Tanggal 17 Agustus 1945 pagi, dari rumah Koesnaeni di Jalan Bungur Besar, Jakarta, Adam Malik menelepon ke kantor Antara di Jalan Pos Utara Nomor 53. Asa Bafagih, si penerima telepon, mencatat Adam Malik yang mendiktekan bunyi proklamasi yang dibacakan Bung Karno di Pegangsaan Timur 56.
Lewat telepon pula Adam Malik membeber rencananya. Asa harus meneruskan kabar proklamasi bangsa Indonesia kepada Pangulu Lubis. Lubis harus mencari cara agar bunyi proklamasi itu disiarkan Domei, kantor berita Jepang di lantai dua flat nomor 59 di Jalan Pos Utara.
Wartawan senior Lembaga Kantor Berita Nasional (Kantor Berita) Antara, Soebagijo IN, menuliskan ketegangan sejarah tersiarnya kabar kemerdekaan Indonesia itu. Lubis berjalan kaki melewati dua flat yang berderetan di jalan yang kini dikenal sebagai Jalan Antara di Pasar Baru, Jakarta, membawa secarik kertas salinan teks proklamasi ke dalam kantor yang dijaga tentara Jepang.
”Lubis … menyelipkannya di antara berita-berita … yang telah dibubuhi izin Hodohan. Markonis Soegiarin ditugaskan mengawasi pelaksanaan tersiarnya teks proklamasi tersebut. Pengirimannya dilakukan oleh markonis Wua … Berita proklamasi Indonesia itu … mendapat tanggapan dari San Francisco, Australia, dan lain-lain. Marahlah mereka (Jepang) …,” tulis Soebagijo dalam buku Lima Windu Antara (1978).
Soebagijo menulis lagi, Kempetai memaksa Domei menyiarkan ”ralat” yang menyatakan berita proklamasi Indonesia salah. ”Seorang Jepang bernama Tanabe … membuat berita bantahan itu, dan kemudian disiarkan juga oleh Wua melalui pesawat Domei. Tapi … berita proklamasi telanjur disebar-luaskan; bukan saja dalam pers, tetapi juga per stensil, per kawat, ataupun per telepon, dari mulut ke mulut, sampai ke instansi pemerintah di daerah dan di luar kota.”
Ruangan tempat markonis Wua mengirim kawat berita proklamasi Indonesia masih terawat, dan hari ini menjadi bagian dari Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA). Di salah satu sudut lantai 2 galeri, terdapat sebuah meja yang penuh dengan berbagai peralatan radio tempo dulu, termasuk pesawat pengirim kode morse.
”Salah satu mantan Direktur Teknik Kantor Berita Antara, almarhum Soekarman, mengenal para pelaku sejarah itu. Soekarman menuturkan, di sudut ruangan itulah Wua mengirimkan kawat berita kemerdekaan Indonesia,” tutur Oscar Motuloh, kurator GFJA.
Sempat ditinggalkan
Setelah kemerdekaan, bangunan tempat disiarkannya kemerdekaan Indonesia ke penjuru dunia itu sempat menjadi tempat Kantor Berita Antara. Namun, pada 1980 Antara boyongan ke Wisma Antara, sebuah menara 20 lantai yang megah di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Tiga flat bangunan bekas Kantor Berita Domei—flat nomor 57, 59, dan 61 di Jalan Antara—ditinggalkan para pewarta Antara.
Adalah Handjojo Nitimihardjo, Pemimpin Umum Kantor Berita Antara periode 1987-1998, yang mengawali upaya menghidupkan kembali bangunan bekas Kantor Berita Domei itu. Pada 1991, Handjojo berhasil mendapatkan anggaran untuk merenovasi bangunan itu. Ia menunjuk Direktur Keuangan Awaluddin dan Direktur Teknik dan Logistik M Cholil sebagai pemimpin proyek museum sejarah Kantor Berita Antara.
Oscar Motuloh, yang ketika itu baru tiga tahun bekerja di Kantor Berita Antara, ditunjuk memimpin tim yang merancang konsep isi museum. Tahun 1991, Motuloh dan tim menemukan ruangan bersejarah tempat Wua mengirim kawat berita proklamasi di lantai kedua flat nomor 59 berantakan oleh tumpukan arsip.
Lantai dasar flat nomor 61 menjadi toko mebel dan lantai dua ditempati redaksi dua terbitan pemerintah, Warta Perundang-undangan serta Info Pasar. Sementara dua lantai flat 57 kosong melompong.
