Menyapa yang ”Liyan” lewat Rasa

0
670

Baru berkelana di tiga kota saja, para ”foodies” dunia ini sudah terkesima dengan keberagaman rasa masakan Indonesia. Mereka tak ragu menyeret lidahnya dalam petualangan rasa yang asing. Mulai dari masakan warungan khas pantura, rujak cingur dengan bumbu petis hitam jelaga, lawar bali padat rempah bagai jamu, sampai iga babi bakar bersalut madu berkilat-kilat. Yummy.

If you reject the food, ignore the customs, fear the religion and avoid the people, you might better stay at home. You are like a pebble thrown into water; you become wet on the surface but you are never a part of the water”.

Kutipan populer dari James A Michener, pengarang asal Amerika itu, tersemat di pembukaan buku Eat Smart in Indonesia karya Joan Peterson, penulis serial buku kuliner dunia Eat Smart. Dari kutipan itu setidaknya kita bisa pula memaknai betapa makanan menjadi jembatan penghubung dalam memahami yang liyan.

Charlene Mary Wilks, pensiunan pramugari asal Australia ini tak ragu-ragu mencicipi masakan dengan wujud buruk rupa, rujak cingur, di rumah makan Soto Pak Sadli di bilangan Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan. Ia lalu mencomot kerupuk kampung putih dan mencocolkannya pada bumbu petis hitam, lantas menyorongkannya ke mulut. Hmm…. Masakan Jawa Timur yang malah tak semua orang Indonesia pun menyukainya itu dinikmati Charlene dengan wajah semringah. Coba dengar komentarnya, ”exquisite!” ujarnya.

Charlene pun mengungkapkan penyesalannya. ”Ke mana saja saya selama ini, ya. Tinggal di Australia, tapi baru sekarang ke Indonesia, mencicipi masakannya yang enak-enak. Padahal, saya sudah icip-icip masakan Asia sampai ke Thailand, Filipina, Vietnam. Indonesia terlewati,” ujarnya lagi.

Joan malah berkomentar, masakan rujak cingur tadi menjadi contoh pengolahan terbaik moncong sapi menjadi masakan lezat yang pernah dijumpainya. William Wongso, penggiat masakan Indonesia, lalu merekam momen Charlene tadi dalam akun Instagramnya. Charlene pun kegirangan ketika postingan itu mendapat like hingga ribuan.

Wisata Kuliner - Penggemar kuliner mancanegara peserta program wisata kuliner Eat Smart Culinary Tours Indonesia mengikuti jamuan makan siang di warung makan Gora yang menyajikan menu khas Pantura di Kecamatan Depok, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (8/8). -- untuk Kompas Minggu -- Kompas/Ferganata Indra Riatmoko (DRA) 08-08-2016
Wisata Kuliner – Penggemar kuliner mancanegara peserta program wisata kuliner Eat Smart Culinary Tours Indonesia mengikuti jamuan makan siang di warung makan Gora yang menyajikan menu khas Pantura di Kecamatan Depok, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (8/8).
— untuk Kompas Minggu —
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko (DRA)
08-08-2016

Charlene dan 10 perempuan lain, dari Amerika Serikat dan Australia, selama lebih dari sepekan mencicipi berbagai masakan Indonesia di tiga kota, Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. Mereka adalah para foodies—istilah bagi petualang makan—yang gemar berkeliling dunia dengan tujuan mencicipi sejumlah makanan khas di negara-negara yang disinggahi. Kali ini Indonesia menjadi sasarannya.

Tur kuliner berskala internasional yang diselenggarakan Joan itu menggandeng William Wongso, salah satu pendiri Aku Cinta Masakan Indonesia (ACMI). Joan telah sekitar 20 tahunan menggelar tur semacam ini ke sejumlah negara.

Setiap peserta tur terkesima pada makanan-makanan tertentu yang mungkin dianggap biasa saja oleh orang Indonesia. Suzanne Mary Smith asal Santa Barbara, AS, misalnya. Ia terbayang-bayang terus manisnya gula kelapa pada es dawet yang dinikmatinya saat singgah di Yogyakarta. Juga minuman es kelapa kopyor dengan biji selasih. Sementara, Melinda R Schroeder, asal Los Angeles, AS, tak bisa melupakan kelezatan iga babi bakar bersalut madu dan rempah saat rombongan singgah di Warung Sunset di Kuta, Bali. Paduan manis, gurih, dan lengketnya madu membuatnya tak ragu menjilati jari jemari setelah menandaskan daging dari tulang-tulang iga babi.

Terpendam

Bali boleh jadi sudah amat populer di kalangan turis dunia. Bagi orang Australia, Bali bagaikan halaman belakang mereka, sasaran berlibur kapan saja mereka mau. Namun, itu ternyata bukan berarti masakan khas Bali dikenal cukup baik oleh orang Australia yang bolak-balik ke Bali.

Itu pula yang disayangkan oleh Cherry Ripe, penulis makanan kondang asal Australia. Menurut dia cukup aneh jika orang Australia yang sudah begitu akrabnya dengan Bali, tetapi hanya bisa memberi contoh sate dan nasi goreng ketika harus menyebut masakan Indonesia.

Bali Culinary Tour Kompas/Sarie Febriane (SF)
Bali Culinary Tour
Kompas/Sarie Febriane (SF)

”Orang Bali cenderung ingin selalu menyenangkan pengunjung. Sayangnya, akibatnya lebih banyak restoran dan kafe di Bali yang menyajikan masakan Barat ketimbang yang khas Bali. Banyak orang Indonesia tidak yakin menawarkan masakan khasnya karena khawatir, misalnya, terlalu pedas buat orang asing,” kata Cherry Ripe seperti dikutip William dalam bukunya Flavors of Indonesia (2016).

