Pembatasan Fisik dan Perayaan Paskah Dari Tapal Batas

0
516

Kecamatan Badau, berbatasan langsung dengan Malaysia bagian Sarawak. Kecamatan tersebut terletak di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Masyarakat di sana terbiasa untuk berbelanja lintas negara untuk memenuhi kebutuhan pokok. Mereka menghabiskan waktu yang relatif lebih singkat untuk sampai di perbatasan Indonesia-Malaysia.

Selain kebutuhan pokok, masyarakat Badau berusaha untuk memenuhi kebutuhan rohaninya. Paskah, khususnya bagi umat Nasrani, menjadi sumber kekuatan untuk menimba kembali nilai-nilai kehidupan. Mereka biasanya merayakan Paskah di gereja bersama para pastor. Mereka juga mengungkapkan rasa syukurnya atas pengorbanan Yesus melalui setiap rangkaian ibadat Paskah.

Seluruh daerah di Indonesia, termasuk Badau, tengah menjalankan aturan pembatasan fisik (physical distancing) sesuai dengan arahan pemerintah. Malaysia juga telah menetapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) sejak tanggal 18 Maret 2020. Berbagai upaya tersebut, baik pemerintah Indonesia maupun Malaysia, bertujuan untuk memutus mata rantai penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Seorang pastor yang bertugas di sebuah Gereja Katolik Santo Montfort Badau, Andreas Satur, membagikan kisah masyarakat Badau di tengah situasi pandemi. Mereka yang terbiasa berbelanja kebutuhan pokok lintas negara harus mengurungkan niatnya karena akses perbatasan ditutup. Andreas mengatakan, mereka akhirnya menunggu pengiriman kebutuhan pokok dari Pontianak, butuh dua sampai tiga hari untuk sampai di Badau.

Arahan pembatasan fisik dari pemerintah Indonesia dan karantina wilayah Malaysia rupanya membawa dampak bagi masyarakat Badau. Andreas juga menceritakan, perayaan Paskah di Badau berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena harus dirayakan dari rumah masing-masing, sesuai dengan arahan pemerintah. Ibadat perayaan Paskah melalui siaran televisi atau layanan live streaming menjadi sesuatu yang baru bagi umat Nasrani.

Andreas sebenarnya telah mencoba untuk membuat layanan live streaming ibadat dari Gereja Santo Montfort Badau. Hanya saja, jaringan internet Badau seakan tidak bersahabat dengan kondisi saat itu. Andreas menganjurkan kepada umat, lebih baik untuk beribadat melalui siaran langsung Televisi Republik Indonesia dari Gereja Katedral Jakarta ketimbang mengandalkan jaringan internet yang tidak menentu.

“Rasanya sepi gitu, kosong. Biasanya kita sembahyang itu ada umat. Mungkin karena baru, jadi enggak terbiasa. Jadi, saya merasa baiknya misa dengan umat, tetapi karena situasi kita seperti ini mau bagaimana. Dalam artian, situasi memaksa umat di rumah, sedangkan pastor tetap sembahyang di gereja,” kata Andreas.

Kerinduan

Andreas mengatakan, beberapa umat menyampaikan pesan dari rumahnya masing-masing. Ada umat yang merasa rindu untuk kembali beribadat dan berjumpa kembali di gereja, ada pula yang mempertanyakan kapan pandemi Covid-19 ini berakhir. Andreas kerap kali tak menyadari bahwa perayaan Paskah kali ini tanpa umat, hanya berdua saja dengan pastor rekannya.

“Tidak lengkap misa itu tanpa umat, seperti ada yang hilang. Saya karena sudah kebiasaan, saya menyapa umat (seakan-akan ada) dengan sapaan saudara-saudari pada saat beribadat, padahal saat itu saya hanya berdua dengan rekan saya. Saya merasa ada yang kurang,” kata Andreas.

Andreas menyampaikan, ibadat melalui siaran langsung bisa saja dilakukan dalam ajaran gereja, selama situasinya memang tidak mendukung. Inti dari perayaan Paskah sendiri adalah rasa syukur sehingga bisa saja dilakukan bersama keluarga di rumah masing-masing dalam kondisi mendesak seperti sekarang ini. Selama dilayani oleh pastor, maka ibadat tersebut bisa dinyatakan sah.

“Saya meminta umat untuk sabar-sabar dulu-lah karena memang situasi kita memang seperti ini. Memang, ada yang kurang bagi umat bila tidak beribadat bersama pastor,” kata Andreas.

Tantangan

Ia mengungkapkan, adanya tantangan bagi umat mengikuti peribadatan melalui layanan live streaming dengan jaringan internet atau televisi. Satu rumah di daerah Badau bisa ditinggali oleh dua sampai tiga keluarga. Belum lagi yang tinggal di rumah panjang, bisa belasan keluarga dalam satu rumah. Sulit untuk beribadat secara khusyuk dengan suasana yang ramai. Ditambah lagi mereka belum terbiasa beribadat di rumah.

“Kalau di rumah, apalagi ada anak kecil, bolak balik, dia lalu lalang di rumah. Kalau di gereja, mereka bisa dididik untuk bersikap seperti apa di gereja. Coba bagaimana mereka harus beribadat di rumah dengan situasi seperti itu,” kata Andreas.

Masyarakat daerah Badau kesulitan untuk mengakses jaringan internet. Kuatnya sinyal jaringan internet Malaysia sangat menganggu masyarakat daerah tersebut. Beberapa bulan terakhir juga, sinyal jaringan Indonesia di Badau seakan timbul tenggelam. Untuk mengatasi masalah tersebut, Andreas menulis surat untuk dikirim ke kampung-kampung tentang ibadat yang disiarkan oleh Televisi Republik Indonesia.

“Saya menganjurkan umat untuk beribadat lewat televisi. Umumnya, mereka punya televisi semua. Daripada mereka juga ribet, harus beli paket, lebih baik langsung nonton dari Televisi Republik Indonesia,” kata Andreas.

Ia sendiri tetap melakukan ibadat bersama pastor rekannya di gereja dan mendoakan seluruh umat. Andreas mengharapkan, umat bisa menimba sesuatu dari peristiwa ini walaupun merayakan Paskah dari rumah masing-masing. Paskah sendiri, bagi Andreas, memiliki semangat perubahan atas kebangkitan Yesus setelah mengorbankan diri untuk menebus dosa manusia.

“Meskipun dari rumah masing-masing, Paskah sebagai kebangkitan tetap dapat dihidupi di tengah keluarga. Contohnya, karena ada himbauan untuk tinggal di rumah saja, sekarang mereka lebih sering berkumpul, berdoa bersama. Semangat dalam Paskah di tengah pandemi Covid-19 menguatkan satu sama lain, juga memupuk kehidupan rohani, dan mereka belajar sesuatu,” kata Andreas.

Octavianus Bima Archa Wibowo, mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran.