Profesi di bidang jurnalistik dianggap belum ramah terhadap jurnalis perempuan. Itulah sebabnya meskipun di Indonesia banyak mahasiswi jurusan jurnalistik, tetapi hanya sedikit lulusannya yang kemudian memilih menjadi jurnalis. Faktor paling dominan yang memengaruhi rendahnya minat mahasiswi kelak memilih menjadi jurnalis perempuan adalah ekspektasi hasil dan efikasi diri.
Demikian hasil riset Remotivi, lembaga studi dan pemantauan media mengenai persepsi dan keterkaitan mahasiswa dan mahasiswi jurnalistik untuk bekerja di industri pers. Lembaga yang dibentuk pada 2010 itu, Sabtu (10/7/2021) meluncurkan hasil riset yang diadakan selama 3,5 bulan, sejak awal April hingga Juli 2021 dalam sebuah webinar.
Penelitian itu dilakukan berkolaborasi dengan empat universitas yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Diponegoro.
Penelitian melibatkan 338 responden, 109 laki-laki dan 229 perempuan dari peminatan jurnalistik di empat universitas tersebut dengan menggunakan metode survei dan focus group discussion (FGD).
“Laki-laki turut kami teliti demi melokalisir problem (masalah) spesifik di perempuan,” kata Muhamad Heychael, peneliti Remotivi dalam diskusi yang berlangsung.
Tim peneliti Remotivi menemukan hanya 30,2 persen mahasiswi yang tertarik dan memprioritaskan karier sebagai jurnalis setelah lulus dari bangku perkuliahan. Faktor “ekspektasi hasil” dan “efikasi diri” para mahasiswi membuat sebagian besar dari mereka yang menjadi responden tak tertarik ke pekerjaan jurnalistik. “Secara umum perempuan gak mau berprofesi sebagai jurnalis,” kata Heychael mengutip hasil penelitian itu.
Dalam konteks ‘ekspektasi hasil’ berdasarkan pandangan para mahasiswi dalam FGD, profesi sebagai jurnalis memang menawarkan hal-hal positif seperti memiliki jaringan yang luas dan dinilai sebagai profesi yang intelektual. Namun, profesi jurnalis bagi para mahasiswi dinilai memiliki gaji dan jenjang karier yang tidak pasti.
Profesi jurnalis pun dianggap tidak bersahabat dengan perempuan dan memiliki banyak resiko. Rendahnya penghargaan terhadap jurnalis perempuan seperti stereotip gender menjadi salah satu hambatan bagi perempuan untuk berkecimpung dalam industri pers.
“Masuk ke area gender. Di sini mereka (perempuan) merasa tidak diapresiasi dan dianggap tidak bisa menjalankan peran itu (jurnalis),” ungkap Nurul Hasfi, peneliti dan pengajar Jurnalistik Universitas Diponegoro dalam diskusi.
Dalam konteks ‘efikasi diri’ berdasarkan pandangan mahasiswa dan mahasiswi temuan dalam FGD, perempuan percaya bisa menjadi jurnalis. Namun, kurang percaya diri dapat menduduki posisi puncak karier. Perempuan cenderung mempertimbangkan karier sebagai jurnalis berdasarkan pengalaman belajar dan kompetensinya.
Sementara itu, laki-laki lebih percaya diri dan optimis menduduki posisi-posisi strategis. Hal ini dipengaruhi pula oleh stereotip kultural budaya patriarki dan stereotip psikologi yang terjadi dalam dunia kerja di Indonesia.
“Sebenarnya perempuan sudah percaya diri dengan skill set yang dia miliki. Namun menjadi jurnalis dianggap pekerjaan yang membutuhkan sifat-sifat maskulin,” jelas Nurul.
Temuan lain yang ditemukan dalam survei Remotivi adalah perbedaan perempuan dan laki-laki dalam proses belajar di kelas dan saat magang. Perempuan cenderung ditugaskan meliput topik-topik ringan seperti fesyen, hiburan, wisata, kuliner, dan keluarga. Berbeda dengan laki-laki yang cenderung dipercayakan meliput topik-topik investigasi dan kriminalitas.
“Kami menemukan di dalam survei ada perbedaan yang signifikan. Liputan-liputan soft banyak diberikan ke perempuan dibandingkan ke laki-laki,” kata Eriyanto, peneliti dan pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia mengungkapkan lebih jauh hasil temuan tim peneliti.
Peluncuran hasil riset tersebut meninggalkan wawasan dan kesan mendalam bagi peserta terutama bagi para mahasiswi peminatan jurnalistik di Indonesia. Banyak pengetahuan dan temuan baru mengenai dunia jurnalis bagi perempuan dikupas tuntas dalam diskusi ini.
“Temanya menarik banget. Menurut aku, ini bisa banget digali dan buat awareness kalau kesetaraan gender itu penting di dunia jurnalistik,” ujar Zahra Larasati, mahasiwi jurusan Jurnalisitik Universitas Multimedia Nusantara Tangerang.
Tim Penulis
Reporter : Kompas Corner Universitas Multimeda Nusantara/ Pathrichia Putriani Syamsury.
Fotografer : Kompas Corner Universitas Multimeda Nusantara/ Galuh Anisya Fitrananda.
Editor : Kompas Corner Universitas Multimeda Nusantara/ Maria Oktaviana.