Shae yang Meletus-letus

0
3792

Kehilangan pendengaran pada telinga sebelah kiri tidak menghalangi Shae (21) mengejar impian menjadi penyanyi. Dengan sadar, ia mengubah keterbatasan itu menjadi sumber motivasi yang mendorongnya untuk terus maju. Hari ini, namanya tercatat sebagai penyanyi yang tak hanya dikenal publik dalam negeri.

Shae adalah satu dari sekian banyak penyanyi muda yang harus berjuang keras untuk menggapai impiannya menjadi seorang bintang di industri musik Tanah Air. Namun, Shae harus berjuang lebih keras lagi karena satu telinganya tidak berfungsi.

”Jadi memang aku enggak bisa total dengar di telinga kiri. Penyebabnya saraf yang putus, bermasalah, atau bisa jadi mati. Tetapi, kita sebut sarafnya bermasalah atau ada masalah dengan tulang karena pas cek gendang telinganya sehat,” kata Shae dalam sebuah pertemuan pada awal September lalu di Jakarta. Keanehan di telinganya itu dirasakan Shae saat masih duduk di kelas IV SD.

Sejak belia, Shae mantap ingin menjadi penyanyi. Bahkan, ketika orang- orang terdekatnya seolah tak mendukung. ”Dulu, waktu masih jadi penyanyi kamar mandi, (berangan- angan) suka bikin konser, yang nonton 40.000 orang, di bawah shower. Tapi ya gitu, dari dulu diteriakin. Lagi enak- enak bikin konser eh diteriakin sama keluarga. Woii diem berisik kita mau nonton TV,” cerita Shae dengan gayanya yang ekspresif.

Setiap kali Shae tengah bernyanyi di depan kaca, sang ayah pun menyindir, ”Nak, suara kamu itu jelek”. ”Sakitlah hati aku. Tapi enggak tahu kenapa itu malah jadi motivasi,” kata Shae yang akhirnya meminta kepada sang ibu untuk memasukkannya ke sekolah vokal.

Hingga usia 14 tahun, Shae terus mengasah kemampuannya. Selain rajin berlatih, dia juga banyak mengikuti kompetisi. Di hati kecilnya, selalu ada keinginan besar untuk menjadi seorang penyanyi meski dia juga sadar memiliki kekurangan.

”Ada saat di mana aku akan depresi, sedih, dan nangis karena kekurangan. Tapi pilihan aku adalah, ketika sedang merasakan hal-hal negatif seperti itu, gimana caranya biar aku sadar bahwa oke aku merasakan itu sekarang, tapi dari kemarin aku sudah mulai melangkah, jadi aku punya dua opsi, maju atau mundur,” ujar penyanyi berdarah campuran Jawa dan Australia ini.

”Ketika aku mundur, maka habis, lenyap, senyap. Semua yang telah aku lakukan tak akan memberiku apa-apa. Dengan hal negatif yang kurasakan, gimana caranya itu menjadi sumber motivasi untuk maju ke depan. Oke hari ini aku jelek, hari ini monitornya gini, oke enggak papa. Besok kerja lebih keras lagi, besok jangan sampai ini terjadi lagi, dan aku selalu ingin jadi penyanyi,” ujar Shae.

Shae pun kemudian menyadari, saat dia berpikir positif dia merasa bahagia. Dan ketika dia bahagia, hal-hal positif akan masuk ke dalam hidupnya. ”Kalau mental kita sehat, cara berpikir kita lebih jernih dan ketika jernih hal-hal negatif susah merusak kita,” katanya dengan mimik serius.

Akhirnya, setiap kali jatuh, Shae bisa berdiri lagi. ”Kan cuma itu sebenarnya, kita cuma perlu gimana memotivasi diri untuk mendapatkan apa yang kita mau dan percaya bahwa kita berhak mendapatkan itu. Kalau tidak ya udah. Setidaknya kita coba, atau tidak akan dapat apa-apa,” katanya.

Keterbatasannya itu memang membuat Shae sangat bergantung pada ear monitor yang disetel khusus saat tampil di panggung. ”Ear monitor-nya harus stereo, musik juga harus balance dengan vokal, dan itu semua diproses di kuping kanan. Dan karena teknologi zaman sekarang, jadi enggak masalah, asal sinyalnya sampai. Tapi kalau sinyalnya tidak sampai, monitor depan yang ada di stage harus siap siaga dan kuat,” katanya tentang metode survival di atas panggung.

Untuk keperluan sehari-hari, Shae memilih tidak memakai alat bantu dengar. Alasannya, harganya terlalu mahal, sementara hasilnya belum tentu maksimal. ”Tetapi, aku masih terus mencari alat bantu dengar yang bisa merekam suara, lalu mentransfernya ke telinga kanan sehingga aku bisa mendengar sumber suara karena pada saat tertentu bisa berbahaya, seperti saat menyetir mobil,” katanya.

Shae - Penyanyi Kompas/Wawan H Prabowo
Shae – Penyanyi

Layar kaca

Karier Shae di dunia musik dimulai dari layar kaca. Selain tampil di acara televisi, Shae juga muncul sebagai bintang iklan dan bermain sinetron. ”Tetapi aku capek dan memutuskan fokus di sekolah saja Tetapi, ternyata jiwaku memang ke situ, otak kanan yang lebih dominan,” kata Shae yang selain menyanyi, juga pernah menggeluti teater.

Saat usianya 15 tahun, dia berdoa secara khusus. ”Tuhan kalau ini bukan jalanku, aku enggak apa-apa. Tapi aku akan terus berusaha. Akhirnya umur 16 tahun, aku ketemu produser yang mau terima aku dan di umur 18 tahun berhasil selesaikan album, lalu lihat beberapa label. Akhirnya paling klop sama Warner. Dan mulailah semuanya dari situ,” kata Shae.

Awalnya, Shae membuat album pertamanya untuk pasar Indonesia. Tahun 2012, Shae merilis singel ”Kok Telfon-telfon Sih”. Rupanya pihak Malaysia mendengar dan ingin bekerja sama dengan Shae merilis singel ”Sayang”.

”Ternyata sangat diterima di Malaysia, dan akhirnya banyak kerja di Malaysia juga. Setahun bolak-balik seperti itu,” kata Shae.

Dia merasa, dunia musik telah betul-betul memikatnya. ”Aku ini orangnya cetar-cetar-cetar. Meletus-letus gitu. Aku suka membuat orang lain happy. Makanya aku ada di industri ini,” ujar Shae.

Saat ini, Shae tengah jatuh cinta pada musik electronic dance music. Dua singel rasa EDM dari album terbarunya, ”Gojigo (K.A. M.U)” dan ”Aku Suka Kamu” telah dirilis, sebagai pemanasan untuk menyambut album keduanya yang direncanakan dirilis November mendatang.

”Sekarang ini aku ngerasa di titik hidupku yang sangat aneh. Dulu aku merasa pinter banget, umur 18 tahun datang semuanya. Tapi makin dewasa, makin banyak hal yang aku tahu sedikit,” katanya.

Shae tak mau pusing dengan industri musik yang tengah mati suri. Sebagai penyanyi, dia berusaha terus kreatif. Melalui musiknya, ”Aku pengin membuat orang happy dan mau menjadi teman melalui musikku.”

(Dwi As Setianingsih)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Oktober 2015, di halaman 17 dengan judul “Shae yang Meletus-letus”