Menjelajahi Film Pendek Karya Anak Bangsa

0
707

 

Tidak ada buku yang tidak bagus, karena setiap buku punya pembacanya masing-masing. Sama halnya dengan sebuah film, setiap film pun akan menemukan penontonnya masing-masing.

Semesta film selalu menjadi hal menarik untuk diperbincangkan, dari sisi produksi, pemilihan ide, distribusi, sampai tahap promosi. Namun jika kamu adalah penikmat film layar lebar, sesekali mungkin kamu harus coba untuk menikmati dan menonton film alternatif berdurasi pendek atau yang lebih dikenal dengan, film pendek. Selain memberikan pengalaman baru dalam menonton film, film pendek memberikan kesan yang berbeda dengan film layar lebar.

Kognisi yang merupakan salah satu program Kompas Gramedia, mengadakan diskusi film yang bertajuk SERASI (Sore Seru Bareng Kognisi) di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah, Jakarta (12/2/20). Diskusi ini dihadiri pula oleh Lulu Ratna sebagai moderator dan Wregas Bhanuteja sebagai sutradara Tak Ada Yang Gila Di Kota Ini.

Diskusi SERASI kali ini menyajikan beberapa film pendek diantaranya, Melangun (Wisnu Dewa,UMN), Rancak (Kemberly Dilois,UMN), Life of Death (Bryan Arfiandy,UMN) dan Film Tak Ada Yang Gila Di Kota Ini (Wregas Bhanuteja).

Sesi pertama, penonton disuguhkan film karya sutradara muda Wregas Bhanuteja Tak Ada Yang Gila Di Kota Ini . Sejatinya film ini merupakan adaptasi dari antologi cerpen milik Eka Kurniawan dengan judul sama. Film yang meraih penghargaan kategori Film Pendek Terbaik pada ajang Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2019 ini sontak membuat penonton bertanya-tanya karena jalan ceritanya membingungkan.

Film yang berdurasi 20 menit tersebut bercerita tentang fenomena penangkapan orang-orang dengan gangguan jiwa dan penyalahgunaan kekuasaan atas orang-orang tersebut. Aktor Oka Antara (Marwan) yang ikut serta dalam film ini menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton, itu film ini juga diperankan oleh aktor dan aktris lain seperti Sekar Sari (wanita nanas), Jamaluddin Latif (pria kolor), Rere Rully Ismada (ibu sapi) dan Gabriel Gradi (pria rapi), Pritt Timothy (Pemilik Hotel), Ibnu Widodo dan Kedung Dharma (rekan Marwan).

Wregas mengungkapkan, ada beberapa adegan di cerpen yang tidak ditayangkan di film, karena menurutnya sangat tidak mungkin dan tidak cocok untuk di filmkan. Daerah Gunung Kidul menjadi lokasi pilihan untuk pembuatan film tersebut, selain terdapatnya pantai dan hutan yang sesuai dengan gambaran lokasi di cerpen, Gunung Kidul menjadi daerah yang paling banyak terdapat orang yang mengidap gangguan jiwa.

“Sebelumnya kita udah riset sama Mas Tomo Hartono dan seorang Dian mahasiswa Psikologi di Yogyakarta, dari riset itu kita jadi tahu kalau banyak pengidap gangguan jiwa itu tidak diperlakukan secara manusiawi. Ada yang dipasung oleh keluarganya dan ada juga yang di kandangin,” kata Wregas.

Ia menceritakan, adanya adegan bermain dalam filmnya sebenarnya tidak ada dalam cerpen. Regas memeberikan latar orang sedang bermain dalam film ini dengan tujuan mempertanyakan sesuatu yang diluar realita. Maksudnya, perenungan atas penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh tokoh utama Marwan (Oka Antara) lebih memilih diam dan memandam kemarahan akibat situasi yang sedang terjadi disekitarnya.

“Saya sengaja bikin film yang minim dialog, kita milih Mas Oka Antara juga lewat referensi film sebelumnya Sang Penari, dimana ia bisa berbicara lewat dialog mata dan itu memilik pesan tersendiri,” katanya.

Saat pengambilan gambar dari dekat, beberapa pemeran yang berlatar belakang dari dunia teater panggung yang terlalu ekpresif menjadi tantangan tersendiri bagi Regas sebagai sutradara, karena harus dilakukan beberapa kali agar dapat ekpresi yang pas. Terlebih ia harus memikirkan berulang kali tentang cara berkomunikasi orang yang memilki gangguan jiwa agar dapat diperankan dalam filmnya.

Beberapa penonton pun ikut bertanya tentang proses dan maksud dari film Tak Ada Yang Gila Di Kota Ini. Ada yang menanyakan apa maksud turis-turis yang datang dari luar negeri itu malah memberi perhatian kepada orang yang memilki gangguan jiwa. Wregas menjelaskan, setiap karakter dari film ini memilki tujuannya masing-masing, dan turis-turis yang ada di film mereka memberi gambaran bahwa apa yang selama ini dianggap tabu di budaya barat mereka dapat lampiaskan itu di Indonesia. Karena dengan meluapkan emosinya mereka rela membayar berapapun itu walaupun diluapkan kepada orang yanvg memiliki gangguan jiwa.

Setelah berdiskusi dan bertanya soal film Regas, di sesi selanjutnya penonton diajak ikut menyaksikan beberapa film pendek karya mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang juga berprestasi di ajang FFI 2019. Film Rancak yang bergenre animasi komedi mendapat sambutan meriah dari penonton, disamping memiliki sisi lucu, film ini mengangkat budaya Minangkabau tentang pembuatan rendang pada zaman dahulu yang disajikan untuk para dewa. Walaupun tidak diisi dialog, namun film ini seolah berbicara kepada penontonnya tentang maksud dan tujuan yang ingin disampaikan. Jalan cerita yang disajikan pun ringan dan seru.

Selanjutnya film yang berjudul Life of Death, film karya mahasiswa UMN ini mengambil sudut pandang kehidupan malaikat maut. Dimana kehidupannya sehari-hari sebenarnya sama dengan kehidupan manusia pada umumnya seperti menikah, punya anak, tidur, bosan, plin-plan, bahkan menggemari sebuah klub sepakbola. Bedanya ia memilki pekerjaan khusus yaitu mencabut nyawa seseorang. Film ini membuat kita bertanya-tanya sambil membayangkan, siapa tahu kehidupan malaikat maut itu selayaknya sama seperti kehidupan manusia?

Yang terakhir adalah film yang berjudul Melangun, film yang di sutradari oleh Wisnu Dewa Broto bergenre fiksi. Film ini mengangkat budaya Melangun yang biasa dilakukan oleh suku rimba Anak Dalam di Provinsi Jambi. Budaya Melangun sendiri adalah budaya untuk menghindari konflik antar sesama anggota suku dan masyarakat tamu diluar suku.

Dalam proses pembuatannya, film ini sempat tertunda selama 3 tahun hingga akhirnya rampung dikerjakan pada tahun 2019. Diceritakan, sebuah keluarga hidup di pedalaman hutan Jambi yang bersahabat dengan alam, setiap hari mereka hidupnya sangat bergantung kepada alam. Namun adanya pemburu liar dan penebang pohon membuat mereka marah, karena hutan yang sudah menjadi tempat hidup yang diwariskan nenek moyang menjadi rusak. Melangun merupakan tradisi suku Anak Dalam untuk menghindari konflik-konflik tersebut, karena mereka punya kepercayaan kalau alam rusak maka manusia pun juga akan terkena dampaknya.

“Mereka itu punya aturan, dimana setiap pohon di hutan itu ada pemiliknya. Jadi bukan luas hutan ataupun lahan, tapi setiap pohon pun ada yang punya,” kata Prasta penulis naskah film Melangun pada acara SERASI di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah, Jakarta (12/2/20).

Diskusi Film “Melangun” yang mengangkat budaya Melangun suku rimba Anak Dalam di Provinsi Jambi yang diwakiki oleh penulis naskah Prasta dan dipandu oleh LuLu Ratna.

Film ini sama sekali tidak menggunakan alat pencahayaan dalam proses pengambilan gambar, karena semua pencahataan berasal dari alam yaitu matahari, api unggun dan lampu teplok. Film ini syarat akan pesan agar bersama-sama menjaga hutan dan menghindari adanya potensi konflik yang terjadi akibat penguasaan lahan.

Diskusi film Melangun dihadiri oleh penulis naskahnya Prasta. Beberapa penonton yang penasaran pun bertanya tentang mengapa film ini terkesan sangat gantung dan tidak memilki tujuan yang jelas.

“Film ini memang sengaja tidak ada akhir atau jawaban, karena harus terus berjalan dan tidak puas seolah tidak mendapat-apa,” kata Prasta menjawab pertanyaan dari salah satu penonton.

Ketika ditanya moderator bagaimana tanggapannya setelah masuk dalam nominasi Film Pendek Terbaik FFI 2019, Prasta menjawab, membuat film pendek itu sulit, namun ia bersyukur masih dapat terus membuat film-film lain dan yang paling penting adalah film yang ciptakan dapat menemukan penontonnya walaupun tidak masuk festival.

Film-film pendek dapat menjadi tontonan alternatif bagi para penikmat film, selain tidak membutuhkan durasi yang begitu panjang, film tipe ini memiliki pesan-pesan yang lebih dalam dan khusus, berbeda dengan film-film layar lebar.

Industri film pendek di Indonesia menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengggiat film dan filmmaker. Ditambah adanya festival film pendek di tingkat nasional maupun internasional menjadi pelabuhan para pemburu dan pembuat film pendek.

Penulis: Rakha Arlyanto Darmawan, Mahasiswa Universitas Padjadjaran,Fakultas Sosial dan Politik, Program Studi Ilmu Pemerintahan yang sedang magang di Kompas Muda