Komunitas Organik Indonesia untuk kelima kalinya menggelar Organic Green & Healthy Expo V di Bentara Budaya Jakarta. Acara yang digelar bersama Kompas Gramedia pada 1-4 Oktober itu memberi warna baru perhelatan penggiat organik. Beberapa inovasi muncul, menambah semarak acara.
Albert Arron Pramono, misalnya, menampilkan terobosan wadah tanam sayuran hidroponik yang memanfaatkan kotoran ikan lele sebagai sumber nutrisi pohon yang ditanam di pipa-pipa tegak thermoplastic polymers dengan kontur menyerupai batang pohon. Pipa-pipa itu ditancapkan di wadah kotak sebagai penyangga sekaligus sumber sirkulasi nutrisi dan pengumpulan oksigen.
Memang tak secanggih Mark Watney dalam film The Martian yang memanfaatkan kotoran manusia sebagai sumber nutrisi pohon dan oksigen buatan. Namun, setidaknya inovasi Albert memberi kontribusi pada berkembangnya biodynamic agriculture di negeri ini.
Untuk kotak penyangga, Albert memasang dinding ganda yang memungkinkan suhu di dalam pipa, tempat akar tanaman berada, selalu sejuk pada suhu sekitar 20 derajat. Dengan begitu, aneka tanaman seperti stroberi dan butterhead, yang biasa tumbuh di dataran tinggi, bisa ditanam di wadah tanam milik Albert yang diberi nama Simple Garden. Secara teratur, kotoran ikan lele diisap oleh pompa kecil melewati sebuah filter, ke puncak pipa, melewati lagi sebuah filter, kemudian dialirkan ke bawah bersama air, menyirami akar tanaman. Ikan lele mendapat asupan makanan dari dedaunan kering yang jatuh ke dalam wadah penampungan. Cara kerja ini sebenarnya menyatukan konsep aeroponik dan aquaponik.
Konsep Albert merupakan biodynamic agriculture atau kerap disebut organic plus. Ini merupakan sistem produksi pertanian yang bergantung pada keseimbangan antara tanah, tanaman, dan kotoran hewan yang mendorong kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman. Pertanian biodynamic idealnya mampu memenuhi kebutuhan secara mandiri dalam lingkup daur hidup dan tidak menambahkan bahan lain dari luar ekosistem, bahkan termasuk pupuk organik atau nutrisi bagi tanaman. Di pojok lain, inovasi datang dari Asep Kurnia, lewat bendera Tepian Farm, dalam menyediakan solusi bertani bagi masyarakat perkotaan yang terkendala keberadaan lahan. Kotak kayu berukuran 25 cm x 45 cm dengan tinggi 20 cm ini dipergunakan sebagai wadah tanam yang bisa dipindah ke mana saja.
Asep memilih tanaman herbal yang banyak dibutuhkan masyarakat perkotaan. Menurut Asep, banyak orang di perkotaan yang tertarik berkebun dan bertani, tetapi kekurangan mentor. Asep telah melakukan kampanye di Bandung sejak dua tahun lalu. ”Kami juga bekerja sama dengan sejumlah komunitas mengerjakan urban farming dan office farming,” katanya.
Meski tidak sarat inovasi teknologi, variasi produk pameran juga terasa. Semakin banyak produk herbal minuman dan makanan yang disajikan. Beberapa peserta pameran dari Yogyakarta dan Solo menyajikan sajian herbal. ”Saya punya ramuan berbagai daun untuk teh dan jamu seduh untuk kesehatan,” ujar Linda dari Solo.
Sementara itu, dari Aceh, ada Muhammad, peserta pameran yang menyajikan kopi Gayo organik, yang berdampingan dengan berbagai produk kosmetik dan makanan organik. Menurut koordinator pameran Fadli Reza, dari 147 peserta pameran, 29 di antaranya peserta yang baru pertama kali ikut. ”Kami senang karena berarti gerakan organik semakin bergaung. Semakin banyak orang bermain di organik,” ujar Ketua Komunitas Organik Indonesia Christopher Emille Jayanata.
Berdasarkan catatan Kompas, pada 2011, OGH I diikuti 45 peserta, lalu pada tahun berikutnya menjadi 105 peserta, pada 2013 menjadi 132 peserta, dan pada 2014 ada 140 peserta. Namun, tahun ini, jumlah pengunjungnya justru sedikit berkurang menjadi sekitar 8.300 orang. Tahun lalu, pengunjung mencapai 12.000 orang.
Betty Nurbaiti, Wakil Ketua KOI yang juga pengusaha produk kosmetik organik mengungkapkan, gerakan untuk mendorong perkembangan produk organik seharusnya tidak hanya pameran, tetapi juga pembentukan pasar organik di Jakarta. ”Kita harus berjuang mendapat kemudahan masuk ke pasar-pasar, terutama pasar rakyat. Perjuangan kita jadi lebih konkret,” ujarnya.
Tanpa keberpihakan pemerintah, gerakan mengembangkan gaya hidup lebih organik akan berjalan lambat dan lebih mengandalkan penggiat-penggiat berstamina tinggi. Itulah alasan mengapa hampir setiap pameran OGH selama tiga tahun terakhir KOI selalu menghadirkan beberapa tokoh sebagai pendukung gerakan organik. Tahun ini, hadir penggiat kuliner William Wongso, penggiat pemberdaya narapidana Evi Amir Syamsuddin, dan penggiat kerajinan rakyat Yasmin Gita Wirjawan sebagai endorser pameran. Mereka yang diharapkan menjadi pendorong para penggiat organik untuk terus berkampanye. Pekan lalu, mereka hadir di pembukaan pameran bersama Widi Krastawan, Direktur Komunikasi Kompas Gramedia, dan Rusdi Amral, Direktur Komunitas Harian Kompas.
(Ingki Rinaldi)
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 6 Oktober 2015