Cempaka harus memilih kepada siapa tongkat emas akan diwariskan. Untung saja ia memilih pewaris yang benar. Namun, pengkhianatan menyebabkan tongkat emas itu jatuh ke tangan yang salah….
Cempaka, pendekar hebat yang kemudian menepi dari gelanggang untuk menggembleng keempat muridnya. Selain memiliki tongkat emas, ia juga menguasai jurus tongkat emas melingkar bumi. Tanpa jurus itu, tongkat emas tak ubahnya tongkat biasa. Di pondoknya yang reyot, Cempaka tinggal bersama empat muridnya. Tiga di antaranya adalah anak-anak dari musuh-musuh yang mati di tangannya dalam pertarungan. Dalam dunia kependekaran, pertarungan hanya memberi dua pilihan, bertahan atau terbunuh.
Film Pendekar Tongkat Emas diawali dengan siluet Cempaka (Christine Hakim) yang memainkan tongkat emas dengan latar belakang warna merah tembaga matahari terbit. Latar belakang kisah diceritakan lewat narasi Cempaka. Tentang murid sekaligus anak-anak angkatnya, yakni Biru (Reza Rahadian), Gerhana (Tara Basro), dan Dara (Eva Celia), yang ia ibaratkan sebagai anak macan yang bukan tidak mungkin akan menerkamnya setelah dewasa. Rasa bersalah telah membunuh orangtua mereka mendorong Cempaka memelihara anak-anak itu.
Biru dan Gerhana adalah murid terpintar yang diam-diam menyimpan dendam. Dara, yang berusia lebih muda, ilmunya belum seberapa. Sementara anak angkat keempatnya yang bernama Angin (Aria Kusumah) berasal dari bayi yang dibuang orangtuanya. ”Angin mengingatkan pada dosaku terbesar,” kata Cempaka.
Perjalanan sang pewaris tongkat emas ditakdirkan bertemu Elang (Nicholas Saputra), tokoh misterius yang menjadi kunci upaya merebut kembali tongkat yang terlepas ke tangan musuh. Seperti namanya, Elang senang mengembara sendirian. Ia terikat sumpah untuk tidak terlibat urusan orang yang dicintainya, tetapi mengemban tugas untuk menurunkan ilmu yang paling dicari saat itu.
Film produksi Miles Films dan KG (Kompas Gramedia) Studio ini mengisahkan ambisi kekuasaan dan dendam yang berkelindan dengan kisah cinta, pengorbanan, dan kebajikan sebagai buah pembelajaran masa lalu. Bahasa tutur yang disampaikan karakter-karakter dalam film ini dalam beberapa kesempatan terdengar filosofis. Jalinan kisah disampaikan secara berlapis, tampaknya untuk menjaga rasa penasaran, ketegangan, dan mood penonton. Seperti halnya cerita silat, pada akhirnya lakon baiklah yang akan menang melawan kejahatan. Akan tetapi, bagaimana mengolah proses sang lakon mencapai kemenangan adalah kekuatan film yang skenarionya digarap Mira Lesmana, Riri Riza, Ifa Isfansyah, Jujur Prananto, dan Seno Gumira Ajidarma ini.
”Cerita silat seperti kehidupan yang sebenarnya, ada perebutan kekuasaan dan upaya mendapatkan simbol untuk mengukuhkan kekuasaan itu,” kata Mira.
Meski diwarnai banyak adegan laga, Mira Lesmana yang juga produser film ini mengatakan lebih menyukai filmnya disebut sebagai film drama martial art, film drama yang dihiasi adegan seni bela diri. Untuk itu, pihaknya memilih aktor dan aktris watak yang kemudian dilatih bela diri dan bukan atlet bela diri yang dilatih berakting. Selain kelima aktor dan aktris tadi, bermain pula sejumlah bintang kenamaan dalam film ini, seperti Slamet Rahardjo, Whani Darmawan, Landung Simatupang, Darius Sinathrya, dan Prisia Nasution.
Gemblengan fisik
Para pemain digembleng secara fisik selama delapan bulan dan berlatih koreografi bela diri bersama penata koreografi laga asal Hongkong, Xiong Xin Xin, yang juga pernah menjadi pemeran pengganti aktor Jet Li. Hasilnya tecermin pada kecepatan dan keluwesan gerak para pemain meskipun pada beberapa adegan digunakan pemeran pengganti untuk menjamin keamanan. Dengan dukungan teknologi yang diboyong oleh Xiong Xin Xin, seperti penggunaan wire, dan pengetahuannya tentang sudut pengambilan gambar, membuat ekspektasi terhadap adegan bela diri terpuaskan.
Ifa Isfansyah yang juga berperan sebagai sutradara mengambil gambar dari banyak titik dengan dua kamera pada hampir semua adegan. Ini demi menyiasati risiko yang muncul, seperti kondisi fisik pemain yang menurun, padahal proses shooting masih panjang.
Dengan dukungan kamera berteknologi terbaru, gambar-gambar yang dihasilkan tetap tajam meski di tengah suasana yang minim pencahayaan. Film ini juga diwarnai musik film yang digarap Erwin Gutawa dengan mengambil bunyi-bunyian dari musik tradisi lokal, termasuk lengkingan suara perempuan Sumba untuk mewakili suara tokoh utamanya.
Film yang menelan biaya Rp 25 miliar ini diperkuat dengan sinematografi yang kuat dengan latar belakang alam dan budaya Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur yang elok. Lanskap bukit dan lembah yang dipenuhi sabana yang menguning, tebing yang tererosi, pantai dan sungai yang jernih, serta tenun ikat aneka motif memanjakan mata para penonton. Kesuksesan Selandia Baru mengangkat pariwisatanya setelah dijadikan lokasi pengambilan film The Hobbit bukan tidak mungkin terulang pada Sumba Timur. Produser juga mengembangkan produk turunan, seperti buku, komik, suvenir, aplikasi permainan internet, dan lagu film yang dinyanyikan Anggun.
Di tengah terus menurunnya jumlah penonton yang datang ke bioskop, film yang mulai diputar 18 Desember ini diharapkan bisa menjadi ”gula-gula” baru dan menjawab rasa haus penonton akan tontonan dalam negeri yang berkualitas. Cerita-cerita dan film-film silat selama ini selalu digemari khalayak. Terbukti dari kesuksesan buku dan film silat pada 1980-an, antara lainPandji Tengkorak, Si Buta dari Gua Hantu, Jaka Sembung, dan Saur Sepuh, yang berlatar kerajaan.
Dengan logika bahwa cerita dan film silat memiliki penggemar yang luas, Pendekar Tongkat Emas yang juga akan dipasarkan ke luar negeri ini terlebih dahulu akan menguji pasar sejati mereka di dalam negeri, bersaing dengan film-film domestik dan asing yang masuk. Jika ini sukses, penonton boleh berharap akan menyaksikan film sejenis bermunculan karena cerita film ini pun terbuka untuk dibuat prekuel maupun sekuel lanjutan.
Sri Rejeki