Mereka berjuang untuk mematahkan persepsi yang menganggap penyandang tunanetra manusia lemah. Mereka mendaki Gunung Papandayan guna mengatakan bahwa mereka penuh semangat hidup dan dapat mandiri.
Mendung menggantung di atas Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Kabut bercampur aroma belerang memenuhi udara, mengurangi keleluasaan bernapas. Sekelompok pendaki gunung tampak terus berjalan pelan tapak demi tapak.
Santi Puspita Dewi (24), penyandang tunanetra, mahasiswa Jurusan Komunikasi Universitas Nasional, Jakarta, susah payah melangkahkan kaki. Erida Donna Simaremare (27), sang pemandu, berulang kali menawarkan diri membawakan ransel yang membebani pundak Santi, tetapi selalu ditolak.
Santi meyakinkan Erida bahwa dia bisa mengangkut ransel berbobot hampir 20 kilogram itu sampai ke puncak gunung. Santi tidak ingin merepotkan atau menambah beban orang awas. Dipandu menapaki jalan menuju puncak Papandayan yang berketinggian 2.665 meter di atas permukaan laut itu saja Santi sudah sangat berterima kasih.
Erida setia memandu Santi. Ia mengagumi betapa besar semangatnya menapaki jalanan terjal itu. ”Di kanan kira-kira setengah meter ada batu. Ambil langkah agak ke kiri,” begitu Erida memandu. Ia membiarkan lengan kanannya dipegang tangan kiri Santi, sementara tangan kanan Santi memegang tongkat untuk meraba jalan terjal yang penuh kerikil, batu, lumpur.
Nyanyian alam
Santi tidak sendirian. Setidaknya ada 15 penyandang tunanetra yang tergabung dalam Papandayan’s Blind Trekking yang diinisiasi oleh Fellowship of Netra Community. Mereka juga mengajak puluhan orang awas sebagai relawan yang menjadi pemandu para penyandang tunanetra. Rata-rata mereka adalah mahasiswa dan pegawai kantoran.
Tidak mudah memang menapaki jalur menuju puncak Papandayan, bahkan bagi orang awas sekalipun. Namun, mendaki gunung bukan semata soal ketahanan fisik dan ketajaman pandangan mata. Sebagian besar pendaki gunung yang mampu mencapai puncak adalah mereka yang siap secara mental. Inilah yang dimiliki Santi dan para penyandang tunanetra lainnya.
Sepanjang jalan, Santi terus tersenyum seolah menikmati setiap langkah. ”Di sebelah kiri itu sungai, ya? Bunyi airnya merdu banget. Bau belerangnya juga terasa. Kita sudah dekat puncak, ya?” ujar Santi penuh semangat ketika melintas di dekat kawah Gunung Papandayan.
Memang di samping kami terdapat sungai jernih yang mengepulkan asap belerang. Gemericik airnya memberi rasa tenang. Santi menajamkan pendengarannya menikmati nyanyian sungai itu. Kami beristirahat sejenak setelah hampir dua jam mendaki.
Saat hendak menyeberangi sungai, dia sengaja berlama-lama mencelupkan kaki di air sembari mendengarkan kicau burung yang melintas. Desir angin yang menyapa pohon membuat Santi senyum-senyum sendiri.
Gemericik air
Dia mengisahkan pernah dapat melihat warna di usia kanak-kanak, sebelum segalanya menjadi serba gelap seperti sekarang. Lewat bunyi gemericik air itu, dia membayangkan pepohonan, burung, udara sejuk, dan segala aroma pegunungan. Itu membuatnya seperti kembali dapat melihat alam. ”Sekarang saya merasa happy banget. Tidak ada lagi capek-capek,” katanya sembari tersenyum.
Itu pula yang dirasakan Despha Dendi Irawan (26). ”Ini yang namanya surga. Saya seperti melek kembali mendengar bunyi air, burung, menyentuh pohon, dan semuanya ini,” katanya.
Despha lahir dengan mata yang mampu melihat segala warna dan bentuk. Dia hobi balapan dan, pada usia 17 tahun, Despha mengalami kecelakaan yang menyebabkan saraf penglihatannya rusak. Ditemani adiknya, Rizky (17), Despha menapaki lereng Papandayan hingga ke bumi perkemahan Pondok Salada. Ini menjadi pos terakhir sebelum sampai puncak. Di Pondok Salada, para penyandang tunanetra mendirikan tenda. Kebetulan, hari itu, mereka berbarengan dengan sedikitnya 4.000 pendaki lain.
Begitu tenda berdiri, hujan deras turun hingga keesokan hari. Jalanan berlumpur dan licin sehingga tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Rombongan lantas pulang, yang tentu saja medannya lebih berat karena becek dan berlumpur. ”Meskipun tidak sampai puncak, saya sangat senang. Pendakian ini membuktikan bahwa masih banyak orang baik yang mau membantu kami. Namun, mereka juga paham bahwa tidak semua beban kami harus mereka yang mengatasi. Kami ingin mandiri,” tutur Abdul Luay (24).
Abdul sempat bisa melihat di masa remaja. Ketika usia delapan tahun, dia mengalami kecelakaan dan menderita low vision sebelum akhirnya benar-benar tidak dapat melihat pada usia 15 tahun. Sejak saat itu, dia berpegang pada tongkat, kepercayaan diri, dan tekad untuk hidup mandiri.
Mendaki gunung bagi Abdul merupakan pengalaman berharga bahwa hal yang begitu susah dilakukan, bahkan oleh orang awas sekalipun, ternyata dapat mereka jalani. Begitu juga hidup, tak ada masalah yang benar-benar berat jika dijalani setapak demi setapak. Seperti Abdul dan rekan-rekannya yang akhirnya sampai ke Pondok Salada.
Penyuntik semangat
Psikolog Alabanyo Brebahama (29) yang juga penyandang tunanetra dan ikut dalam rombongan pendakian itu mengatakan, keberhasilan mendaki gunung bagi penyandang tunanetra menjadi penyuntik semangat hidup. ”Ini sangat menyehatkan secara psikologis karena mereka semakin percaya diri setelah melalui perjalanan terjal dan sulit itu,” ungkap Alabanyo, yang mengalami kebutaan hampir total sejak umur sepuluh tahun ini. Saat ini, hanya mata sebelah kanan yang berfungsi sekitar 22 persen untuk melihat.
Apalagi, lanjutnya, selama pendakian terjadi interaksi intensif antarpara penyandang tunanetra ataupun antara relawan dan penyandang tunanetra. Ini menunjukkan betapa mereka diterima secara sosial. Kesan-kesan itu yang akan mereka bawa pulang dan ditularkan kepada para penyandang tunanetra lain.
”Banyak penyandang tunanetra yang memiliki hasrat besar untuk belajar dan mengeksplorasi pengalaman-pengalaman baru. Mendaki gunung ramai-ramai seperti ini menjadi saat penting bagi penyandang tunanetra,” tutur Alabanyo lagi.
(Mohammad Hilmi Faiq)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Agustus 2015, di halaman 01, 16 dengan judul “Penyandang Tunanetra – Gunung Pun Kami Daki….