Kuil dan air terjun itu terlingkung bukit dan hutan sunyi. Sejak ratusan tahun lalu, orang berziarah ke sana, mendalami laku spiritual di tengah kedamaian alam. Itulah Kumano Kodo di Perfektur Wakayama, Jepang, tempat kita bisa menikmati sisi wajah Jepang yang teduh, tenang.
Berjalan di tengah hutan sunyi, dengan pohon-pohon besar dan tinggi, khayalan melayang ke jagat fiksi. Teringat para ronin yang mengembara, terbayang sosok Musashi sampai Zatoichi. Begitulah sensasi rasa ketika kami di kuil Seiganto Ji dan air terjun Nachi No Otaki di kompleks perziarahan Kumahno Kodo, Perfektur Wakayama, Jepang.
Kumano Kodo merupakan salah satu dari dua tempat perziarahan yang masuk dalam Situs Warisan Dunia oleh UNESCO, selain Camino de Santiago di Spanyol. Nama resmi Kumano Kodo adalah Tempat Suci dan Rute Ziarah di Pegunungan Kii. Gunung, hutan, air terjun, di sekitar Pegunungan Kii oleh Pemerintah Jepang dimasukkan sebagai Lanskap Kultural.
Kuil dan air terjun itu berada di tempat yang jauh dari keriuhan. Tak ada wajah dan langkah orang bergegas seperti pemandangan Tokyo atau Osaka. Air terjun setinggi 113 meter, yang mengempaskan air lewat karang-karang tajam, itu terlihat dari berbagai sudut kompleks peziarahan Kumano Kodo. Ada dua sudut menarik untuk menikmati air terjun, yaitu dari ketinggian dan dari bawah. Tempat yang agak tinggi itu adalah dari kuil Seigato-Ji. Dari sini, air terjun itu tampak hanya sepelemparan batu. Deras airnya tampak jelas meski terpisah jarak sekitar 700 meter.
Dari bawah kita bisa menuruni bukit. Dari kuil itu kita sebenarnya bisa berjalan kaki. Namun, karena memburu waktu, Japan National Tourism Board yang mengajak kami meminta kami naik mobil mendekati lokasi titik jatuh air terjun. Cukup sekitar 10 menit bermobil berkelok menuruni bukit menempuh jarak sekitar 1,5 kilometer. Turun mobil, kita mendaki menyusuri hutan sunyi menapaki jalan berbatu, dan sampai juga kaki menapak ke depan air terjun. Percikan air menitik di wajah.
Selebaran wisata menyebut Nachi No Otaki sebagai air terjun yang mistis, wingit. Air terjun, kuil Seigato Ji, dan sejumlah kuil keramat lain dianggap sebagai bangunan suci. Bangunan itu adalah Hongu Taisha, Hayatama Taisha, dan Nachi Taisha.
Tempat-tempat tersebut menjadi tujuan ziarah, laku spiritual bagi para penganut kepercayaan Shinto sejak lebih dari seribu tahun silam. Mereka percaya, di tempat-tempat seperti air terjun serta hutan di sekitarnya bersemayam para kami atau roh serta para Dewa. Ada kepercayaan roh-roh bersemayam di gunung-gunung tinggi itu karena dekat dengan surga. Ketika seseorang meninggal, jiwanya akan mendaki gunung dalam perjalanan menuju surga.
Di salah satu tempat suci itu ada tempat mengucap doa. Mayumi Toyota, pemandu yang memandu kami di Wakayama, membimbing kami untuk memberi donasi di tempat yang disediakan di depan kuil. Terserah berapa nilai nominal koin yang kita masukkan dalam kotak itu. Tapi, disarankan koin 5 yen atau goe dalam bahasa Jepang.
Setelah itu, kita diminta membunyikan bel dengan cara menarik tali tambang, lantas kita harus membungkukkan badan dua kali, dan mengucap doa. Kemudian kembali membungkuk sekali saja. Selesai sudah ritual singkat tersebut.
Senyum dan ramah
Tempat-tempat suci itu menjadikan lingkungan ekologis di sekitarnya makin terpelihara. Hutan teduh itu ditumbuhi pohon cemara, koniferus (Pinophyta) cedar, sampai ceri. Ada pohon-pohon tua yang berusia sekitar 500 tahunan. Seperti diketahui, Jepang termasuk negeri yang cukup tebal diselimuti hutan, yaitu 67 persen dari total wilayah darat. Bandingkan dengan Indonesia yang wilayah hutannya ”hanya” meliputi 46,46 persen dari kawasan daratnya.
Keragaman hayati yang menyatu dengan situs-situs arkeologis menjadi tempat ziarah bagi para penganutnya. Sekaligus menjadi tempat wisata bagi wisatawan. Sekitar 15 juta wisatawan per tahun datang ke kawasan tersebut.
Dalam selebaran wisata ada sejumlah saran bagi orang memasuki wilayah peziarahan. Selain soal menjaga lingkungan dan untuk tetap berada di jalur peziarahan, peziarah ataupun wisatawan diminta untuk ”saling menyapa dengan senyum dan ramah”.
Mungkin sikap ramah sudah menyatu antara alam dan warga Jepang. Rombongan peziarah yang antara lain terdiri atas kaum sepuh melintas berjalan dengan tongkat bambu penahan jalan mendaki atau menurun. Setiap berpapasan dengan siapa pun, mereka menyapa ramah, seramah alam hijau dan segar.
Frans Sartono
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Januari 2015, di halaman 32 dengan judul “Perjalanan: Menyusuri Kesunyian Jepang”