Seikat Asa dari Helaian Janur di Kampung Ketupat

0
491

Terik matahari siang tajam menusuk sesaat saya tiba di sebuah kampung kecil yang kerap dijuluki Kampung Ketupat pada jelang Lebaran atau Idulfitri lalu. Julukan ini lahir sebab banyak warga setempat yang memproduksi ketupat. Sebelum tiba di kampung ini, saya sempat kesulitan menemukan lokasi persisnya. Bermodal petunjuk dari peta digital, perjalanan saya berakhir di Kampung Danas, Kelurahan Cimahpar, Kota Bogor.

Kampung Danas atau Kampung Ketupat berada tidak jauh dari pusat kota. Lima belas menit dari Tugu Kujang, ikon kebanggaan Kota Bogor. Kisah kampung ini sering saya dengar dari beberapa pemberitaan media massa tiap jelang Lebaran. Tak heran sebab ketupat merupakan hidangan wajib masyarakat Indonesia pada perayaan Lebaran.

Sebuah simbol

Lebaran rasanya kurang lengkap tanpa ketupat. Ketupat menjadi menu yang wajib hadir di meja makan untuk disantap setelah salat Ied berjemaah. Menurut majalah Historia, ketupat menjadi simbol perayaan Lebaran umat Islam di Banten sejak masa pemerintahan Demak pada abad ke-15. Penggunaan daun kelapa muda atau janur pada ketupat sendiri memiliki makna yakni sebagai identitas budaya pesisir saat itu yang wilayahnya banyak ditumbuhi pohon kelapa.

Hingga saat ini, ketupat dijadikan simbol perayaan Lebaran tidak hanya bagi umat Islam di Banten saja, tetapi juga bagi umat Islam di seluruh pelosok negeri. Ketupat dikenal dan diproduksi oleh banyak orang, termasuk masyarakat Kampung Ketupat.

Nuansa Ketupat terasa saat saya masuk menyusuri jalan setapak dari gang kecil menuju pemukiman warga Kampung Ketupat. Tumpukan karung-karung berisi janur tergeletak begitu saja di depan beberapa rumah warga. Terlihat juga beberapa warga yang sebagian besar wanita tengah menganyam janur untuk kulit ketupat.

Saya menyambangi salah satu rumah warga yang kebetulan sedang memproduksi ketupat di halaman rumahnya yang terbuka bebas. Salah satu produsen ketupat bernama Endang bercerita telah menggeluti bisnis ketupat ini sejak tahun 1998. Ia melanjutkan bisnis ayahnya yang sebelumnya merupakan salah satu pelopor produksi ketupat menjadi mata pencaharian utama sebagian besar warga di kampung ini.

“Saya belum lahir waktu bapak saya mulai bisnis ketupat ini. Bisnis warisan ini mah. Bapak saya juga yang pertama di kampung ini, yang lain pada ngikut bapak. Sampai jadi banyak kayak sekarang ini awalnya pada diajak sama bapak saya,” tutur lelaki berusia setengah abad itu.

Kegigihan ayah Endang dalam mengembangkan bisnis ketupat menarik minat warga yang lain untuk ikut memproduksi ketupat yang nantinya dijual ke pasar-pasar di wilayah Bogor. Hingga saat ini terdapat tujuh produsen besar ketupat yang tiap produsennya memperkerjakan delapan hingga empat belas orang warga. Endang kini memiliki delapan pekerja yang membantunya menganyam cangkang ketupat. Ketupat menjadi sumber penghasilan bagi sebagian besar warga di sini.

Uniknya, para produsen ketupat di kampung ini tak hanya membuat ketupat untuk Lebaran saja. Hari biasa pun mereka tetap memproduksi ketupat. Pada hari biasa, Endang dapat memproduksi mulai dari 500 hingga 1.000 ketupat per harinya. Jelang Lebaran, permintaan ketupat di pasar naik pesat, per harinya Endang bisa memproduksi 3.000 ketupat.

Beras yang digunakan dalam produksi ketupat bisa mencapai tiga karung yang per karungnya berisi 60 liter. Ketupat-ketupat ini biasa dipasarkan ke beberapa pasar di wilayah Bogor seperti Pasar Anyar dan Pasar Bogor. Tak hanya itu, pesanan lain juga datang dari Jakarta, Bandung dan wilayah Banten.

Menambah penghasilan

Semasa pandemi Covid-19 dan diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Kota Bogor, ternyata tidak berpengaruh besar terhadap jumlah permintaan ketupat di pasar. Pedagang di pasar yang pasokan ketupatnya berasal dari produsen di Kampung Ketupat tetap berjualan seperti biasa. PSBB seperti tidak dihiraukan oleh masyarakat Kota Bogor. Sebagian dari orang yang datang ke pasar tujuannya untuk membeli kebutuhan pokok seperti bahan makanan untuk hidangan Lebaran, salah satunya ketupat.

Bermodal mengenakan masker dan sarung tangan, saya memberanikan diri melihat kondisi pasar, tak lupa juga saya mengantongi cairan sanitasi sebagai pelengkap perjalanan saya keluar rumah.

Saya mengunjungi salah satu pasar di Bogor yang kebetulan dekat dengan rumah saya. Kendaraan roda dua tampak memenuhi jalan sehingga menyebabkan kemacetan. Pengunjung pasar tumpah ruah di jalanan. Pedagang ketupat tidak sulit ditemui sebab mereka berjualan di pinggir sepanjang jalan pasar tersebut.

Idah, salah seorang pedagang ketupat mengaku mulai menjual ketupat juga cangkangnya sejak dua hari menjelang Lebaran. Ia mendapatkan cangkang ketupat dari salah satu produsen di Kampung Ketupat yang ia jual lagi di pasar.

Ketupat yang sudah jadi pun ia jual, isinya ia buat sendiri. “Beli cangkang jadi langsung di sana (Kampung Ketupat) sekalian beli banyak. Kualitas daunnya bagus, banyak macamnya juga ada yang lebar ada yang kecil,” kata dia.

Idah juga menjelaskan alasannya tetap berjualan ketupat di saat pemerintah menganjurkan untuk di rumah saja ialah karena faktor ekonomi. Keuntungan dari berjualan ketupat mampu menambah penghasilan yang nantinya ia gunakan untuk keperluan Lebaran juga kebutuhan sehari-hari. “Orang kayak saya, mah, gak ada yang ngasih THR (tunjangan hari raya). Lebaran kan harus pegang banyak uang biar keluarga bisa makan enak, makanya dagang ketupat biar tercukupi.” tuturnya.

Ketupat ternyata tak hanya sebagai simbol perayaan Lebaran. Bagi sebagian orang seperti masyarakat di Kampung Ketupat juga para pedagang di pasar, ketupat juga bermakna sebagai sumber penghasilan. Orang-orang tersebut menggantungkan harapannya untuk memenuhi kebutuhan hidup pada helaian janur yang dijadikan ketupat itu.

 

Alfida Febrianna, mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran