Cara Menggali dan Menemukan “Mutiara” Sebagai Pendidik

0
217

“…ini yang membuat kita tidak jadi menulis, yang terpenting adalah perasaan kita sendiri. Kalau dianggap jelek so what? yang penting isinya.”  Kutipan kata itu disampaikan Romo Agustinus Mintara SJ, pembawa materi pada Webinar Literasi Guru : Menggali dan Menemukan Mutiara Berharga Sebagai Pendidik di YPII (Yayasan Penyelenggara Ilahi Indonesia) Kampus Bandung, pada Selasa, 17 Mei 2022 (17/05/2022). Acara diadakan secara daring lewat aplikasi Zoom. Acara webinar itu dihadiri oleh seluruh pengajar YPII Kampus Bandung, mulai dari pengajar TK Maria Bintang laut, SD Maria Bintang Laut, SMP Waringin, hingga pengajar dari SMA Trinitas.

Kegiatan tersebut untuk membahas tentang bagaimana cara menulis pemikiran kita.  Dengan menuangkan pemikiran kita ke dalam tulisan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Mulai dari sampul buku hingga isi harus menarik para pembacanya. Dalam webinar itu Romo Agustinus menuntun para peserta mengenai bagaimana tulisan dibuat oleh pemikiran mulai dari yang sederhana saja.

Hal yang ia bahas mengenai kriteria buku seperti apa yang layak diterbitkan. Menurut pendapat Romo, sebenarnya itu tergantung pada sang penerbit. Isi buku yang berbau negatif pasti tidak boleh menyinggung perasaan orang lain. Selain itu tidak boleh mengandung penghinaan pada SARA, tidak boleh plagiat tulisan orang lain dan mengambil, mencantumkan nama orang tanpa izin, hingga tidak boleh ada ujaran kebencian.

Intinya isi buku musti berbau positif, memberikan hasil yang baik bagi para pembacanya. Di luar itu, buku harus menarik mulai dari sampul depan hingga isi naskah, yang membuat pembacanya menikmati tulisan tersebut dan mendapat manfaat lain.  

“….lebih menarik jika para pengajar menuliskan tentang alasan tetap setia menjadi pengajar…”

Menurut Romo, bagi para pengajar banyak hal yang harus diperhatikan, seperti menentukan apa yang akan dituangkan ke dalam tulisan. Ia menyebut kegiatan proses belajar mengajar itu kurang menarik jika dituliskan. Maksudnya lebih menarik jika para pengajar menuliskan tentang alasan tetap setia menjadi pengajar, pengalaman mengajar yang paling berkesan dengan diceritakan secara spontan.

“Kita tetap bisa menulis pengalaman kita, walaupun menurut kita tidak ada pengalaman yang menarik,” ujarnya. Ia menambahkan dalam menulis pengalaman tersebut, harus dibarengi dengan sikap sungguh-sungguh dan yakin bahwa tulisan yang kita buat adalah mutiara yang berharga. 

Sikap seperti itu  bertujuan agar orang lain tidak merasa dibohongi. Menulis tidak dibatasi apapun karena kita bisa mengambil dari cerita pengalaman pribadi atau refleksi, sehingga dalam hal menulis, bentuk tulisannya itu bebas.

Tulisan bisa dalam berbentuk puisi, tetapi disarankan lebih baik dalam teks deskripsi karena kurang cocok jika diceritakan secara langsung. Jika tulisan berbentuk teks deskripsi, para pembaca lebih mudah dalam membayangkan pengalaman tersebut. Contoh lain, mendeskripsikan dalam tulisan bagaimana sikap orang yang berbicara secara lisan, seperti dengan lantang dan semangat para pemuda itu bersorak : Merdeka! 

Dalam menulis pasti ada kendala yang muncul. Seperti rasa khawatir, takut jika tulisan yang kita buat dianggap jelek oleh orang lain. Lalu solusinya apa? Romo berkata dengan percaya diri.  “Pemikiran seperti ini yang membuat kita tidak jadi menulis, yang terpenting adalah perasaan kita sendiri. Kalau dianggap jelek so what? yang penting isinya,” katanya.

Lewat jawaban itu Romo memberitahu bahwa dalam menulis, salah satu keterbatasan kita adalah dalam perumusan kalimat untuk mengungkapkan isi dari pengalaman kita. Pada kenyataan, kita bukan tidak bisa atau tidak mampu menulis, kita hanya belum terbiasa mengungkapkan isi pikiran ke dalam bentuk tulisan.

Seperti kayu yang diamplas. Apakah bisa halus dengan hanya mengamplas sekali saja? Tentu tidak, pasti akan membutuhkan banyak sekali gesekan amplas hingga kayu benar-benar halus. Begitu juga dalam hal menulis. “Kita harus mulai berlatih dan juga mengeksplor berbagai tulisan agar dapat mengasah serta menambah pengetahuan kita dalam hal menulis,” ujar Romo.

Setelah sesi tanya jawab dengan Romo, Suster Susana yang menjadi Kepala Sekolah SMA Trinitas memberi tugas kepada seluruh pengajar YPII Kampus Bandung untuk menulis pengalaman pribadi saat menjadi pengajar di YPII. Hasil tulisan mereka akan dikumpulkan dan diserahkan kepada Romo. 

Felicia Nelvina Patera/Teresa Maharani Wibisono, siswi kelas 10, SMA Trinitas Bandung, aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik.