Dalam Keheningan Meditasi Bali

0
1076

Pagi belum sempurna. Pepohonan masih teguh dalam semadi. Tetapi burung-burung sudah berloncatan dari dahan ke dahan. Kicaunya disambut ricik air dari sebuah pancuran bambu. Tebing Tukad Pakerisan hening dalam doa suci semesta….

Situs Candi Tebing Tegallinggah, Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar, lokasi sempurna untuk melakukan laku meditasi. Di sini waktu seperti melambat menuju titik hening, sampai akhirnya kita tiba di lelumutan yang tumbuh merambat di dinding-dinding goa. Di dalam goa, yang dipahatkan di tebing-tebing sungai, dahulu para raja dan pengikutnya menjalani laku spiritual. Mereka bermeditasi mencari kesempurnaan diri untuk kemudian menebar kebaikan kepada rakyat.

Anak Agung Gde Rai meloncat-loncat indah menuruni anak tangga. Ia bahkan melintasi tubir tebing dengan penuh kelincahan. Sementara peneliti budaya asal Perancis, Dr Jean Couteau, dan penyair Warih Wisatsana, yang ikut serta menjalani laku yang disebut Agung Rai sebagaigolden hours itu, tertatih-tatih. Jean bahkan harus dituntun berulang kali ketika melintasi tubir tebing. Kelihatan sekujur tubuhnya gemetar.

Selama puluhan tahun tinggal di Bali, Jean tak pernah tahu ada kehidupan ketika laku meditasi untuk mencari keheningan diri dilakukan di sepanjang Tukad Pakerisan. Sungai bertebing-tebing itu tak jauh dari pusat keriuhan pariwisata Bali, Ubud. Kami cuma butuh waktu 15 menit menuju anak tangga pertama di Tegallinggah sebelum turun menuju goa-goa di kanan-kiri tebing.

Situs ini menurut catatan sejarah ditemukan oleh peneliti Belanda, Krisjman, ketika bersama penduduk sekitar membersihkan sebuah gapura. Saat dilakukan penggalian, muncullah dua candi yang dipahatkan di atas tebing sungai. Kedua candi ini mirip dengan pahatan candi di situs Gunung Kawi, Tampaksiring, yang masih berlokasi di Sungai Pakerisan.

Agung Rai, yang sering kali mengantar para peneliti dan pencinta kebudayaan menikmati ”Bali sebelum bangun”, memperkirakan situs Candi Tebing Tegallinggah sezaman dengan Gunung Kawi. Candi Gunung Kawi diperkirakan dibangun di masa pemerintahan raja Sri Aji Paduka Dhar mawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka) dan kemudian dilanjutkan saat raja Anak Wungsu (971-999 Saka) memerintah Bali. Keduanya adalah keturunan raja Udayana dari Dinasti Warmadewa. Prasasti Tengkulak (945 Saka) menyebut di tepi Sungai Pakerisan terdapat pertapaan bernama Amarawati. Para peneliti menafsirkan Amarawati mengacu pada Candi Gunung Kawi.

”Tetapi itu dari sisi arkeologi. Kini yang jelas situs ini membuat kita seperti menemukan diri. Bahwa pada abad ke-8 sampai ke-11, para leluhur Bali sudah mencari pencerahan diri untuk kemudian mengabdi kepada rakyat,” kata Agung Rai, yang juga pendiri Museum Arma Ubud. Di tebing-tebing sepanjang aliran Sungai Pakerisan itulah dahulu para raja membangun tempat-tempat suci, baik dalam mempererat relasi dengan
Tuhan maupun menempa diri agar menjadi manusia yang berbudi.

 

Bali lain

Jean melihat Bali semakin riuh oleh komodifikasi. Seturut dengan gelombang gerakan new ageyang berkembang sejak tahun 1960-an, kini daerah wisata seperti Bali sedang ”gaduh” oleh kecenderungan ”perdagangan” spiritual. ”Banyak sekali pelaku-pelaku spiritual yang berpraktik di Bali, terutama Ubud. Ya, memang karena itulah mata dagangan paling laku sekarang di dunia pariwisata…,” kata Jean, akhir Desember tahun lalu. Jean tak bermaksud sinis terhadap perilaku para pelaku pariwisata Bali sekarang ini. Ini memang tren, di mana-mana terjadi di dunia,” ujarnya.

Namun, situs-situs di sepanjang Sungai Pakerisan ibarat Bali yang lain. Mungkin karena letaknya yang tersembunyi dan sulit dicapai, tak banyak operator jasa wisata yang mempromosikannya. ”Tetapi justru karena itu kita menemukan Bali yang sesungguhnya,” ujar Jean, yang tak habis takjub menyelami kehidupan tebing sungai.

Situs Candi Tebing Tegallinggah dipahatkan di kedua sisi sungai. Di sisi sebelah barat terdapat dua gapura sebelum bertemu dengan dua pahatan candi. Selain itu terdapat juga tujuh ceruk yang atapnya dipahat menyerupai rumah-rumah kuno. Di dalamnya terdapat dudukan tempat seseorang bisa bersila untuk menjalani laku meditasi. Di timur sungai juga terdapat pahatan candi serta ceruk-ceruk menyerupai goa pertapaan. Kedua sisi sungai cuma dihubungkan jembatan papan kayu yang sudah berlumut dan lapuk. Terlihat jembatan ini sudah lama tidak difungsikan.

Warga memanfaatkan mata air yang ada di Candi Tebing Jukut Paku. Kompas/Eddy Hasby
Warga memanfaatkan mata air yang ada di Candi Tebing Jukut Paku. Kompas/Eddy Hasby

 

 

Sebelum pagi benar-benar pergi, beberapa penduduk bersiap mandi di selokan kecil yang letaknya di atas tebing. Sementara aliran air Sungai Pakerisan tertutup semak, jauh di bawahnya. Sebelum mandi, warga Tegallinggah selalu menghaturkan canang (untaian bunga di atas janur) di pelinggih (tempat suci) di sekitar pancuran bambu. Begitulah keharmonian itu selalu dijaga. Alam memberi segala berkah berupa kelimpahan air yang menghidupi, pepohonan yang melindungi, burung-burung yang tak henti bernyanyi, dan aura yang membangkitkan energi.

Jean Couteau , budayawan dan pengamat seni asal Perancis
Jean Couteau, budayawan dan pengamat seni asal Perancis. Kompas/Eddy Hasby

 

Kami lantas coba duduk bersila. Gemuruh dada pertanda gelisah dan riuh pikiran pertanda kalut perlahan dihanyutkan aliran angin dan gemercik air. Ada cahaya yang diam-diam menyusup ke dasar batin. Itulah mungkin kehidupan suci yang dijalani para leluhur di masa lalu sebelum akhirnya benar-benar mengabdi untuk kesejahteraan rakyat.

(Putu Fajar Arcana)


 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Maret 2015, di halaman 25 dengan judul “Dalam Keheningan Meditasi Bali”.