Dampak Covid-19 masih terasa hingga saat ini. Dampak bagi bidang pendidikan diantaranya sekolah dan perguruan tinggi melakukan pembelajaran jarak jauh. Selain itu, terkait penerimaan mahasiswa baru banyak perguruan tinggi yang akhirnya memutuskan untuk melakukan penerimaan dengan sistem ujian secara daring.
Salah satu perguruan tinggi yang melaksanakan ujian secara daring adalah Universities Indonesia. Dari pelaksanaan ujian daring ini banyak pro-kontra yang terjadi di masyarakat dengan alasan ujian daring rawan akan kecurangan. Meskipun beberapa perguruan tinggi sudah melakukan pengetatan sistem seketat mungkin, namun tetap saja kecurangan saat tes masih terjadi. Kondisi itu ramai menjadi trending di Twitter karena ditengarai banyak kecurangan yang terjadi saat ujian SIMAK-UI berlangsung. Kalau kecurigaan tersebut benar, lantas apa tujuan dilakukan ujian daring jika pada akhirnya terjadi kecurangan?
Alat pembeda
Mungkin kita pernah mendengar cerita dari kakak kelas atau dari teman-teman yang pernah mengikuti ujian, kemudian mencocokan jawaban yang telah dijawab dengan kunci jawaban yang dibuat oleh beberapa lembaga bimbingan belajar. Setelah kita mencocokan ternyata nilai kita lebih tinggi dari teman kita yang mengambil jurusan dan perguruan tinggi yang sama, namun pada saat pengumuman, ternyata kita sendiri tidak lolos sedangkan teman kita yang nilainya dibawah kita lolos.
Tentu mengherankan bukan? Nah, di sinilah ada yang namanya peran diskriminasi item. Maksud diskriminasi item adalah item atau soal yang dapat berperan dalam membedakan kemampuan antar individu. Hal itu terjadi karena dalam suatu ujian tingkat kesulitan antar soal tentunya berbeda-beda, sehingga dengan ujian yang terdiri dari beberapa soal dapat membedakan mana calon mahasiswa yang mengerjakannya dengan cara menebak dan mana yang mengerjakan dengan pemahamannya sendiri.
Pemrediksi
Selain terdapat diskriminasi item, dalam suatu ujian pun terdapat yang namanya validitas prediktif. Dimana validitas prediktif ini berperan sebagai alat pemrediksi calon mahasiswa yang akan diterima dengan perhitungan calon mahasiswa yang mengerjakan sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh pihak kampus dapat diterima dan menjalankan kuliah dengan baik hingga lulus dari kampus. Coba kita bayangkan, bagaimana jadinya jika kita mengerjakan soal ujian dengan melakukan kecurangan / bantuan orang lain? Tentu hal itu akan membuat kita kesulitan dalam menjalani perkuliahan dan bahkan berujung drop out, karena apa yang kita kerjakan saat ujian bukanlah hasil kemampuan yang kita miliki dan bukan kriteria yang diharapkan oleh kampus tersebut. Jadi tenang saja bagi kalian yang mengerjakan dengan jujur tidak perlu risau ya.
Alat pembanding
Mungkin untuk beberapa perguruan tinggi ada yang mengharuskan memasukan nilai rapor SMA ketika melakukan pendaftaran ujian penerimaan calon mahasiswa baru. Nah gunanya ada dua kemungkinan, yaitu untuk dapat melihat pemahaman calon mahasiswa dan untuk dapat melihat kegigihan calon mahasiswa. Dengan artian ujian ini dapat melihat apa yang sebenarnya siswa pahami, jika dibandingkan antara hasil ujian dengan nilai rapotnya memiliki hasil yang berbanding lurus.
Sedangkan untuk melihat kegigihan calon mahasiswa jika ternyata nilai ujian calon mahasiswa memiliki hasil yang jauh lebih tinggi dibandingkan nilai raport selama SMA.
Jadi setelah kamu membaca penjelasan di atas, ternyata ujian bukan sembarang ujian bukan? Ujian daring dilakukan tidak dengan keadaan cuma-cuma. Banyak tujuan dibalik pro kontra dilaksanakannya ujian sistem tersebut.
Lalu apakah kamu masih berpikiran untuk melakukan kecurangan saat ujian daring berlangsung? Tentu tidak dong. Sedangkan untuk kamu yang sudah berlaku jujur dalam ujian dan mengetahui bahwasannya ada beberapa oknum yang melakukan kecurangan dengan mengerjakan melalui joki, tenang…
Kamu jangan khawatir, karena ujian ini hanya awal dari serangkaian perjalanan panjang untuk menjalani perkuliahan. Nanti dan kita pun tidak akan mengetahui kedepan akan seperti apa jika kita mengawalinya dengan perilaku curang. 🙂
Deni Fazri, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Comments are closed.