Bulan, Legong, dan Riwayat Tari

0
1906

Ayu Bulantrisna Djelantik tetap cantik. Usianya sudah mendekati 70 tahun. Kecantikan itu seolah memancar dari kedalaman dirinya. Ia seperti peribahasa Bali, ”Payuk perumpung misi berem”. Bulan adalah periuk tua, tetapi menyimpan manis yang tak habis-habis. Semakin tua semakin bercahaya, semakin memancarkan keindahan kepada orang-orang di sekitarnya.

Mungkin begitulah kodrat para penari. Mereka memperoleh berkah kecantikan berlimpah, yang bersumber dari Dewi Saraswati, dewi seni yang menaungi keindahan dan pengetahuan. Seni, kata Bulan, paduan yang pekat antara pengetahuan dan keindahan. Cukup beralasan kalau kemudian ia memadukan ilmu kedokteran yang eksak dan mengandalkan logika dengan kedalaman rasa yang muncul dari gerak-gerak seni tari. ”Saya merasa ada harmoni,” tutur Bulantrisna, Rabu (5/8) di Studio Tari Ayu Bulan di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan.

Kami bercerita banyak hal, seputar kegigihan ayahandanya, mendiang Dokter Anak Agung Made Djelantik, serta ibundanya, Astri Henrietta Zwart. ”Ayah selalu mengantarkan saya berlatih menari di Sekaa Gong Gunungsari sejak berusia 9 tahun,” kenang Bulan.

Sekaa Gong Gunungsari, Peliatan, Ubud, dipimpin oleh maestro seniman Anak Agung Mandera dan tahun 1931 telah mengikuti Colonial Expo di Paris, Perancis. Tari legong, kata Bulan, menjadi primadona saat ekspo berlangsung. Bahkan seorang komponis Eropa bernama Debussy kemudian menciptakan komposisi musik yang mengandung elemen-elemen gamelan Jawa. Sebagian dokumentasi tentang Colonial Expo, yang juga dipandu Raja Gianyar Ida Anak Agung Ngurah Agung itu ditulis Bulan dalam bukunya Tari Legong, dari Kajian Lontar ke Panggung Masa Kini, yang diterbitkan Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.

Bulantrisna Maestro penari Legong Bali Kompas/Riza Fathoni
Bulantrisna
Maestro penari Legong Bali
Kompas/Riza Fathoni

Anda pernah bertanya kepada diri, mengapa menjadi penari?

Menari itu seperti karma, tidak direncanakan, tidak diharapkan, terjadi begitu saja. Kalau lihat foto-foto saya di masa kecil, gerak-gerak itu sudah seperti menari. Belum belajar, sudah seperti menari….

Apa yang bisa Anda katakan mengenai karma, legong, dan hidup Anda sekarang ini?

Saya rasa semua orang religius mengerti ada jalan hidup yang sudah ditentukan. Karma tergantung pada perbuatan kita, masa lalu, kini, dan nanti. Mungkin ini semacam takdir hidup. Ada hal-hal yang tak bisa kita atur, ada hal-hal yang tak bisa diterangkan, apalagi dilogikakan, tetapi nyata dan terjadi. Mungkin Anda tidak tahu, saya selalu berusaha untuk menjauh dari dunia tari. Saya selalu berusaha untuk tidak menari lagi, cukup, tetapi selalu tidak bisa. Waktu memilih kampus untuk kuliah, ayah bilang, ”Kalau kuliah di Jakarta dekat dengan Istana Negara, nanti menari lagi. Pilih yang jauh saja.” Saya akhirnya pilih kuliah di Kedokteran Unpad Bandung. Nyatanya apa? Belum berapa lama di Bandung, kawan-kawan dari Sanggar Gita Saraswati kekurangan penari, jadi saya harus menari lagi….

Sewaktu kelas III di SMAN Denpasar (sekarang SMAN 1 Denpasar), Bulan pernah memilih mengikuti training center di Jakarta sebagai persiapan ke luar negeri. Ia harus meninggalkan ujian akhirnya di sekolah. ”Tetapi, akhirnya enggak jadi berangkat karena peristiwa G30S. Saya pikir saya akan berhenti menari, eh tapi terus ya itu, kuliah ke Bandung malah mengajar menari di sana,” kenang cucu raja terakhir Kerajaan Karangasem, Ida Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem, ini.

Sebagai keturunan bangsawan berdarah campuran yang lahir di Belanda, orangtuanya merasa perlu mengenalkan Bulan pada kampung halamannya di Karangasem. Ketika ia berusia 7 tahun, dalam satu liburan, pasangan Djelantik-Astri menitipkan Bulan kepada pamannya, pewaris takhta Kerajaan Karangasem, Anak Agung Gde Djelantik. ”Saya tinggal 6 bulan di Puri Kertasura Karangasem, belajar menari, tetapi setiap hari sedihhh… jauh dari orangtua,” tutur Bulan. Tetapi, kemudian ia sadar, itulah awal yang kemudian menentukan cerita hidupnya sebagai penari legong kawakan.

Apa Anda pernah berpikir menjadikan tari sebagai pilihan hidup?

Sama sekali tidak. Dulu sewaktu habis menari, ketika sudah bergabung sebagai penari legong di Peliatan, paling diberi uang untuk beli es sirup dan ketipat cantok (ketupat ulek). Itu sudah bahagia sekali. Kalau latihan selalu sampai malam, kalau orangtua tidak bisa jemput, saya pulang ke Denpasar dari Ubud diantar dengan truk… ha-ha-ha. Itu kenangan yang tak terlupa….

(Dokter Djelantik, ayahanda Bulan, pernah berkisah, kecintaan pada kebudayaan Bali yang ia tinggalkan saat hidup di Belanda justru tumbuh kembali saat-saat mengantar-jemput Bulan belajar menari di Peliatan. Ia bahkan kemudian menulis buku yang sampai kini dipakai sebagai acuan para penulis berikutnya. Buku itu berjudul Balinese Painting, buku yang pertama-tama merumuskan hal-ihwal kecenderungan estetik seni rupa Bali).

Kenapa memilih tari legong dan apa keistimewaan tarian ini?

Saya tidak memilih tari, tetapi mungkin karena tubuh saya mungil, cocok buat tarian sejenis legong. Kalau diperhatikan, para penari legong selalu memiliki postur tubuh yang khas, mungil, lentur, punya kekuatan, dan berisi. Para guru tari di zaman dulu pasti tahu mana anak yang cocok menarikan legong, mana yang
tidak. Kalau sekarang, semua orang belajar legong di bengkel saya, itu hanya sebagai dasar dari gerak. Tidak semuanya akan menjadi penari legong. Legong itu seperti fusion, ia puncak dari pertemuan antara tari sanghyang dan gambuh.

Sanghyang memberi dasar gerak yang abstrak, sementara gambuh memberi
narasi. Lalu gamelan kekebyaran yang muncul pada awal abad ke-20 turut
serta memberi dinamika gerak legong menjadi seperti patah-patah dan
lebih cepat dibandingkan dengan sanghyang.

Anda kan dokter THT (telinga, hidung, tenggorokan) yang menumpukan ilmu pada logika diagnosis, di sisi lain Anda juga penari kawakan. Bagaimana menjelaskan hubungan keduanya?

Mungkin ini yang disebut keseimbangan otak kiri dan kanan ya, he-he-he…. Mungkin saya belajar ”melogikakan” legong dari ilmu kedokteran. Legong kupu-kupu tarum, misalnya, bukan penarinya yang menjadi kupu-kupu, tetapi gerakan kipas yang lincah itu yang menyerupai kupu-kupu. Semua legong itu bisa berubah menjadi apa pun tanpa harus berganti kostum, semuanya dengan gerak dan mimik. Saya mengerti itu dengan mempelajari logika kedokteran. Selain itu, ke mana pun saya pergi untuk belajar ilmu kedokteran, selalu dibarengi dengan aktivitas menari. Ketika mengambil S-2 di Muenchen, tiba-tiba sekelompok seniman bernama Cara Bali meminta saya menjadi guru tari dan tabuh di sana…. Jadi, saya bisa keliling Jerman gara-gara legong juga….

Usia Anda sekarang 68 tahun. Apalagi yang Anda inginkan di dunia tari?

Saya mendirikan Bengkel Tari Ayu Bulan di Bandung, tahun 1994. Tapi, sebelum itu ikut mendirikan ASTI (STSI) Bandung dan jadi dosen di sana. Lalu mendirikan Studio Tari Ayu Bulan di tiga tempat di Jakarta. Kira-kira murid dan penarinya kini sudah ratusan orang. Untuk apa semuanya? Saya ingin seni tradisi Nusantara menyusup dan hidup di antara zaman kekinian. Legong adalah salah satu tarian yang bisa ditafsir dan digarap bermacam-macam. Itu justru karena sifatnya yang abstrak. Itu pula sebabnya saya selalu bersedia menggarap legong lalu dipadukan dengan jenis tarian lain….

(Pada 12-13 Agustus 2015 bersama The Ary Suta Center, Bulan akan mementaskan Drama Tari Panji Inu di Gedung Kesenian Jakarta. Pada 15 Agustus ia akan berkolaborasi dengan penari dari India dalam pentas bertajuk Arjuna-Dibiasakti, perpaduan legong dengan tari bharatanatyam di Gedung Sapta Pesona, Jakarta dan 23 Agustus di Galeri Indonesia Kaya Jakarta dalam pentas berjudul Satua Calonarang. Lalu menurut rencana, 20 Oktober-3 November akan mengikuti Delhi International Art Festival). ”Wah ramai ya, tetapi saya tahu diri, tidak ngoyo kok, mengalir saja, demi anak-anak muda yang penuh gairah,” kata penari yang menari di Istana Negara sejak berusia 12 tahun.

