Eksotik Sejarah Okinawa

0
887

Cuaca pada pekan pertama Ramadhan di Okinawa, Jepang, amat bersahabat. Meski perkiraan cuaca dari Japan National Tourism Organization menyebutkan suhu di tempat kelahiran bela diri karate ini mencapai 29 derajat celsius dan turun hujan, udara di luar ruangan terasa cukup dingin untuk orang yang biasa tinggal di Jakarta. Apalagi, matahari enggan menampakkan diri sejak pagi. Hujan ringan dan halus, disertai tiupan angin pelan, pun membuat badan terasa dingin. Beruntung jika kita sudah persiapan membawa jaket parasut, yang kalis air hujan.

Berangkat dari Jakarta menuju Naha, Okinawa, Jepang, pada hari keempat Ramadhan, dengan transit di Hongkong. Tiba di Bandara Naha, menjelang waktu shalat Ashar yang bertepatan dengan pukul 15.54 waktu setempat. Bandara kelas dua yang berlokasi sekitar 4 kilometer sebelah barat balai kota di Naha ini merupakan bandara ketujuh tersibuk di Jepang.

Setelah check in hotel yang dipesan online dan meletakkan barang bawaan yang berat, kami bisa langsung berkeliling kota. Paling enak memilih hotel yang lokasinya tidak jauh dari Jalan Kokusai. Pasalnya, di jalan ini terdapat berderet pertokoan yang menjual beragam suvenir, resto, bar, minimarket, supermarket, dan pasar ”tradisional”. Pada hari Minggu, jalan ini juga ditutup mirip di saat hari bebas kendaraan bermotor di Jakarta. Tujuannya untuk memberikan keleluasaan bagi para pelancong mancanegara ataupun lokal untuk berbelanja dan menikmati waktu santai.

Makanan dan mainan anak-anak, banyak ditawarkan di toko yang ada di Jalan Kokusai, Okinawa. Kompas/Imam Prihadiyokok
Makanan dan mainan anak-anak, banyak ditawarkan di toko yang ada di Jalan Kokusai, Okinawa. Kompas/Imam Prihadiyokok

 

Kamis (9/6)

19.20

Waktu berbuka di Jepang tepat pukul 19.20. Pilihan yang amat tepat jika pergi ke Jalan Kokusai dan menikmati malam di Okinawa. Di sini ada banyak pilihan restoran, seperti resto siap saji ala Amerika, restoran tradisional Jepang, kafe dan bar yang menyajikan steak daging dan ikan, atau mau restoran yang menyajikan menu Asia lainnya. Kita bisa memilih yang mana saja. Bagi Muslim, memang agak sulit memilih makanan halal. Namun, meski tidak dapat membaca huruf kanji Jepang dan tidak bisa berbahasa Jepang, di Okinawa hampir semua resto menyediakan terjemahan dalam bahasa Inggris dan banyak pelayan yang bisa berbahasa Inggris. Maklum, di Okinawa banyak sekali turis asing. Selain itu, sejak akhir Perang Dunia II, tentara Amerika Serikat merebut Pulau Okinawa serta menjadikannya sebagai pangkalan marinir Amerika di Futenma. Tidak heran jika di Okinawa ini, diperkirakan tinggal lebih dari 9.000 personel militer Amerika. Jika ditambah keluarga anggota marinir yang ada, tentu jumlahnya akan lebih banyak lagi.

 

23.30

Malam semakin larut, dan badan pun tampaknya perlu istirahat. Waktunya pulang ke hotel. Jika ingin mencari oleh-oleh khas Okinawa, dapat mendatangi Jalan Kokusai esok hari sebelum pulang ke Indonesia. Waktu selama lima atau enam jam, tentu saja masih kurang untuk menjelajahi area Jalan Kokusai. Tapi bisa disisakan esok hari.

 

Jumat (10/6)

pukul 05.30

Meski semalam sahur pukul 03.30, mata hingga menjelang subuh tidak bisa terpejam. Pagi ini, tampaknya asyik menikmati matahari pagi. Setelah shalat Subuh, langsung pergi ke Pelabuhan Naha, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Jalan Kokusai. Jika berkendaraan, cukup 10 menit. Setelah menyapa hangatnya matahari pagi, disertai hujan halusyang memaksa harus berpayung, pagi ini, tampaknya tepat mengunjungi Benteng dan Istana Shuri, yang menjadi kebanggaan warga Okinawa. Istana Shuri, dicatat dalam urutan pertama buku 50 thing to do in Okinawa, buku travel guide yang diterbitkan dinas pariwisata Okinawa.

Benteng ini dibangun kembali di atas benteng dan Istana Kerajaan Ryukyu yang pernah berjaya pada abad ke-15-19. Benteng hasil pembangunan kembali yang dibuka untuk umum tahun 1992 ini, berada di salah satu pusat kota Naha. Benteng ini, saat perang dunia kedua dihancurkan pasukan Amerika karena dijadikan sebagai basis utama pertahanan tentara Jepang.

