Kritik merupakan hal yang menyebalkan bagi sebagian orang. Selain harus memperbaiki pekerjaan, apabila disampaikan dengan cara yang salah bisa menimbulkan konflik. Sutradara dan produser Salman Aristo dalam kuliah umum Program Studi Televisi dan Film Universitas Padjajaran, Bandung pada Selasa (20/4/2021) lalu berbagi cara penyampaian kritik yang digunakannya pada produksi film. Pendekatan itu bisa diimplementasikan di kehidupan sehari-hari.
“Harus dipahami di awal bahwa revisi itu proses, bukan kegagalan. Kita bisa pakai omongan Thomas Alfa Edison, ketika baru nyala di bohlam ke seribu, dia enggak bilang 999 kali gagal, tetapi menemukan 999 cara berbeda. Mentalitas seperti itu yang harus dibangun,” ujar Salman.
Salman menilai bahwa syarat orang boleh menyampaikan kritik yaitu sudah membaca dan memahami persoalannya. Lebih baik tidak memberikan komentar, jika baru melihat karyanya hitungan jam sebelum diskusi.
Notulensi dalam sebuah diskusi adalah kunci. Notulen harus bisa mengenali pola masalah yang diperdebatkan. Sehingga hasil notulensi tersebut bisa menjadi acuan dan pemetaan untuk menyelesaikan masalah.
Metode penyampaian kritik yang Salman gunakan mengacu pada teori Daniel C. Dennett. Langkah pertama adalah mengungkapkan posisi dan tanggung jawab masing-masing. Misalnya hubungan antara produser dan penulis skenario, harus saling mengerti peran mereka dalam produksi. Supaya pembahasan selanjutnya terasa professional, bukan personal.
Argumentasi yang disampaikan harus jernih dan rasional. Fokus terhadap substansi, jangan melebar ke persoalan lain. “Sehingga respon yang keluar dari rekan kita adalah kok gue enggak kepikiran ya soal itu,” sambung Salman yang menjadi produser di film berjudul Dua Garis Biru.
Sebelum memulai hubungan kerja sama, ia menyarankan agar kita mengusahakan membuat daftar poin kesepakatan mengenai proyek yang akan dibuat. Poin kesepakatan ini bisa menjadi acuan dan indikator keberhasilan. Sehingga kritik yang disampaikan memiliki dasar yang jelas.
“Sebelum mengkritik, sampaikan dulu apa yang kita pelajari dari membaca karya dan proses yang telah dilalui. Baru setelah itu sampaikan kritik,” kata alumnus Program Studi Jurnalistik Unpad itu.
Cara sederhana untuk melatih kemampuan kritik adalah mencari apa yang kita suka dari sebuah karya. Setelah ketemu baru sampaikan apa yang bisa diperbaiki. Sejelek apapun karyanya, kita harus bisa menemukan sisi positif sebagai bentuk apresiasi.
Alwin Jalliyani, mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran.
Comments are closed.