Untuk memperkenalkan masakan-masakan khas Bali yang belum terlalu populer, William dan Joan mengajak para foodies ini mencicipi masakan racikan I Gusti Nyoman Darta atau Ajik Darta di Darta’s Warung di Ubud, satu dari segelintir pilihan untuk mencicipi masakan Bali yang otentik. Di warung ini mereka menikmati sajian megibung, yakni tradisi makan bersama yang konon diperkenalkan oleh Raja Karangasem di akhir tahun 1600-an.

Ajik Darta menyajikan aneka lawar, semacam urap dengan rajangan aneka daun-daunan, daging biasanya babi atau sari laut, seperti cumi, kelapa bakar parut, dengan bermacam-macam rempah. Sayur yang digunakan mulai dari daun pakis, daun pepaya, daun cabai puyang, daun belimbing, juga nangka muda. Sementara bumbu rempahnya di antaranya dari kencur, kemiri, cabai bun, jangu, bangle, mesui, sampai kemenyan. Teknik khas membuat lawar adalah meremas-remas semua sayuran dan daging dengan borehan bumbu.

”Zaman dulu, lawar dianggap tidak cuma makanan, tetapi juga punya tujuan, seperti obat, menyembuhkan. Orang sakit apa, bumbu lawarnya disesuaikan untuk kesembuhannya,” kata Ajik Darta. Tak heran, ada rempah khas jamu yang juga digunakan, seperti bangle. Kenang rasa khas jamu pun tertinggal usai menyantap lawar.

Selain aneka macam lawar, Ajik Darta juga menyajikan minuman segar bernama loloh cemcem. Dari daun cemcem yang ditumbuk lalu disiram air kelapa, dikucuri perasan jeruk nipis dan dimbuhi serutan daging kelapa. Segar luar biasa. ”Dulu, biasanya sepulang petani dari sawah, mereka langsung bikin minuman ini dulu untuk menyegarkan badan,” kata Ajik Darta.

Bali Culinary Tour Kompas/Sarie Febriane (SF)
Bali Culinary Tour
Kompas/Sarie Febriane (SF)

Mengenali

Tak lengkap petualangan icip-icip tanpa mengenali aneka bahan pangan dan rempah Indonesia. Saat para foodies bersantap di Gora Warung Pantura-Jawa di Sleman, Yogyakarta, mereka sudah penasaran dengan berbagai bahan dalam masakan.

Para peserta tur menikmati aneka makanan khas pantura, antara lain, pindang serani ikan dori, tempe kecombrang, pepes ikan patin, botok ikan tongkol asap, botok tahu udang, sayur lodeh, bebek tauco, sayur bening, dan sambal terasi. Ketika satu per satu makanan itu disajikan, para peserta tur kerap mengajukan pertanyaan mengenai aneka bahan dari setiap menu.

Beatriz Rodriguez termasuk salah seorang yang aktif bertanya. Ketika menghadapi tempe kecombrang, misalnya, ia sempat mengira irisan tempe berwarna kemerahan itu adalah ikan. Kali lain, saat menemukan belimbing wuluh di dalam masakan bebek tauco, ia juga bertanya kepada Endah Budi Kartika Dewi, pemilik Gora, yang dengan penuh perhatian memuaskan rasa ingin tahu para tamunya.

Kompas/Sarie Febriane (SF)
Kompas/Sarie Febriane (SF)

Di akhir jamuan, salah seorang wisatawan ingin tahu wujud asli daun pandan yang digunakan Endah sebagai salah satu bahan dalam puding yang ia sajikan sebagai makanan penutup. Saat Endah menyodorkan daun yang mereka minta, para wisatawan dengan antusias memegang, meremas, lalu mencium daun pandan tersebut.

Hal serupa juga mereka lakukan saat William menyodorkan temu kunci, salah satu jenis rempah-rempah yang biasa dipakai sebagai bumbu dapur dalam masakan Indonesia. Di sela selama jamuan makan siang, William menjelaskan kepada peserta tur bahwa makanan yang disajikan adalah makanan orang kebanyakan, bukan makanan kelompok elite atau kaya.

Meskipun makanan yang disajikan terlihat dan terasa asing, Beatriz merasa tidak takut atau khawatir memakannya. Ia mengaku mencicipi semua makanan yang disajikan untuk mengetahui rasanya.

”Saya senang menyentuh makanan-makanan itu dengan tangan, melihat bagian dalamnya, dan penasaran cara memasaknya. Saya juga tertarik apa yang ada di balik suatu makanan, misalnya, filosofi makanan itu, sejarahnya, dan kebudayaan yang terkait makanan itu” ujar perempuan asal New Jersey, AS, itu.

William yakin, di tengah tren arah pendulum yang menggerakkan antusiasme warga dunia pada petualangan kuliner, Indonesia seharusnya lebih percaya diri. Bahkan, tak perlu ragu menyajikan masakan bercita rasa jamu kepada turis, seperti lawar!

Kompas/Sarie Febriane (SF)
Kompas/Sarie Febriane (SF)

Sarie Febriane & Haris Firdaus


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 September 2016, di halaman 24 dengan judul “Menyapa yang ”Liyan” lewat Rasa”.