Leonard Theosabarata – Berproses untuk Inovasi dan Kreasi

0
1100

Dari pembicaraan sekitar tiga jam di ruang rapat yang bersih dan kosong karena tengah libur Lebaran, diambil kesimpulan bahwa industri kreatif Indonesia di masa mendatang akan didominasi dan digerakkan oleh para perempuan. ”Perempuan lebih banyak punya waktu,” ujar Leonard Theosabarata di pabrik furnitur seluas 1,5 hektar yang sebagian lahannya dijadikan ruang karya Indoestri di Rawa Buaya, Jakarta Barat, Selasa (21/7).

Kesimpulan Leonard yang tengah berbahagia karena anak ketiganya seorang perempuan itu, diambil dari aktivitas Indoestri yang didirikan dan dijadikan tempat berproses komunitas kreatif setahun terakhir. Jika awalnya setiap kelas yang dibuka setiap akhir pekan didominasi laki-laki, kini dominasi itu bergeser. ”Belakangan ini, 80 peserta pelatihan adalah perempuan. Kecenderungan ini terlihat konsisten,” ujar Leonard.

Soal lebih banyaknya waktu, mungkin ada benarnya. Untuk sasaran peserta pelatihan berusia sekitar 20-40 tahun, perempuan memang lebih banyak punya waktu dibandingkan laki-laki. Di usia itu, karena tuntutan sosialnya, laki-laki harus segera bergegas untuk banyak hal. Salah satunya memiliki pekerjaan tetap lantaran tuntutan lain sebagai kepala keluarga, misalnya.

Dengan kesadaran ini, Leonard yang ikut mendirikan Brightspot yang telah melahirkan sekitar 1.000 brand, merancang kampanye baru untuk Indoestri terkait masa depan industri kreatif. Berlokasi di Rawa Buaya, Indoestri yang dari luar terlihat kusam karena berdebu ternyata menyediakan banyak ruang terbuka untuk setiap individu atau komunitas kreatif berproses dengan self-made sebagai keyakinannya.

”Ini adalah pabrik furnitur yang masih berfungsi. Saya pakai sebagian lahannya untuk Indoestri. Rawa Buaya saya pilih karena sebagai orang Jakarta Barat, saya ingin membangkitkan local pride. Untuk keren, tidak harus ke Jakarta Selatan. Di Jakarta Barat dan di wilayah lain mana pun bisa,” kata Leonard yang menjadi salah satu pendiri ritel produk-produk berkualitas The Goods Dept yang hadir di empat pusat belanja ternama di Jakarta.

Membuka pelatihan membuat produk setiap akhir pekan dengan pengajar dari banyak tempat dan keahlian khusus menggunakan materi kayu, logam, kulit, tekstil, dan kertas, Indoestri hendak menjawab persoalan di Brightspot dan The Goods Dept. Persoalan berupa kesanggupan berdaya tahan, konsisten, dan menjadi pemain di kancah dunia adalah persoalan industri kreatif di Indonesia pada umumnya.

”Banyak brand lokal lahir dan tumbuh. Brightspot, misalnya, telah melahirkan seribuan brand. Namun, yang betul-betul menjadi besar dan mendunia tidak banyak. Ini mengantar saya untuk menengok kondisi local player industri kreatif kita. Ada apa?” ujar Leonard.

Berbicara tentang industri kreatif, Leonard adalah salah satu dari belasan orang yang duduk menggagas kelahirannya di era akhir periode pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Leonard muncul dalam upaya kampanye memproduksi dan mencintai produk-produk Indonesia dengan tema ”Karya Indonesia adalah Kita” yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan tahun 2010.

Kebanggaan lokal

Tumbuh menjadi remaja di Jakarta Barat dengan kekhasannya di tahun 1990-an, Leonard lalu melanjutkan sekolah empat tahun di Art Center College of Design (Desain Produk), Pasadena, California. Dua belas tahun malang melintang sebagai konsultan desain dan menjalankan banyak proyek pribadi yang digandrunginya di banyak tempat, Leonard lantas menoleh ke tempatnya tumbuh, Rawa Buaya. Keinginan menumbuhkan local pride memanggilnya.