”Bangunannya masih terawat karena sejak 1959 sudah berstatus bangunan bersejarah kelas A. Kepala Museum Fathahillah saat itu, Adji Damais, mengenalkan kami dengan Wagiono Soenarto (sekarang Rektor Institut Kesenian Jakarta) untuk merancang desain museum yang akrab dengan budaya pop orang muda. Wagiono dan tim kami menggagas mural pop bergambar Soekarno, nuansa warna merah yang menjadi representasi bendera Merah Putih, dan pernak-pernik populer lainnya,” kata Motuloh.
Di seberang sudut tempat Wua mengirim kawat kabar proklamasi, berderet sejumlah peralatan radio tempo dulu dan mesin tik tua, termasuk mesin tik Adam Malik. Adam Malik adalah tokoh dalam sejarah Antara, yang bersama AM Sipahoetar, Soemanang, dan Pandoe Kartawagoena, mendirikan Persbureau Antara pada 13 Desember 1937.
Dinding lantai dua flat nomor 59 dan separuh dinding flat 57 juga penuh oleh salinan kliping berbagai koran bumiputra yang menyiarkan berita-berita pertama Persbureau Antara. Kutipan para pendiri bangsa, termasuk Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, tertoreh di dinding merah flat nomor 59.
Denyut jurnalisme
Namun, bukanlah bangunan nge-pop atau deretan benda-benda tua yang menjadikan sejarah berita kawat proklamasi Indonesia terhidupi, bahkan tumbuh. Proyek revitalisasi bangunan bekas Kantor Berita Domei sejak awal dirancang agar peristiwa sejarah itu dihidupi dengan kekinian dan jurnalisme.
Setelah renovasi dan pengumpulan koleksi barang bersejarah, Motuloh menggandeng redaktur foto majalah Tempo, Yudhi Soerjoatmodjo, untuk menjadi kurator pertama GFJA. ”Yudhi Soerjoatmodjo adalah orang yang meletakkan dasar dan konsep GFJA. Ia merintis pameran fotografi jurnalistik pertama GFJA pada 1992 bertajuk ’Kilas Balik’. Yudhi pula yang menekankan pentingnya pendidikan fotografi dokumenter-jurnalisme, membuat GFJA hidup dan menebarkan semangat jurnalisme di antara orang muda. Pada 1994, dimulailah workshopreguler fotografi jurnalistik GFJA,” ujar Motuloh.
Sejak saat itu, setiap tahun (kecuali tahun 1998 saat seluruh pewarta foto disita kesibukan meliput Reformasi 1998) GFJA mendidik 30 peminat fotografi untuk belajar teknik dasar fotografi dan fotografi jurnalistik. Kelas-kelas itulah yang menempa ratusan fotografer profesional yang hari ini tersebar di hampir seluruh media nasional dan kantor berita internasional di Jakarta. Ditopang jaringan ratusan alumnus itu, setiap bulan GFJA mampu menggelar pameran fotografi jurnalistik di galeri yang menempati lantai dasar flat nomor 59 dan 61.
Jurnalisme di bekas Kantor Berita Domei semakin berdenyut ketika para pewarta foto Antara memutuskan ”balik kandang”, berpindah dari Wisma Antara di Medan Merdeka Selatan. Sejak 1999, separuh lantai dua flat nomor 57 menjadi kantor bagi para pewarta Divisi Mandiri Pemberitaan Foto Kantor Berita Antara.
”Hari ini, dari gedung bersejarah ini pula Indonesia terkabarkan kepada dunia. Foto-foto dari lebih 150 pewarta foto dari seluruh Indonesia setiap hari disajikan kepada dunia melalui kantor berita Reuters Inggris, Associated Press AS, DPA Jerman, Kyodo Jepang, Xinhua Tiongkok, dan seluruh kantor berita negara ASEAN,” ujar Kepala Divisi Mandiri Pemberitaan Foto Kantor Berita Antara Hermanus Prihatna.
Di tiga flat di Jalan Antara, sejarah tidak ditaruh sebagai kenangan. Sejarah kawat berita proklamasi Indonesia dihidupkan laku yang sama, mengabarkan Indonesia dan menumbuh-tebarkan semangat jurnalisme para perintis Kantor Berita Antara.
(Aryo Wisanggeni G)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Juli 2015, di halaman 18 dengan judul “Dari Jalan Antara, Indonesia Terkabarkan”