Nama Herry Wibowo melekat kuat pada karya-karya SH Mintardja. Ia adalah pembuat gambar kulit atau sampul depan buku ”Nagasasra dan Sabuk Inten”, ”Api di Bukit Menoreh”, ”Pelangi di Langit Singasari”, dan lainnya.
Tokoh fiksi seperti Mahesa Jenar dalam cerita Nagasasra dan Sabuk Inten atau Agung Sedayu dalam Api di Bukit Menoreh sudah seperti legenda. Bagi sementara orang, mereka dianggap sebagai sosok yang pernah ada. Sang pengarang Singgih Hadi Mintardja memang begitu hidup berkisah dalam karya-karyanya yang berjilid-jilid itu yang dimuat setiap hari di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Herry Wibowo, atau disingkat WIB, makin menghidupkan tokoh-tokoh tersebut lewat gambar kulit atau sampul versi buku karya SH Mintardja tersebut.
Kita simak jilid ke-55 dari buku I Api di Bukit Menoreh. SH Mintardja mendeskripsikan pertarungan antara tokoh utama Agung Sedayu dan sosok antagonis berjuluk Orang Berkumis. Kita kutip penggalan-penggalan deskripsi tersebut:
”Setiap kali terdengar ledakan cambuk Agung Sedayu di antara kilatan daun pedang lawannya yang memantulkan cahaya matahari, yang semakin terik pula….”
”Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah meloncat dengan pedang terjulur menyerang Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu telah bersiap menghindarinya. Ia meloncat ke samping sambil mengibaskan cambuknya sendal pancing…”
”Terdengar cambuk itu meledak memekakkan telinga. Namun orang berkumis itu pun cukup tangkas. Ia berhasil menghindari dengan suatu loncatan yang cepat dan panjang...”
Pembaca tentu mempunyai imajinasi masing-masing tentang serunya pertarungan Agung Sedayu dengan ilmu cambuknya melawan Orang Berkumis dengan ilmu pedangnya. Herry Wibowo membuat tafsir visual atas pertarungan tersebut dalam gambar kulit Api di Bukit Menoreh buku I jilid ke-55 (lihat foto).
Lewat gambar kulit yang dibuatnya, Herry Wibowo secara visual mengomunikasikan teks yang dibuat SH Mintardja. Sosok tokoh yang digambarkan SH Mintardja dalam berbagai karyanya seperti terjembatani oleh coretan Herry. Tersebutlah tokoh seperti Mahesa Jenar, Rara Wilis, Simo Lodra, Demang Soroyuda, Agung Sedayu, Sekar Mirah, Swandaru, Untara, Sidanti.
Ide untuk penggambaran tokoh-tokoh dan adegan-adegan tentu digali Herry dari teks SH Mintardja. Namun, untuk detail kostum, gerak pertarungan (SH Mintardja menyebutnya olah kanuragan), Herry mendapat masukan dari pentas ketoprak. Tokoh Arya Saloka, murid Mahesa Jenar dalam Nagasasra dan Sabuk Inten, ditafsir Herry Wibowo pemuda sederhana, berbadan gagah, memakai rompi, dan celana sampai bawah lutut.
”Ide rompi dan celana saya lacak dari tokoh-tokoh ketoprak pada umumnya, misalnya Ketoprak Tjokrodjio,” kata Herry Wibowo (72) yang ditemui Kompas di rumahnya di Gang Tohpati, salah satu gang di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta.
Tetap menyala
Herry Wibowo, pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 8 Juni 1943, ini mulai menggarap gambar sampul cerita karya SH Mintardja, Nagasasra dan Sabuk Inten,sejak 1966.Ia mulai menggarap sampul jilid ke-9 sampai tamat di jilid ke-29. Sebelumnya, jilid pertama sampai ke-8, sampul digarap Kentardjo. Ilustrasi dalam jilid pertama dikerjakan Kentardjo sendiri. Selanjutnya ilustrasi halaman dalam digarap R Soesilo dari jilid ke-2 hingga ke-8, dilanjutkan Soedyana dengan inisial SDY pada jilid ke-9 sampai ke-29.
”Saya meneruskan. Sebelum itu saya memang sering dolan (bertandang) ke tempat Pak Ken(tardjo). Pak Ken dan Pak Singgih meminta saya melanjutkan (membuat gambar kulit). ’Wik terusno’,” kata Herry.
SH Mintardja dan Penerbit Kedaulatan Rakyat merasa sreg, cocok, dengan gambar sampul karya Herry Wibowo. Herry kemudian membuat gambar sampul untuk karya SH Mintardja lainnya, seperti Api di Bukit Menoreh sejak 1968 dari jilid pertama sampai tamat di jilid ke-396, Pelangi di Langit Singasari pada 1968-1974 sebanyak 79 jilid, Sepasang Ular Naga di Satu Sarang (37 jilid), Bunga di Batu Karang (28 jilid), Suramnya Bayang-bayang (34 jilid), dan Sayap–Sayap Terkembang (34 jilid).
Herry menggarap sampul sejak masih berkuliah di Jurusan Seni Lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Ia seangkatan dengan seniman Nyoman Gunarsa. Karena sering membuat ilustrasi, ia lalu masuk jurusan seni ilustrasi grafis. Ia terus membuat gambar kulit untuk karya SH Mintardja sampai ia menjadi dosen di almamaternya sejak 1965 sampai pensiun pada tahun 2008.
Jejak akademik Herry terekam dalam buku-buku karya SH Mintardja. Ketika mendapat gelar sarjana muda, namanya sebagai pembuat gambar kulit tertera sebagai Herry Wibowo, BA. Pencantuman gelar BA dimulai pada jilid ke-23 Nagasasra dan Sabuk
Inten.
Api di Bukit Menoreh tetap ”menyala” meski Herry sebagai pembuat gambar kulit sedang berada di negeri orang. Herry mendapat tugas ke Jepang pada tahun 1975-1977 dan negeri Belanda pada 1982-1983. Untuk pembuatan gambar sampul, ia dibantu istrinya, Retno Susilo Sriwijayanti (72). Sang istri mengambil naskah di penerbit Kedaulatan Rakyat. Ia mencatat adegan-adegan yang dirasa menarik sebagai ide pembuatan gambar sampul. Adegan-adegan itu lalu dikirim lewat surat. ”Dari bahan yang dikirim istri saya itu lalu saya gambar dan saya kirim ke Indonesia,” kata Herry.
Mahesa Wulung dan kartun
Setelah membaca dan membuat berpuluh-puluh gambar sampul cerita karya SH Mintardja, Herry Wibowo pada 1968 memberanikan diri menulis cerita silat Naga Geni-Mahesa Wulung sampai 28 jilid dengan menggunakan nama WH Wibowo. ”Itu karena saya sering membaca karya SH Mintardja. Akhirnya saya berusaha menulis sendiri,” kata Herry.
Ia juga membuat Ario Penangsang (1971), Patriot (1979), cerita anak Dongeng Si Jelita dan Sang Kodok (1971), Berpetualang di Dasar Bumi (1982), dan Kaki Sang Kancil (1988). Sebelum terkenal sebagai pembuat sampul karya SH Mintardja, Herry pernah membuat cerita bergambar (cergam) Roro Mendut bersama pelukis Gondo Sukotjo dan cergam Sawunggaling (1962). Sebagai seniman dan akademisi, ia pernah belajar teknik renaisans di Vrije Academie, Den Haag, Belanda (1982-1983). Sampai hari ini Herry Wibowo masih aktif berkarya. Ia membuat kartun yang terbit di harian Kedaulatan Rakyat edisi Minggu.
Dari jejak panjang kesenimanannya, Herry Wibowo lama ”bertualang” bersama Mahesa Jenar, Agung Sedayu, Mahisa Agni, dan tokoh-tokoh sohor di ”dunia persilatan” rekaan SH Mintardja….
(FRANS SARTONO)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2015, di halaman 18 dengan judul “Di Balik Mahesa Jenar dan Api Menoreh”
Comments are closed.