Bulan Oktober merupakan bulan bahasa, untuk memperingatinya berbagai rangkaian kegiatan dihelat pada bulan tersebut. Pada hari Jumat, (30/10/2020) ada silatusastra sebuah program yang diinisiasi oleh Panti Baca Ceria telah digelar di Citengah, saung Nabawadatala, Sumedang.
Acara itu diadakan dengan kolaborasi dan mendapat dukungan sejumlah pihak, seperti Geram Sumedang, Taman Tahu, Milang Picture, Pojok Seni, Malam Puisi Tanjung Sari, Sumedang Teater, GPS STKIP 11 April Sumedang, Retorika Films, Bamon Cinema, FTBM Sumedang, Sumedang Progresif, Manuliasm, Inimah Sumedang, Tampomas Bicara, Temabako, Teater Akar Rumput, Ceria Space, dan lainnya.
Agar dapat mengikuti acara tersebut syaratnya mudah. Cukup sumbangkanlah bukumu agar bisa berbagi dan menyebarluaskan pengetahuan. Acara itu juga dihadiri sejumlah komunitas literasi di Sumedang ini menuai banyak manfaat dan harapan untuk menjadi ruang bagi siapapun pegiat dan penikmat sastra.
Silatusastra dapat diartikan sebagai cara baru menikmati sastra dengan tujuan penyelenggaraannya bisa menjadi ruang silaturahmi bagi sastrawan, pegiat literasi dan penikmat sastra di Sumedang. Selain itu menjadi tempat yang disinggahi sebagai tempat acara wisata baca dan ruang publik, dengan adanya taman bacaan masyarakat di tempat itu.
Serangkaian acara ini yang dimulai dari pembukaan oleh pendiri Panti Baca Ceria, selayang pandang dari beberapa sastrawan Sumedang dan pegiat sastra sekolah, screening film Seribu Kunang-Kunang di Jakarta karya Anindya Erviana Madalina, PH Tomat Batam yang merupakan adaptasi dari puisi Joko Pinurbo. Kemduian ada pula diksi yaitu diskusi literasi kesusastraan.
Berbicara mengenai sastra, dalam berpuisi kita harus menikmati segala konsekuensinya, sebagai seseorang dengan label yang melekat entah itu pemusik, politikus, sastrawan di dalamnya pasti ada suatu wacana gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Hal itu disampaikan sastrawan Sumedang, Dadan Andana yang kerap disapa Apih. Ia menyatakan silatusastra sebagai momentum untuk memperingatkan bahwa ada yang kurang dengan kurikulum (bahasa Indonesia) di Indonesia. Menurut Apih, komposisi gramatikal, tata bahasa dan kebahasaan yang disajikan masih terlampau lawas. Problematika tersebut harus diselesaikan dengan upaya penyediaan sarana yang memadai sehingga bisa memperkaya dan menguatkan posisi bahasa Indonesia.
Ia juga menyampaikan bahwa kegiatan silatusastra dengan semangat murninya harus tetap dilestarikan dari tahun ke tahun. Silatusastra menjadi wadah untuk bersilaturahmi, bertukar pikiran, bercengkerama, membuka dan memahami sudut pandang lain dalam diskursus kesusastraan.
Para pengunjung sangat antusias melihat acara itu, terlihat keaktifan para peserta dalam proses diskusi literasi berlangsung. Bahkan ada pengunjung mengekpresikan diri di mimbar bebas serta berswafoto dengan kawan-kawan untuk mengabadikan momen yang ada.
Acara berakhir pada pukul 12 malam dan ditutup dengan parade karya sastra dan mimbar bebas sastra yang ditampilkan oleh 15-20 orang. Bentuk parade sastra yang mereka eskpresikannya yaitu dengan musikalisasi puisi, penampilan karya musik, penampilan teater, dan pembacaan drama.
Penampilan yang disuguhkan sangat menarik, sehingga mampu membuat suasana malam hari di Citengah menjadi lebih indah. Jika ada para pengunjung yang ingin berkemah sehabis acara usai juga dipersilahkan. Salam Sastra!
“Bahasa dan Sastra adalah bentuk evolusi dari manusia” -Yuval Noah Harari.
Riska Arlianda, Universitas Padjajaran jurusan Ilmu Pemerintahan, Jatinangor.