 

Gerbang Shuremon Ryukyu merupakan gerbang utama istana Ryukyu. Kompas/Imam Prihadiyoko
Gerbang Shuremon Ryukyu merupakan gerbang utama istana Ryukyu. Kompas/Imam Prihadiyoko

 

Lokasi benteng dan Istana Shuri amat mudah dicapai dan menyediakan tempat parkir bawah tanah yang cukup luas. Untuk mencapai Benteng Shuri, cukup naik eskalator yang tersedia dari tempat parkir. Satu hal yang amat menyenangkan, pengunjung tidak perlu membayar untuk dapat menikmati bangunan hasil rekonstruksi yang telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia ini.

Dari salah satu menara pengawas yang ada, kita dapat melihat Laut Tiongkok Selatan yang hari ini, 90 persen lautannya diklaim oleh Tiongkok dengan dasar garis batas imajiner nine dash line. Dengan Indonesia berpotensi konflik, karena Indonesia pun punya batas zona ekonomi eksklusif yang ada di lautan Kepulauan Natuna.

 

12.00

Lebih dari empat jam berada di benteng dan Istana Kerajaan Ryukyu, sambil menyelami kebesaran Kerajaan Ryukyu yang punya hubungan baik dengan Kerajaan Maritim Majapahit ini, waktu terasa berjalan cepat. Sebelum meninggalkan Istana Shuri, tampaknya bisa menikmati pertunjukan Ryukyu-Buyo di salah satu panggung yang ada di depan Istana Shuri. Sebuah pertunjukan tarian elegan yang memperlihatkan ekspresi perasaan wanita untuk seseorang yang dianggapnya spesial. Penari perempuan menggunakan pakaian tradisional Jepang yang terbuat dari kain bingata berwarna cerah, sambil memegang sebuah kipas kertas. Pertunjukan yang berlangsung sekitar lima belas menit ini pun mampu menyedot perhatian pengunjung.

 

Penari Ryukyu-buyo, menampilkan tarian di panggung yang ada di depan istana Shuri. Kompas/Imam Prihadiyoko
Penari Ryukyu-buyo, menampilkan tarian di panggung yang ada di depan istana Shuri. Kompas/Imam Prihadiyoko

 

13.00

Sebelum mencari oleh-oleh untuk teman, saudara, dan keluarga, tampaknya masih cukup waktu untuk mengunjungi pelabuhan kapal pesiar Naha. Sekadar untuk menikmati keindahan kapal pesiar yang sedang sandar. Dan uniknya, di salah satu dermaga, tampak beberapa orang memancing ikan. Meski hasil tangkapannya tidak banyak, mereka terlihat amat senang. Kalau masih banyak waktu, rasanya masih ingin mengunjungi museum kapal dan Akuarium Churaumi Okinawa. Ini merupakan akuarium terbesar kedua di dunia, setelah dibukanya Akuarium Georgia di Atlanta tahun 2005. Namun, akuarium yang terletak di Taman Ocean Expo, barat laut dari Okinawa, tetap menjadi yang terbesar di Asia.

 

14.00

Godaan untuk ngubek-ubek pasar tradisional Jepang tak tertahankan. Sebelum menutup senja ini, Pasar Heiwadori yang ada di Jalan Kokusai layak dikunjungi. Di sini, tersedia beragam keperluan bumbu dapur serta bahan memasak seperti ikan, daging, dan sayuran. Mau beli oleh-oleh makanan khas Jepang yang dibungkus dalam kemasan unik dan menarik, bisa di dapat lebih murah 100-200 yen dibandingkan di toko suvenir lainnya. Di Pasar Heiwadori juga banyak warung dan kafe yang menjadi tempat nongkrong murah, mirip di Pasar Santa, Jakarta Selatan.

 

Warung-warung yang ada di dalam Pasar Heiwadori, Okinawa. Makanan dan mainan anak-anak banyak ditawarkan. Kompas/Imam Prihadiyoko
Warung-warung yang ada di dalam Pasar Heiwadori, Okinawa. Makanan dan mainan anak-anak banyak ditawarkan. Kompas/Imam Prihadiyoko

 

Tidak kalah menariknya, di paling atas gedung pasar ini, terdapat Rooftop Grill & Bar Kaimana Island. Ah, tentu nama ini akrab buat orang Indonesia. Kita mengenal Kaimana sebagai salah satu nama kabupaten di Papua Barat. Kafe ini cukup nyaman dan di sini kita dapat menatap langit yang dihiasi bintang saat cuaca cerah. Dari atap gedung ini, kita juga dapat memandang lautan yang biru di kejauhan. Tampaknya, menjadi tempat yang amat cocok menutup perjalanan ini. Sambil menyenandungkan tembang lawas ”Senja di Kaimana” karya Surni Warkiman.

 

Imam Prihadiyoko


 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Juli 2016, di halaman 28 dengan judul “AVONTUR 24 jam: Eksotik Sejarah Okinawa”