,” ujar Miki yang berdarah Jepang, tetapi memilih tinggal di Indonesia. Seperti Miki, Sasri dan Aras juga menikmati proses berkarya dalam pembuatan perhiasan ini.

Ketiganya sepakat tidak menjadikan Sikra Mahto sebagai mata pencarian utama meski karya mereka disambut pasar. Berulang kali mereka menggelar pameran di Jepang, ataupun Indonesia. Terakhir pada Juli lalu, selama beberapa pekan, label ini dipamerkan di Isetan Shinjuku, Tokyo. Sikra Mahto juga terpilih tampil di ajang Cleo Fashion Award, Jakarta Fashion Week 2013.

Sikra Mahto Arsip Sikra Mahto 05-07-2015
Sikra Mahto
Arsip Sikra Mahto
05-07-2015

Pengerjaan karya seni perhiasan ini sepenuhnya mereka kerjakan bertiga. Mereka juga tidak berniat memproduksi massal dan membuka toko karena setiap perhiasan buatan tangan ini mereka buat unik, satu desain hanya untuk satu produk.

”Meski bukan pencarian utama, kami serius untuk terus meningkatkan kualitas dan menuangkan idealisme lewat karya seni perhiasan ini,” ujar Aras yang sehari-hari bekerja di perusahaan dekor interior dan menjadi direktur kreatif Shocks, sebuah label kaus kaki. Selain menggarap Sikra Mahto, Sasri juga membuat desain tekstil untuk perancang mode senior Carmanita serta memproduksi kain celup dengan labelnya sendiri, Adakala. Sementara Miki tengah mengembangkan sebuah perusahaan perdagangan.

(NUR HIDAYATI)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2015, di halaman 19 dengan judul “ Cerita dalam Seni Perhiasan”