Mengelola Kecemasan untuk Mental yang Sehat

0
288

Memahami kondisi dan mencintai diri sendiri ialah kunci utama untuk mengatasi kecemasan berlebihan/anxiety disorder. Memahami kondisi diri penting dilakukan agar kita tahu keadaan diri. Setelah itu, menerima dan mencintai ialah kunci agar hidup akan terasa berharga. Kecemasan dalam diri harus dikelola dengan baik. 

Rhaka Ganisatria, menjadi salah satu pembicara dalam rangkaian Kompasfest 2022 presented by BNI. Topik yang dibawakan sangat relevan dengan keadaan anak muda sekarang, yaitu kesehatan mental. Isu ini benar-benar menyerupai fenomena gunung es dan sangat menjadi perbincangan hangat sejak masa pandemi Covid-19. 

Isu kesehatan yang dibawakan oleh Co-Founder Menjadi Manusia ini berfokus pada kecemasan berlebih atau yang biasa dikenal dengan anxiety disorder. Rhaka mengawali bahwa kecemasan dapat berdampak positif maupun negatif bagi seseorang. Dampak positifnya, kecemasan mampu membuat seseorang lebih tau akan sesuatu yang hendak ia lakukan.

Bak pisau bermata dua, kecemasan berlebih juga berdampak negatif bagi kesehatan mental seseorang. “Seseorang akan terperangkap pada pikirannya sendiri. Ia akan memikirkan hal yang tidak harus dipikiri,” jelas Rhaka kepada seluruh peserta kelas. Anxiety yang lengah diperhatikan tentunya akan menjadi permasalahan serius. 

Rhaka Ghanisatria saat membawakan kelas cara mengatasi kecemasan berlebih. Foto: Tangkapan Layar Zoom Meeting

Menurut Rhaka, terdapat tiga langkah untuk mengatasi kecemasan. Yang pertama ialah mengenali kekurangan dan kelebihan diri. Seseorang yang mengenali diri sendiri akan paham akan kondisi sesungguhnya. Setelah ia memahami kondisinya, ia akan menerima akan kondisi yang ada. 

Setelah dua langkah di atas, yang terakhir ialah self love. “Yang terakhir ialah mencintai kekurangan dan kelebihan yang kita punya,” kata Rhaka. Ia yakin bahwa mencintai diri sendiri akan berujung pada ketenangan dan menghargai kehidupan yang ada. 

Diskusi yang ada berjalan secara interaktif. Kelas yang dibawakan Rhaka ini dipandu oleh moderator dari Litbang Kompas. Moderator terus menerus melemparkan pertanyaannya pada Rhaka. Salah satu pertanyaan menarik ialah “Bagaimana kita merasa cukup dan tidak terbebani dengan sesuatu sehingga tidak merasa anxiety?,” tanya Karina, selaku moderator. 

Baca juga : Bebas Berkarya di Era Digital

Rhaka menjawabnya dengan singkat. “Dibalikkan ke sudut pandang masing-masing orang lain. Yang mengubah saya ialah mindset untuk berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain,” jawab Rhaka. Ia mengatakan bahwa kebanyakan anxiety muncul ketika seseorang terus membandingkan dirinya dengan orang lain. Hal itu lah yang menjadi cikal bakal kecemasan yang berlebihan.  

Terkait dengan anxiety, Rhaka mengatakan bahwa sudut pandang/mindset seseorang harus diubah demi menjaga kesehatan mentalnya. “Saya percaya perkataan ‘kamu akan menjadi apa yang kamu pikirkan’,” kata Rhaka. Menurutnya, apabila mindset yang kita bangun di diri kita positif, kejadian yang terjadi pun positif. Pikiran di dalam diri harus dibangun sebaik mungkin. 

Diskusi dipandu oleh Karina Isna, peneliti Litbang Kompas. Foto: Tangkapan Layar Zoom Meeting

Ia sangat menggaris bawahi bahwa pikiran negatif bisa saja akan menjadi kenyataan. Tentunya hal ini sangat membahayakan kesehatan mental seseorang. “Apabila terjadi sesuatu yang negatif, berusaha mencintai dengan takdir. Perlahan akan berubah dan kita akan mencintai diri sendiri,” tuturnya 

Peserta kelas pun terlihat interaktif. Mereka saling melemparkan pertanyaan melalui kolom pesan Zoom Meeting. “Kak, bagaimana sih cara mengatasi kecemasan berlebihan untuk diri kita?,” tulis akun bernama Icha Riska yang berasal dari Surabaya.

Secara cepat, Rhaka langsung merespon pertanyaan tersebut. “Kita harus pergi ke proffesional. Jika mandiri, kita bisa dengan meditasi untuk mengelola pikiran agar lebih rileks,” jawab Rhaka. Ia menjelaskan bahwa mengelola pikiran bisa dilakukan dengan journaling dan meditasi sebelum tidur.

Kelas tentang mengatasi anxiety ini ditutup dengan quotes yang dibawakan oleh Rhaka. “Kehidupan bukan perlombaan, maka kita memiliki kecepatannya masing-masing. Karena hidup bukan perlombaan, maka setiap kita adalah pemenangnya,” tutup Rhaka. Ia juga mengatakan bahwa hidup pasti menemui kegagalan dan itu merupakan proses di dalamnya. 

Penulis : Rafi Ramadhan, Mahasiswa Universitas Brawijaya, Magangers Kompas Muda Batch XI