Pembatasan Sosial

0
493

Pandemi covid 19 atau virus korona menjadi tragedi yang besar bagi umat manusia. Manusia dibuat tak berdaya di hadapan wabah ini. Ratusan bahkan ribuan nyawa menjadi korban keganasan virus corona. Indonesia yang optimis tidak terdampak, kini harus menelan pil pahit karena wabah itu menghampiri negeri tercinta dan berhasil membuat sebagian besar kita panik, kuatir bahkan takut. Padahal seharusnya kita optimistis bahwa semua dapat kita hadapi bersama, apalagi pemerintah berupaya semaksimal mungkin menghentikan siklus penyebaran virus korona.

Upaya pemerintah yang paling sederhana adalah anjuran menjaga kesehatan (mencuci tangan dengan sabun dan menjaga stamina tubuh) serta membatasi pertemuan atau kerumunan (social distancing atau physical distancing). Pengertian  social distancing  atau pembatasan sosial adalah  tindakan intervensi non-farmasi dengan menjaga jarak dari antara manusia.

Implementasi dari pembatasan sosial berupa menghentikan seluruh kegiatan yang melibatkan kerumunan atau kelompok massa yang besar. Misalnya kegiatan belajar mengajar di sekolah, pekerjaan, bahkan ibadah untuk sementara dialihkan ke rumah atau lingkungan yang relatif tanpa kelompok massa.

Harus kita akui anjuran pembatasan sosial dirasa sangat berat karena memungkiri kodratnya sebagai makhluk sosial. Interaksi dengan orang lain seakan runtuh dan manusia hidup dalam kesunyian.

Benarkah pembatasan sosial menghilangkan kodrat manusia sebagai makhluk yang memerlukan interaksi? Bisa jadi sebagian orang memahaminya demikian. Pembatasan sosial  sebagai bencana itu sendiri, namun bila kita cermati dengan teliti justru upaya tersebut adalah bagian menyelamatkan komunitas yang lebih besar dengan cara sejenak memisahkan diri dari keramaian.

Foto ilustrasi : Yosafat Vanes Yeo

Dengan kata lain kita hanya memisahkan diri secara fisik tetapi dimensi psikis kita  tetap tak bisa dipisahkan oleh apapun. Apalagi perkembangan teknologi yang begitu cepat menjadi alternatif untuk mengobati rasa rindu kita dengan teman atau kerabat.

Efek dari virus korona yang sangat mengerikan itu juga mengarahkan kita kepada satu poin yang utama, yaitu kita menjadi lebih dekat dengan keluarga yang sering kita abaikan karena kita terjebak dalam hiruk pikuk aktivitas (sekolah dan kerja). Dengan banyak waktu di rumah, saya sendiri baru menyadari bahwa keluargaku adalah sorgaku.

Selalu ada hal postif di balik sebuah wabah. Bukan berarti saya hendak mengecilkan pandemi covid 19, tetapi melalui ini kita diberi waktu sejenak oleh Sang Pencipta untuk mensyukuri sesuatu yang selama hilang dari diri kita yaitu kesadaran diri dan juga keluarga. Karena itu manfaatkan kesempatan ini untuk kebaikan dan bukan meratapi yang pada akhirnya kita tidak menemukan solusi.

Tulisan pendek ini, semoga dapat menjadi bahan refleksi bagi kita semua, bahwa kita harus memberi makna positif di tengah situasi chaos. Dengan berpikir positif kita akan lebih mudah berpikir jernih dan pada akhirnya kita dapat membangun kekuatan bersama untuk menghadapi dan menghentikan siklus virus korona.

Yosafat Vanes Yeo, siswa Efata Christian School, Taman Baloi, Kota Batam, Kepulauan Riau