Budaya Ketikan Singkat, Bahasa Indonesia Gawat

0
622

Sejak duduk di bangku sekolah hingga perguruan tinggi, saya diajarkan menulis secara efektif, tidak bertele-tele. Sederhananya, melakukan penghematan kata dalam sebuah kalimat. Pedoman sederhana ini saya pegang dalam berkomunikasi melalui tulisan ataupun lisan.

Dewasa ini implementasi konsep penghematan kata dilakukan secara ekstrem bagi sebagian orang. Bukan menghemat kata dalam kalimat, melainkan menghemat ejaan dalam sebuah kata. Tentu, cara ini tidak pernah diajarkan di bangku pendidikan tingkat mana pun. Ketikan singkat lumrah ditemukan di ruang percakapan dan beranda media sosial atau dalam berkomunikasi dengan kawan sebaya. Bukan juga untuk komunikasi formal.

“Km lg apa?”

“Ak msh d jln”

“Ok jgn main hp kalo gt”

“sip ktmu disna ya”

Apabila kamu mengerti percakapan di atas, tandanya ejaan singkat bukan merupakan hal baru bagimu. Fenomena ketikan singkat mudah ditemukan dalam ruang obrolan daring. Terdapat beberapa motif penggunaan ketikan singkat, seperti malas mengetik, enggan berbincang, atau sekadar ikut-ikutan.

Ketikan singkat sering dimaknai sebagai respon yang jutek atau ketus. Hal ini disebabkan dalam interaksi tulisan, komunikan hanya mempersepsi informasi dari tulisan, tanpa mendengar intonasi, mimik, atau gesture. Sehingga ketikan komunikator sangat berpengaruh terhadap persepsi komunikan.

Dari ruang percakapan, kita beralih ke ruang publik maya, yaitu media sosial. Mulai dari kolega, keluarga, hingga tokoh publik kerap menuliskan status atau keterangan dengan ketikan singkat. Semakin banyak pengikut yang dimiliki, semakin besar pula pengaruh untuk menggunakan pola penulisan serupa.

“Tumben bgt jakarta gk macet”

“Kmrn ban mobil gw bocor”

“Polisi kmn aja sih? Kok diem aj?”

“Sakit perut dr pagi ni”

Tulisan seseorang di media sosial dengan ketikan singkat seperti itu, akan dilihat dan ditiru oleh orang lain. Bahkan, apabila penggunaannya masif dapat membentuk sebauh tren tersendiri (Mugni, 2014). Penularan penggunaan ketikan singkat mengancam eksistensi bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Sebagai contoh, seorang influencer memiliki 1 juta pengikut di Instagram. Ia mengunggah tulisan dengan ketikan singkat dalam keterangan postingan. Lalu, tulisan tersebut dibaca oleh setidaknya 10 persen dari pengikutnya atau 100 ribu orang. Apabila 10 persen atau 10 ribu dari yang melihat adalah seorang pelajar, maka mereka berpotensi menjadikan pola penulisan tersebut sebagai contoh.

Penerimaan dan pemakluman kolektif terhadap penulisan singkat yang tidak sesuai kaidah, dapat menurunkan derajat bahasa Indonesia. Masyarakat cenderung mengikuti pola penulisan populer yang salah, akhirnya penggunaan bahasa Indonesia sesuai kaidah dianggap kuno dan ketinggalam zaman.

Peringatan Bulan Bahasa 2021 dapat menjadi momentum refleksi dan kebangkitan penggunaan bahasa Indonesia yang benar.  Perubahan yang besar dimulai dari langkah yang kecil. Mari, mulai dari diri sendiri.

 

Alwin Jalliyani, mahasiswa Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran