Navicula: Merayakan Rock dengan Muka Berminyak

0
2814

Band rock asal Bali, Navicula, meluncurkan album kedelapan mereka bertajuk ”Tatap Muka” dalam format DVD di Paviliun 28, Jakarta, Jumat (22/5). Menepi dari ingar-bingar bebunyian keras, kali ini mereka menyuguhkan lagu baru dalam bentuk akustik.

Empat sekawan yang sudah ngeband bareng sejak 19 tahun lalu itu membuka pesta peluncuran album tersebut dengan tembang ”Dead Trees”. Suasananya santai. Penonton sebagian lesehan, sebagian lagi berdiri. Warung itu sengaja memindahkan meja dan kursi ke luar ruangan agar lega.

Sebelum acara dimulai, penggemar Navicula bercengkerama di tenda di luar bangunan. Mereka menikmati minuman ringan dan jamu yang menjadi menu khas warung yang dikelola sutradara Eugene Panji itu. Musik rock, yang biasanya identik dengan minuman beralkohol, kali itu bisa juga dinikmati sembari menyesap kunir asem. Toh, suasana rock tidak berkurang karenanya.

Suasana berbeda itu juga ditunjukkan Navicula. Sejak awal, Navicula berada di jalur musik yang banyak disebut orang dengan aliran grunge. Jenis musik ini dipercaya berkembang dari daerah Seattle, AS. Nirvana, Pearl Jam, Mudhoney, dan Soundgarden adalah beberapa lokomotifnya.

Mereka melabeli aliran mereka sebagai psychedelic-grunge. Seperti kebanyakan band grunge dalam negeri, ada distorsi, nada miring dan menggantung, kebisingan, serta lirik yang cenderung muram kisahnya. Namun, Navicula tak cuma itu. Ada lebih banyak pengaruh lain pada mereka.

Mereka mengadopsi pola grunge. Namun, secara lirik, Navicula punya resep sendiri. Gede Robi, vokalis yang banyak menyumbang kata-kata, berkisah tentang kerusakan lingkungan, perlindungan harimau, kelestarian hutan, dan hal-hal lumrah sebagai manusia. Band ini berbicara tentang cinta dalam spektrum lebih luas.

Malam itu mereka membawakan tembang ”Zat Hijau Daun” dari album Alkemis yang dilepas pada 2005. Di lagu itu masih terdengar jelas tapak musikalitas Navicula. Lagunya tidak terlalu kencang, tetapi berat dengan nada-nada rendah dan stakato menggantung. Liriknya bercerita tentang peran klorofil peluruh racun di udara.

Lagu ”Bekas Luka” dari album teranyar, misalnya, sekilas terdengar seperti lagu patah hati. Namun, sebenarnya itu adalah ”patah hati” yang lain. Robi mempersembahkan lagu tersebut untuk para pejuang hak asasi manusia yang terus menuntut kejelasan nasib sejumlah aktivis yang dihilangkan. ”Negara masih berutang,” kata Robi sebelum mulai bernyanyi.

Lagu lain, ”Mother in Child” menunjukkan pentingnya ASI eksklusif bagi anak balita. Mereka sedang berusaha membantah propaganda susu formula pabrik raksasa. Hal serius semacam itu mereka nyatakan dalam balutan rock akustik. Tak terlalu ngebut, tak terlalu keras, tapi sama sekali tidak kendur.

Jujur

Album Tatap Muka menyajikan delapan lagu tanpa distorsi bising khas mereka. Mereka merekamnya secara langsung (live recording) di Museum Topeng Setia Darma, Ubud, Bali. Lagu ”Merdeka”, yang sebelumnya ada di album Beautiful Rebel (2007), diaransemen ulang dan diangkat sebagai singel jagoan.

Navicula, seperti yang dikatakan Dadang SH Pranoto, pemain gitar, hendak menunjukkan kejujuran bermusik mereka lewat audio dan visual. ”Video akan membantu penonton merasakan energi musik yang kami buat dan bisa melihat bagaimana proses bermusik kami,” kata Dankie, panggilan Dadang.

Bermain secara akustik tak ayal membutuhkan penyesuaian. Itu dirasakan pemain bas Made Indria Dwi Putra. Indra, panggilannya, adalah personel paling pecicilan. ”Harus nahan emosi banget,” ujarnya. Menahan diri untuk tidak menggebuk terlalu keras juga dilakoni pemain drum Rai Widya Adnyana atau Gembul.

Pembeli album Tatap Muka ini mendapat kode untuk bisa mengunduh berkas audio saja sehingga bisa diputar pada perangkat yang lebih ringkas. ”Kalau malas melihat muka-muka kami yang berminyak, silakan download lagunya,” ujar Robi.

Proses rekaman, kata Robi, tak membutuhkan waktu lama. Mereka menghabiskan seharian penuh untuk memasang peralatan di Museum Topeng itu. Sehari kemudian, mereka melakukan geladi bersih untuk menguji peralatan audio dan video. Pada hari ketiga, rekaman dimulai tengah hari, dan kelar sebelum jam makan malam.

Selain diisi empat personel Navicula, mereka juga dibantu empat musisi dan dua perempuan penyanyi. Karena itu, suguhan musik mereka terdengar penuh. Ada bunyi piano yang dimainkan Windu Estianto, cello oleh Fendi Rizki, perkusi oleh Affan Latanete, dan gitar tambahan oleh Sony Bono. Vokal perempuan diisi oleh Vivi Mambo dan Sari Sudarsana.

Pada pertunjukan di Paviliun 28, dan dua hari sebelumnya di @america, Navicula mengajak mereka semua. Sayangnya, Vivi, Sari, dan Sony tak bisa ikut. Entah benar atau tidak, Robi menjelaskan bahwa tiga orang itu tidak diajak karena tidak ada uang untuk beli tiket pesawat. ”Kami masih rocker pas-pasan,” katanya.

Bentuk grunge ala Navicula dalam rupa akustik ini tentu pantas untuk dipanggungkan lagi. Gembul berujar, mereka punya keinginan menggelar tur. ”Lagu baru dimainkan dengan distorsi juga bisa. Lagu lama dimainkan akustik pun tidak masalah. Tergantung konsep acaranya,” katanya.

Jika mereka siap, apakah kalian siap menyimak rocker bermuka minyak ini?