Menapak Jejak Anti-Kolonial di Rangkasbitung

0
1124
Saya telah menyaksikan
Bagaimana keadilan telah dikalahkan
Oleh para penguasa
Dengan gaya yang anggun
Dan sikap yang gagah
Tanpa ada ungkapan kekejaman di wajah mereka (WS Rendra)

Itulah sepenggal sajak Demi Orang-orang Rangkasbitung karya W.S. Rendra yang tertulis di dinding ruang belakang Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak. Dalam sajak lengkapnya, Rendra mengungkapkan bagaimana kejamnya penguasa terhadap rakyat Rangkasbitung. Tanam paksa yang diterapkan hanya menguntungkan penjajah.

Rangkasbitung yang merupakan Ibukota Kabupaten Lebak, memiliki sejarah panjang sejak zaman Hindia-Belanda. Kemajuan dan tata kotanya baik, namun praktek tanam paksa menjadi momok menakutkan dan menyiksa rakyat. Hingga banyak tokoh bangsa yang menjadikan Rangkasbitung sebagai sorotan kekejaman tanam paksa.

Sorotan ke Rangkasbitung atas penderitaan rakyat diawali oleh Edward Douwes Dekker atau lebih dikenal dengan nama pena Multatuli. Seorang Belanda yang menjadi Asisten Residen di Rangkasbitung. Ia tidak terima atas perlakuan pimpinan daerah ketika itu yang menerapkan tanam paksa bagi rakyat. Jika pun dibeli, harganya sangat rendah. Lewat tulisannya dalam buku Max Havelaar Multatuli menggambarkan penderitaan rakyat karena penjajah.

Walau seorang Belanda, Multatuli mendapat tempat tersendiri di masyarakat Rangkasbitung. Kantornya ketika bekerja di Lebak kini dijadikan museum. Patung perunggu Multatuli dengan memegang buku yang sangat tebal dipajang di halaman museum. Namanya pun dijadikan salah satu ruas jalan utama di pusat Rangkasbitung.

Museum Multatuli terletak di alun-alun Rangkasbitung. Tempat ini menjadi museum anti-penjajah pertama di Indonesia. Untuk menuju ke sana, pengunjung dapat menumpang kereta komuter tujuan akhir stasiun Rangkasbitung. Pilihan selanjutnya dari stasiun pengunjung dapat menumpang angkutan kota, becak atau ojek. Akan tetapi, dengan berjalan kaki pun tidak masalah, sambil menikmati suasana kota yang rapi menjelang alun-alun. Jaraknya pun tidak terlalu jauh.

Ruang depan Museum Multatuli. (foto: Eko Ramdani)

Museum yang baru diresmikan Februari 2018 itu berisikan dokumen tetang Multatuli dan Lebak. Ketika pertama masuk ke dalam bekas kantor Dekker, akan disambut dengan gambar wajah Multatuli dari samping dan miniatur museum. Di bagian tembok atas juga terdapat kutipan “Tugas manusia adalah menjadi manusia”.

Masuk ke ruang selanjutnya pengunjung akan disuguhkan gambar yang menceritakan awal kehadiran bangsa Eropa ke Nusantara. Kekayaan alam berupa rempah membawa kapal-kapal besar datang dan melempar jangkar di pantai Nusantara. Di ruang itu juga disediakan hasil rempah pala, lada, cengkih, dan kayu manis yang dapat pengunjung nikmati aromanya. Tak cuma keempat rempah itu, ada juga biji kopi mentah, sangrai dan giling yang dibingkai dalam kotak kaca.

Tak hanya itu, Museum Multatuli juga memajang gambar perjalanan kemerdekaan Indonesia. Lewat ilustrasi di dinding salah satu ruangan, pengunjung akan diajak mengetahui perlawanan rakyat Banten. Terdapat juga perjalanan dari tahun ke tahun kondisi Rangkasbitung yang dikisahkan lewat foto lama dengan keterangannya.