Kala puas bersantap, orang Wakatobi akan bilang ”Minna, to lula’e bisa te bajunto” atau ”Minna, to kabi’e bisa te furai”. Yang artinya, enak, biar kita buka bajunya atau biar sarung kita buang karena makanan terlalu enak. Mari kita cicipi kuliner Wakatobi.
Wakatobi, selain pemandangan bawah laut yang indah, juga menyimpan kekayaan kuliner yang mengundang selera. Budaya maritim memengaruhi tradisi pangan warga kepulauan di perairan Sulawesi Utara itu. Acara Minna Wakatobi, A Sustainable Fishing Culture yang digelar beberapa waktu lalu di Paviliun 28, Jakarta, mengajak kita mencicipi keragaman pangan Wakatobi. Lisa Virgiano menyelenggarakan kegiatan ini sebagai apresiasi terhadap budaya pangan Wakatobi.
Ia mendatangkan khusus ikan, udang, cumi, dan kerang dari Wakatobi. Lisa adalah anggota tim Ekspedisi Liwuto Pasi yang bertanggung jawab di bidang kuliner. Ekspedisi ini digelar oleh World Wildlife Fund (WWF) dan Rujak Center for Urban Studies (RCUS) pada 15-30 November 2014.
Di sana, Lisa tinggal di Pulau Kaledupa, satu dari empat pulau utama yang menjadi lumbung pangan di Wakatobi. Selama dua pekan ia belajar memasak aneka masakan khas Wakatobi pada ibu-ibu setempat. Sebelum ini Lisa dikenal giat mempromosikan budaya kuliner Tanah Air lewat gerakan Slow Food dan Underground Secret Dining.
Rangkaian bersantap saat itu diawali dengan mengudap soami pepe dan jojolo. Soami pepe yang dibentuk semacam piza mini ini terbuat dari soami kikiri, yakni singkong yang diparut, dikeringkan, diayak, lantas dikukus. Soami kikiri yang masih panas lalu dicampur dengan irisan bawang merah, daun sirih, serai, garam, dan diuleni dengan bantuan minyak kelapa. Setelah dibentuk bulat pipih, diatasnya ditaburi abon ikan. Adapun jojolo yang rasanya manis terbuat dari jagung muda, daging kelapa muda, dan parutan kelapa tua dengan harum pandan.
Setelah itu, perhatian segera tersedot pada kentakalla ni santai atau sup tuna. Sambil menyeruput kuah sup yang hangat, pikiran pun melayang pada cerita Lisa tentang nelayan yang berada di tengah samudra hingga sebulan demi mendapatkan si tuna. Kentakalla ni santai yang penampilannya mirip opor ini dibuat dari fillet atau irisan daging ikan tuna yang dimasak bersama bumbu kunyit, garam, gula, dan ketumbar.
Ada rasa khas yang terindera oleh lidah ketika mencicipi kuahnya yang kuning, encer, dan ringan. Rasa asam yang samar, tetapi menyentak ingatan rasa yang gembira mengenal rasa ”baru” tetapi lama. Ikan tuna dan cakalang diperoleh dari laut dalam. Demi memburu tuna dan cakalang, nelayan sedikitnya berada di tengah laut selama dua minggu. Oleh karena tidak punya es batu atau mesin pendingin, ikan-ikan itu dijual kepada nelayan asing di tengah laut. Mereka melaut hingga ke batas mendekati Australia atau di laut antara Kalimantan dan Sulawesi. Para nelayan tidak punya banyak pilihan karena jika ikan dibawa ke darat akan membusuk.
Di kala air surut, ikan-ikan dengan sendirinya terdampar ke pantai. Nelayan Wakatobi punya cara khas untuk menangkap ikan non-perairan dalam. Mereka menggunakan sero, semacam jaring yang dibuat dari bambu dan batang pisang. Manis aroma bambu menarik ikan-ikan mendekat. Dengan desain sedemikian rupa, sero menggiring ikan masuk perangkap. ”Orang sana percaya, ikan yang ditangkap dengan cara baik, rasanya enak. Sebaliknya, jika sebelumnya ia tersiksa atau kesakitan, misalnya dipancing, kenikmatannya berkurang,” ungkap Lisa.
Sayangnya, kini sero yang dipakai dibuat dari plastik karena dianggap praktis dan tahan lama meski harga buatnya lebih mahal. Namun, sebenarnya, hasil tangkap dengan sero plastik lebih sedikit daripada sero bambu. Itu pun sudah dengan ikan-ikan kecil yang seharusnya tidak ikut terjaring karena lubang-lubang pada sero plastik yang kecil-kecil. Ketika tertiup angin, sero plastik menimbulkan suara berisik yang menakuti ikan. Sebaliknya, sero bambu menimbulkan suara bak musik yang indah.
”Nelayan muda lebih suka sero plastik karena tidak perlu repot memperbaiki jika kena gelombang. Seorang parika atau tetua nelayan di sana sudah setuju untuk mengajarkan kembali cara membuat sero bambu kepada para nelayan karena sudah sangat jarang yang membuat dan memakainya. Kami sedang mengumpulkan dana untuk itu,” lanjut Lisa.
Selain kentakalla ni santai, ada pula kosea nu lobha atau kosea sayur. Ini semacam sup dengan bahan daun melinjo, daun ubi, dan daun katuk yang diberi rasa oleh parutan kelapa muda dan ikan bakar yang disuwir-suwir.
Bumbu sederhana
”Bumbu mereka sederhana, hanya pakai bawang merah dan garam saja. Bawang putih, ketumbar, dan lada jarang dipakai. Begitu juga daun salam, laos, jahe, dan serai. Pengaruh kecap manis, kecap ikan, atau taoco tidak ada. Meski dekat dengan Maluku sebagai pusat penghasil rempah, ternyata mereka tidak pakai rempah dalam masakannya,” kata Lisa.
Salah satu menu favorit lainnya adalah tumis kempa, yakni kerang batik yang dimasak bersama santan cair, tomat, bawang merah, cabai, dan daun kedondong. Kerangnya berwarna putih dengan tepi jingga yang terlihat cantik dan segar.
Menu ini disandingkan dengan sambal cabai hijau dan soami ondo-ondo bhiru yang rasa dan penampilannya mirip tiwul, hanya saja berwarna hijau kecoklatan. Orang Wakatobi sebenarnya tidak makan nasi. Sumber karbohidrat mereka adalah singkong dan jagung. Soami ondo-ondo bhiru terbuat dari singkong kupas yang digantung dan dikeringkan di udara terbuka selama 4-6 hari. Singkong lantas diperam dalam karung selama tiga hari hingga hitam dan tumbuh jamur. Singkong dibersihkan dari jamur lantas diiris tipis dan direndam dalam air. Setelah diperas hingga kering, diremas-remas dan dikukus. Soami juga sering dijadikan bekal nelayan melaut karena tahan lama.
Menu yang membuat para undangan mengantre adalah seafood sinole yang dimasak langsung di tempat oleh Lisa. Ini semacam nasi goreng yang diberi makanan laut, seperti udang, kerang, dan cumi segar. Sebagai ”nasinya” adalah granula singkong yang terbuat dari ampas singkong yang diperas dan dijemur hingga kering. Sebagai bumbunya adalah bawang merah, garam, dan parutan kelapa setengah tua.
Enak dan puas rasanya menyantap hidangan khas Wakatobi sekaligus mereguk cerita-cerita di baliknya.
(Sri Rejeki)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Juli 2015, di halaman 20 – SANTAP dengan judul “Makan Enak, Sarung pun Dibuang”.