Ada satu langkah maju dalam perfilman Indonesia, yaitu keberanian menyentuh sejarah yang masih gelap, seputar huru-hara Mei 1998. Film ”Di Balik 98” memang hanya menggunakan peristiwa tersebut sebagai latar kisah, tetapi setidaknya ada keberanian melihat luka bangsa itu sebagai drama kemanusiaan.
Sebelum Di Balik 98 ada film Merry Riana Mimpi Sejuta Dolar yang menggunakan elemen peristiwa kerusuhan sebagai sekelumit latar cerita. Akan tetapi, Merry Riana masih ”takut-takut” untuk menyebutnya sebagai kerusuhan Mei 1998. Di Balik 98 tegas-tegas menggambarkan kerusuhan tersebut, lengkap dengan tokoh-tokoh sejarah, termasuk tokoh-tokoh Presiden Soeharto, BJ Habibie, Amien Rais, Gus Dur, dan sederet tokoh militer.
Pada akhir film tegas disebutkan bahwa cerita dalam film tersebut berupa fiksi yang berlatar peristiwa Mei 1998. Tokoh-tokoh fiksi dianyam sebagai drama yang menyatu dengan peristiwa sejarah tersebut. Cukup jelas batas-batasnya dan lumayan rapi penyatuannya.
Di balik sejarah dramatik itu ada drama manusia: tentara, mahasiswa, dan warga yang menjadi sasaran amuk massa. Prajurit Letnan Satu Bagus (Donny Alamsyah) yang bertugas mengamankan demo mahasiswa tak bisa memahami mengapa adik iparnya, Diana (Chelsea Islan), begitu
ngotot turun ke jalan dan berdemonstrasi. Sementara itu, Diana juga tidak bisa memahami mengapa seorang prajurit harus meninggalkan keluarga dan lebih taat pada perintah komandan.
Konflik dua manusia itu berpuncak ketika Bagus dan Diana berhadap-hadapan di tengah situasi demonstrasi yang kacau. Diana berteriak-teriak, memaki-maki Bagus di depan demonstran, di depan anak buah Bagus pula. Bagus dianggap kurang peduli kepada keluarga. Ia sering harus meninggalkan istrinya, Salma (Ririn Ekawati), bahkan di saat genting Salma tengah hamil tua, dan hilang di tengah kerusuhan.
Bukan film sejarah
Di Balik 98 hanya bermain-main di sekitar ”bibir sejarah”. Ia tidak masuk ataupun menafsir sejarah. Akan tetapi, ini sudah sebuah langkah maju karena ada keberanian mengakui bahwa sejarah itu ada dan nyata.
Lukman Sardi mengatakan, film ini adalah kisah cinta dan bukan film sejarah. Latar waktu masa reformasi tahun 1998, menurut Sardi, adalah pilihan cerdik untuk menyampaikan pesan nilai-nilai dari film garapannya karena kejadian ini diyakini masih melekat dalam kenangan banyak orang.
”Film ini sebenarnya film cinta yang punya nilai-nilai. Bahwa cinta itu tidak hanya bicara antara suami-istri, pacar, atau pekerjaan, tetapi juga dengan lingkungan kita, sesuatu yang lebih besar. Ada cinta dan harapan yang berantakan. Pas sekali dengan kejadian 1998, kan?” kata Lukman.
Sejarah yang menjadi latar digarap cukup detail. Ada pelantikan kembali Soeharto sebagai presiden pada 10 Maret 1998 hingga lengsernya Soeharto pada Mei 1998. Menjelang puncak krisis politik, cerita dibuat lebih detail dengan membaginya per hari sejak 9 Mei hingga saat menjelang Soeharto mundur pada 20 Mei 1998. Pembagian ini ditandai dengan catatan penanggalan dan tempat kejadian pada layar. Beberapa bagian dalam film ini dicampur dengan potongan film dokumentasi. Beberapa adegan demonstrasi dan bentrok tampak cukup meyakinkan.
Film diawali dengan latar waktu tahun 2015. Daniel (Boy William) dan adiknya, Lusi, berada di dalam taksi yang membelah Jakarta diiringi siaran radio yang memberitakan adanya demonstrasi buruh. Ingatan mereka kembali ke masa 17 tahun lalu.
Adegan pelantikan kembali Soeharto sebagai presiden pada 10 Maret 1998 serta pemandangan masyarakat yang antre bahan pokok menjadi pengantar tentang alasan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti bernama Diana getol berdemonstrasi. Kisah Diana berjalan paralel dengan kisah sang pacar bernama Daniel yang berlatar suku Tionghoa. Keluarga Daniel menjadi korban kerusuhan.
Lewat adegan-adegannya, film ini ingin menyampaikan pesan bahwa di balik segala rusuh itu ada manusia-manusia yang masih mempunyai hati nurani. Ada istri prajurit yang hamil tua yang diselamatkan justru oleh tangan manusia yang menjadi korban kerusuhan. Ada warga yang menjadi sasaran amuk massa yang ditolong oleh warga lain yang masih mempunyai ruang kemanusiaan. Bahwa pada akhirnya, tangan-tangan manusia yang berhati nurani akan saling bergandengan, tak peduli latar belakang suku, agama, atau paham politik mereka.
Dramatika lain dibangun Lukman Sardi lewat penampilan tokoh pemulung dan anaknya yang diperani secara menarik oleh Teuku Rifnu Wikana dan Bima Azriel. Di bioskop, penampilan mereka mengundang tawa, tapi juga memancing rasa haru. Mereka menjadi cara Lukman Sardi untuk menampilkan sosok rakyat kecil yang pada akhirnya hanya menjadi penonton, sekaligus korban nafsu politik yang berujung kekejaman.
Di Balik 98
Sutradara: Lukman Sardi | Penulis: Samsul Hadi, Ifan Ismail | Pemeran: Chelsea Islan, Boy William, Donny Alamsyah, Ririn Ekawati, Amoroso Katamsi, Agus Kuncoro, Teuku Wisnu Rifkana, Alya Rohali | Produser: Affandi Abdul Rachman | Produksi: MNC Pictures, 2015
(EKI/XAR)