Gundah Gulana Sang Pemilik “Kedai Teteh”

0
281

Sunyi, begitu keadaan malam hari di  sebuah perumahan di kota Hujan. Tepi jalan yang biasa ramai oleh lalu lalang kendaraan, kini hanya sedikit kendaraan yang membelah jalanan. Orang-orang pun tenggelam dalam heningnya malam. Terlebih lagi, sejak merebaknya wabah virus korona yang membuat keadaan semakin sepi, seperti kota tanpa penghuni. Kondisi itu membuat banyak usaha makanan gulung tikar.

Di tengah kondisi tersebut masih ada penjaja makanan yang memberanikan diri untuk tetap buka, menjajakan menu andalan khas buatannya. Aneka menu harganya tetap kaki lima, seperti nasi goreng kampung Rp.15.000, bubur ketan hitam seporsi Rp.10.000 hingga nasi pecel  Rp 25.000.

Makanan itu dijual oleh“Kedai Teteh”. Selain digunakan berjualan, rumah beratap besi itu menjadi tempat bernaung pemilik kedai dan dua anaknya yang masih bersekolah di SMA dan SMP. Terlihat dari luar, seorang wanita menunggu datangnya pembeli dengan ditemani dua anaknya yaitu Daffa (19), siswa di salah satu SMA Bogor, dan Nabilla (17), siswa di salah satu SMP Bogor.

Seketika, kendaraan roda empat berhenti tepat di depan kedainya. Pengendara itu turun dan masuk ke dalam kedai. “Ibu, nasi goreng masih ada,?” tanya sang pengendara roda empat tersebut. Dianggukannya kepala wanita, tanda bahwa nasi goreng masih tersedia.

Tanpa berpikir lama, pengedara roda empat itu langsung memesan dengan jumlah yang tidak sedikit. Ternyata pengendara roda empat itu adalah Sella (19), teman anaknya, Daffa. Dengan sigap, salah satu anaknya membantu menyiapkan makanan tersebut. Terpancar raut bahagia dari wajah sang penjaja makanan.

Bu Heti (44), begitu panggilan akrab wanita yang merupakan pemilik dari “Kedai Teteh”. Usaha ini sudah digeluti separuh hidupnya. Ia menjadi tulang punggung keluarga. Tidak hanyut dalam kesedihan, Ia bangkit untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Kedai Teteh. Foto : Amira Hasna Sheiladifa

Senyuman dan semangat dari kedua anaknya menjadi motivasi Ia berjualan. Lima tahun lalu “Kedai Teteh” berdiri. Dengan modal seadanya, Ia memutuskan membuka kedai sebagai sumber penghasilan. Rumah yang ia tempati disulap menjadi titik kumpul yang nyaman bagi penikmat kuliner. Tidak hanya memiliki kedai, Ia juga membuka kantin di sekolah-sekolah, seperti di SMP Rimba Madya Ciomas.

Profesi itu lantaran ia tidak ingin bekerja di bawah usaha orang lain. Heti beralasan, dengan berwirausaha, ia tidak hanya mendapatkan pemasukan, namun usaha tersebut juga dapat diwariskan untuk anak-anaknya kelak. Selain itu, ia tidak harus meninggalkan kewajiban sebagai ibu rumah tangga serta tetap bisa mengurusi kedua anaknya. Kedai beroperasi mulai jam 8 sampai 10 malam.

Pembeli sebagian besar adalah siswa SMAN 8 Bogor lokasi sekolahnya tidak jauh dengan kedainya. Pembeli lain, tetangga di sekitar rumahnya.

Keadaan kini berbeda, sejak virus korona mewabah, jumlah pembeli menurun. Dua pekan lalu, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat sudah mengeluarkan keputusan untuk meliburkan setiap kegiatan di sekolah mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi dalam empat belas hari ke depan.

Para siswa SMA di dekat kedainya yang biasa membeli makanan sudah diliburkan. Pembeli lain, para pengendara mobil pun bisa dihitung dengan jari. Makanan yang sudah dijajakan pagi hari pun masih terlihat sama. Raut wajah gelisah terlihat dari wajah wanita yang tak lagi muda itu.

Tidak ada pilihan lain, Ia harus menerima kenyataan kedainya belum bisa dipenuhi pembeli seperti sedia kala. Padahal kedainya terletak di tepi jalan utama sebuah perumahan elite di kota hujan.

Jika sampai sekarang ia masih memilih berjualan, bukan karena ia tidak ingin mendukung imbauan dari pemerintah dalam membatasi kontak fisik langsung, tetapi Heti terpaksa tetap membuka kedainya. Tuntutan kehidupan dengan hutang di berbagai warung dan toko kelontong menghantuinya. Belum lagi untuk modal memasak yang menjadi beban.

Kadang kala apabila ia tidak memiliki uang untuk membeli sayur-sayuran dan bumbu dapur di warung seharga Rp.50.000 saja, Ia mau tidak mau meminta keringanan untuk membayarnya. “Pedagang kecil seperti saya kalau tidak berjualan, anak-anak saya mau makan apa nanti?” ujar Heti saat diwawancara pada Minggu (5/04/2020).

Ketika semua orang diharuskan berdiam diri di rumah sangat mempengaruhi perekonomian keluarga Heti. “Sekarang mau belanja aja saya harus milih mana yang harus dibeli duluan,” ujar Heti dengan raut wajah gundah. Meski demikian, ia masih bisa mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari seperti beras.

 

Amira Hasna Sheiladifa, mahasiswa Program Studi Hubungan Masyarakat, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran.