Bersandar di Bilik Sejarah Proklamasi

0
1630

Bagaimana rasanya mendiami rumah dengan bilik-bilik bersejarah. Rumah yang menjadi salah satu tonggak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Djiauw Kwin Koy (62) merasa hidupnya bersandar pada bilik sejarah itu.

Udara panas menyergap kawasan Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Namun, segera berganti udara sejuk ketika kami memasuki halaman rumah bercat hijau dan putih di Dusun Kalijaya I. Kesejukan itu bersumber dari pohon mangga, dan pohon jambu air yang tumbuh rindang di halaman. Daunnya yang begitu rimbun meneduhi rumah.

Kesejukan itu pula yang ”menyirep” Thung Gie Hiang (63) sehingga ia tertidur di atas dipan bambu di teras rumah. ”Yayang, bangun. Ada tamu,” kata Djiauw Kwin Moy (62), istri Hiang, setengah berteriak dari dalam kios yang hanya berjarak lima meter dari dipan itu. Hiang, yang tidak benar-benar tidur itu, tergagap lalu memasang senyum yang agak dipaksakan dengan mata mengejap-ejap.

Djiauw Kwin Moy atau Iin merupakan cucu dari Djiauw Kie Siong, pemilik rumah tempat Soekarno dan Hatta disembunyikan Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh dan para tentara Pembela Tanah Air (Peta) lainnya dalam peristiwa Rengasdengklok. Rumah bersejarah. ”Itulah yang membuat saya bersyukur karena kakek saya meninggalkan rumah bersejarah ini,” kata Iin.

Iin menyadari betul bahwa tempat tinggalnya menjadi simpul penting dalam perjalanan sejarah bangsa. Oleh karena itu, dia sebisa mungkin menjaganya meskipun dengan cara paling sederhana: rutin membersihkan bagian-bagian penting yang terkait sejarah itu.

Rumah ini berdiri di atas lahan 1.008 meter persegi. Berdinding papan kayu jati. Kusen-kusennya juga menggunakan kayu jati yang dicat hijau. Beratap genteng tanah dan berplafon anyaman bambu. Di bagian depan terdapat gapura besi yang berjarak sekitar lima meter dari teras rumah. Di teras rumah berdiri dipan bambu tempat Hiang rehat. Halaman rumah dibiarkan berupa tanah dan kerikil, sementara teras rumah berlantai ubin gerabah coklat kemerahan serupa warna genteng.

Ubin ini juga dipasang di ruang tamu. Sebagian ubin itu tak lagi datar melainkan cekung karena tergerus kaki-kaki yang melintasinya selama puluhan tahun. ”Ubin ini asli sejak pertama rumah ini dibangun. Belum pernah kami ganti karena kami menjaga keasliannya,” kata Iin.

Cucu Djiaw Kie Siong, pemilik rumah yang pernah dijadikan tempat tinggal Soekarno dan Hatta selama penculikan oleh Pemuda Peta di Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Kamis (6/8). Di rumah ini Soekarno dan putranya Guntur yang berusia 9 bulan tinggal selama penculikan oleh pemuda Peta agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Indonesia 16 agustus 1945. Kompas/Lucky Pransiska
Cucu Djiaw Kie Siong, pemilik rumah yang pernah dijadikan tempat tinggal Soekarno dan Hatta selama penculikan oleh Pemuda Peta di Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Kamis (6/8). Di rumah ini Soekarno dan putranya Guntur yang berusia 9 bulan tinggal selama penculikan oleh pemuda Peta agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Indonesia 16 agustus 1945.
Kompas/Lucky Pransiska

Sesuai pesan kakeknya, Iin juga menjaga keaslian barang-barang di ruang tamu seperti dua meja jati sepanjang 3 dan 2 meter dengan tinggi berbeda yang ditata secara berundak berdekatan dengan dinding papan jati. Di dinding itu dipasang foto Siong, sementara di atas meja terdapat mangkuk berbahan kuningan tempat batang-batang dupa diletakkan. Juga dua tempat lilin berbahan sama. ”Ini tempat kami sembahyang dan mendoakan leluhur,” kata Iin.