Dulu Anda dekat dengan Bung Karno, bagaimana ceritanya?

Oh… pada usia 12 tahun saya menari di depan Ho Chi Minh (Presiden Vietnam) di Istana. Waktu itu tiga anak perempuan Bung Karno, yaitu Megawati, Rachmawati, dan Sukmawati, semuanya menari. Mereka menari Jawa, saya Bali. Bung Karno kemudian memperkenalkan saya kepada Paman Ho, jadi ada kehangatan. Sejak itu setiap ada jamuan saya menari di Istana, bahkan selalu mengikuti misi kesenian ke luar negeri bersama Istana Kepresidenan yang dikoordinasi Pak Sampoerno. Jadi waktu itu kebanggaan sebagai penari benar-benar tumbuh.

Ketika masa Orde Baru, salaman dari Presiden biasa saja, para penari dan penabuh tidak pernah dikenalkan. Istana selalu membatasi tarian 4-6 menit.  Waktu menari di depan Presiden  Clinton, saya harus memutus-sambung kaset gamelan untuk memperpendek durasi. Itu pekerjaan berat sekali, di masa itu.

Apa sumbangan legong pada dunia kebudayaan Indonesia?

Legong itu salah satu tarian klasik. Ia berhasil keluar dari ranah sakralitas menjadi sekuler, menjadi tarian untuk pertunjukan, yang tidak berhubungan langsung dengan ritual. Legong adalah komposisi yang sangat genius dan berasal dari masa 300-400 tahun silam. Ia suatu koreografi yang amat kompleks, indah, dan seperti kata saya, abstrak. Dia tidak verbal seperti seni gambuh dan arja di Bali. Dia bercerita melalui cuplikan-cuplikan rasa.

Walau sekuler, dalam ornamen pakaian legong ada lamak, yang digantungkan dari dada ke arah lutut. Itu simbol dari alas sesajen dan penarinya adalah sesajen. Itu simbol spiritual kuat bahwa menari adalah persembahan, laku gerak tubuh dengan rasa dan hati untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Itu kan amat filosofis, ajaran leluhur yang mengajarkan kita rendah hati. Bahwa selalu harus berlaku hormat dan mengucap syukur atas pemberian hidup dan segala kebahagiaan ini….

(Kata-kata Bulantrisna itu seperti mengajarkan bahwa kecantikan itu tidak berhenti pada soal-soal fisik. Ia akan meluncur dari kedalaman diri yang bersumber pada rasa hormat dan syukur yang terawat baik lewat laku menari. Karena tarian adalah sebentuk persembahan yang digerakkan oleh ketulusikhlasan. Di situlah kunci meraih kebahagiaan….)

Anak Agung Ayu Bulantrisna Djelantik

  • Lahir: Deventer (Belanda), 8 September 1947
  • Profesi: Dokter spesialis THT, konsultan bidang kesehatan telinga/pendengaran dan audiologi, neuro-otologi.
  • Pendidikan: Dokter Umum Universitas Padjadjaran, Bandung, (1975), Spesialis THT (1985); Dokter Medizin/S-2 di LM Universitat Muenchen (1989); Doktor/S-3 di Antwerp University Belgia (1996).
  • Pekerjaan: Pengajar ASTI Bandung (1972-1974), pengajar Bagian Ilmu Faal FK Universitas Padjadjaran, Bandung, (1975-1978), pengajar THT FK Universitas Padjajaran, Bandung, dan Konsultan World Health Organization South East Asia di New Delhi (1985-2004).
  • Kegiatan Tari: Belajar menari sejak berusia 8 tahun pada guru-guru tari seperti Ida Bagus Bongkasa (Karangasem), Gusti Biang Sengog (Peliatan), I Kakul (Batuan), dan I Maria (Tabanan). Tahun 1955 pertama kali menarikan condong kebyar untuk publik di Pendopo Puri Agung Karangasem. Tahun 1957-1965 anggota Sekaa Gong Gunungsari Peliatan di bawah pimpinan Anak Agung Mandera. Sejak itu setiap tahun menjadi penari dalam setiap misi kesenian Indonesia di luar negeri. Pernah mementaskan Energi Legong (1996) di Solo, Legong Asmarandana (1996) di Bandung, Mutiara Legong (2000) di Bandung, Legong Witaraga (2002) di Bandung dan Jakarta, Janger Hiphop (2005) di San Francisco AS, Janger Anti Stress (2006) di Amerika, Bedoyo Legong Calonarang (2007) di Jakarta dan Singapura, serta Topeng Panji dan Rengganis (2012) di Bali dan Jakarta.

(Putu Fajar Arcana)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2015, di halaman 13 dengan judul “Bulan, Legong, dan Riwayat Tari”