Pabrik furnitur milik keluarganya lantas dijadikan tempat menggagas dan berproses untuk menjawab persoalan besar yang didapatinya di Brigthspot dan The Goods Dept. ”Banyak kritik dialamatkan ke saya, kenapa The Goods Dept makin banyak diisi brand asing. Sulit bagi saya menjawab. Faktanya, brand asing lebih berdaya tahan, mampu menjaga kualitas dan permintaan sesuai waktu,” katanya.

Leonard mengakui, ada beberapa brand lokal yang mampu mendunia. Ada belasan brand yang bagus dan bisa bertahan. Namun, jumlah itu tidak memadai. Terlebih melihat pasar makin terbuka dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 dan jumlah kelas menengah Indonesia pada 2020 yang akan mencapai 160 juta orang. ”Bagaimana kesiapan kita keluar mengambil pasar yang terbuka itu. Jujur, tanpa MEA pun, pasar kita sudah diambil,” ujarnya resah.

Namun, upaya ayah tiga anak yang begitu riang menceritakan tugasnya sebagai orangtua menjawab persoalan brand lokal di Indoestri setahun terakhir tidak serta-merta membawa hasil juga. Sebuah upaya lanjutan tengah digagas di jeda libur hari raya Idul Fitri untuk menjawab persoalan kenapa tidak segera bermunculan brand lokal yang mendunia dari Indoestri.

Benar bahwa Indoestri telah menjadi bagian dari kebanggaan anak-anak muda di Jakarta Barat dan sekitarnya. Tiap minggu, 40-50 peserta pelatihan mendaftar dan ikut kelas sepanjang hari dengan biaya berkisar antara Rp 500.000-Rp 1.500.000. Setahun berjalan, sudah lebih dari 1.500 peserta pelatihan berproses di Indoestri dengan mengalaminya langsung. Tiap bulan, follower instagram @indoestri bertambah sekitar 1.000.

”Gerakan untuk berproses dengan semangat self-made juga telah muncul. Namun, ini terlalu lambat buat saya. Belum banyak brand keren keluar dari Indoestri. Ada problem. Kami tidak mau jadi dagelan atau olok-olok bahwa Indoestri cuma untuk keren-kerenan doang,” papar Leonard.

Di tengah persoalan yang hendak dipecahkannya ini, Leonard kemudian juga berproses dengan mulai membangun brand dari nol. Adalah kebiasaannya untuk mengetahui persoalan dengan mengalami langsung, seperti blusukan mencari bahan ke pasar Cipadu dan Cipulir, tangan alergi karena terpapar pengencer cat, tangan terluka karena alat-alat kerja. Ia kerap cemas dengan kemudahan dan banyaknya dukungan untuk sebuah proses sehingga mengabaikan semangat self-made.

Kini dengan pemahamannya tentang industri kreatif dan pengalamannya bertahun-tahun di Brightspot dan The Goods Dept, Leonard mencoba fokus di Indoestri bersama belasan orang untuk melahirkan brand- brand dan membangun komunitas yang bisa menjawab persoalan yang dihadapinya juga di Brightspot dan The Goods Dept.

Soal dukungan pihak lain, seperti pemerintah dan perbankan, Leonard yang yakin betul dengan self-made tidak terlalu menuntut. Ia hanya hendak fokus menggeluti bidangnya dan menjawab semua kegelisahannya. Bersama sejumlah ahli, Leonard tengah merancang kurikulum untuk menampung 20 peserta didik terseleksi secara berkala sebagai upaya mempercepat lahirnya brand-brand lokal yang mendunia.

Upayanya tidak pernah berhenti. Indoestri sebagai ruang berproses mewadahi. Leonard yakin, kemauan dan kemampuan orang berproses akan memampukan orang tersebut berinovasi dan berkreasi.

(Wisnu Nugroho)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juli 2015, di halaman 16 dengan judul “Leonard Theosabarata – Berproses untuk Inovasi dan Kreasi”.