Kamar Soekarno-Hatta

Dulu, ornanem ruang tengah hanya sesederhana itu. Kini, tampak lebih ramai dengan dipasangnya belasan foto Soekarno dan Hatta, serta beberapa foto kunjungan keluarga Soekarno. Ruang tengah berukuran sekitar 42 meter persegi itu diapit dua kamar tidur yang masing-masing berukuran 3 meter x 6 meter. Di dalam kamar itu terdapat ranjang kayu jati berhias kelambu, sementara kasurnya diselimuti seprei. Rapi.

Kamar itulah tempat Bung Hatta dan Bung Karno diinapkan sebelum esok paginya dibawa ke Jakarta untuk membacakan teks proklamasi. Hatta seorang diri di salah satu kamar. Adapun Bung Karno ditemani istrinya, Fatmawati dan anaknya, Guntur, yang kala itu masih berusia sembilan bulan. Iin membiarkan dua kamar itu tetap kosong. Ia dan suaminya memilih tidur di salah satu kamar di bagian dalam rumah. Begitu juga dengan anaknya, Martin (28), sebelum akhirnya dia memilih tinggal di luar rumah setelah bekerja dan mandiri.

Iin tinggal di rumah itu karena dua hal. Pertama untuk menunaikan pesan kakeknya agar menjaga tempat bersejarah itu. Kedua, sampai saat ini Iin belum punya cukup tabungan untuk membangun rumah baru. Iin dan suaminya pernah mempunyai tabungan dari usaha berdagang tembakau di Pasar Rengasdengklok. Ketika terjadi kerusuhan 1998, tokonya terbakar.

Oleh kakak kandungnya, Djiauw Chiang Lim, Iin diminta bertahan di rumah Siong. ”Saya lalu membuka kios untuk bertahan hidup,” kata Iin sembari menunjuk kios kecil di bawah pohon mangga di depan rumah. Kios ini menyediakan makanan dan minuman bagi para pengunjung.

Pada hari-hari biasa, tak kurang dari 30 orang mampir ke kiosnya. Mereka bukan hanya pengunjung rumah Siong, melainkan juga warga sekitar. Pada hari-hari khusus seperti Lebaran atau agustusan, pengunjung membeludak hingga ratusan. Iin menilai itu sebagai berkah dari jasa kakeknya membantu pejuang menginapkan Bung Karno dan Bung Hatta.

Kadang datang pengunjung bukan untuk melihat sejarah, melainkan menjalankan kegiatan seperti bersemadi. ”Kadang mengambil air dari sumur di sana. Biasanya setiap malam Jumat Kliwon,”’ ungkap Iin. Bagi Iin, hal itu adalah risiko tinggal di rumah bersejarah. Dia tidak terganggu selama mereka tidak mengusiknya. Yang menganggu justeru kalau datang tamu sampai ratusan orang. Di antara mereka sering ada yang iseng mencuri foto-foto koleksi Iin.

Terdampak banjir

Rumah Siong itu dulu terletak di Dusun Bojong yang hanya sekitar 75 meter dari Sungai Citarum. Belakangan, Citarum sering meluap dan daerah di sekitarnya mengalamai abrasi. Siong memperkirakan rumahnya akan tenggelam jika tidak segera pindah. Maka pada 1957, ia memindahkan rumahnya ke Dusun Kalijaya I, Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok, Karawang.

Keputusan itu benar karena setahun kemudian, terjadi banjir besar hingga membelokkan aliran sungai. Kini, tapak bekas rumah Siong itu persis berada di tengah-tengah aliran Sungai Citarum.

Iin bersyukur kakeknya memindahkan rumah itu. Jika tidak, tentu artefak sejarah kemerdekaan Indonesia itu akan lenyap. Lebih dari itu, ia tak punya tempat tinggal seperti sekarang. Bagian ruang tamu hingga teras rumah itu masih asli. Namun, sebagian mulai lapuk dimakan usia. ”Sesekali ada bantuan untuk perbaikan. Namun, saya tak tahu sampai kapan bisa bertahan,” kata Iin.

(Mohammad Hilmi Faiq)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Agustus 2015, di halaman 21 dengan judul “       Bersandar di Bilik Sejarah Proklamasi”