Sebagian besar warga Jawa Timur sudah mengetahui tentang Maha Vihara Mojokerto, sebuah vihara yang terkenal dengan wisata Buddha Tidur ini. Vihara yang terletak Jl. Raya Trowulan, Siti Inggil, Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, yang dapat ditempuh dengan mobil atau sepeda motor dengan estimasi waktu 45 menit.
Maha Vihara Majapahit itu dibangun pada tahun 1987 oleh Bhikkhu Viriyanadi MT, dan pada tanggal 31 Desember 1989 diresmikan oleh Soelarso, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur. Bangunan dengan luas lahan lima hektar ini, pada awalnya hanya berfungsi sebagai tempat beribadah umat agama Buddha. Tetapi sekarang juga sebagai objek wisata yang dapat dikunjungi.
Setiap hari dari pagi hingga sore pengunjung berdatangan. Ketika ingin berwisata ke Maha Vihara, kita hanya perlu menyiapkan isi kocek sebesar Rp. 4.000 (dewasa) dan Rp. 3.000 (anak-anak), dan biaya parkir Rp. 3.000 (sepeda motor) Rp. 10.000 (mobil).
Patung Buddha Tidur yang menjadi ikon dari Maha Vihara Majapahit ini dibangun pada tahun 1993. Ia memiliki ukuran panjang 22 meter, tinggi 4,5 meter, dan lebar enam meter. Jadi pada tahun 2001 patung tersebut mendapatkan penghargaan MURI, sebagai Patung Buddha terbesar di Indonesia.
Patung itu sebagai penggambaran momen ketika Sang Buddha akan meninggal, jadi seharusnya penyebutan yang tepat untung patung ini adalah Buddha Maha Parinibbana. Sekeliling patung terdapat relief mengenai perjalanan Buddha dalam mengajarkan dharma (pada bagian depan), dan mengenai hukum sebab akibat atau hukum karma (pada bagian belakang). Dahulu pada bagian bawah patung bisa digunakan untuk bermeditasi, tetapi sekarang sudah tidak, sehingga pengunjung hanya bisa melihat dengan jarak sampai pagar saja.
Vihara yang dibangun pada tahun 1987 ini sebenarnya memiliki banyak hal yang menarik, selain Patung Buddha Tidurnya. Salah satu hal yang menarik di area Maha Vihara adalah soal model bangunan-bangunannya.
Seringkali orang berpikir jika Buddha kental dengan arsitektur yang bergaya China, tapi berbeda yang ada di Maha Vihara. Bangunannya bergaya joglo yang merupakan rumah tradisional Jawa, karena pada dasarnya dulu di Indonesia pengajaran Buddha yang diajarkan mengikuti adat dan budaya yang ada di Kerajaan Majapahit.
Hal itu dijelaskan oleh Suyono, salah satu pandita yang bertugas di Maha Vihara Majapahit. Beberapa bangunan yang memiliki gaya adat Jawa yang kental adalah Bangunan Darmasala, Bangunan Dewa Empat Wajah, dan Rumah Abu.
Salah satu ruang yang paling besar dan mencolok adalah ruang Darmasala, karena ruangan ini adalah bangunan utama di vihara tersebut. Bangunan Darmasala tidak boleh dimasukki oleh orang umum, sebab bangunan itu digunakan untuk melakukan puja bhakti.
Mungkin eksterior vihara itu kurang terlihat tetapi ketika memasukki ruang akan terasa sekali adat Jawanya, dengan empat kolom dan atap ekspos yang mirip seperti joglo. Bentuk joglo itulah yang menjadi daya tarik tersendiri. Dengan adanya empat kolom, dengan ukiran khas jawa bewarna emas, dan yang kedua adalah atap ekspos yang tinggi yang membuat nilai estetiknya bertambah.
Bentuk bangunan yang demikian menambah kesan megah, dan membuat orang yang masuk seperti tunduk, hormat, dan aman. Seperti halnya ketika memanjatkan doa akan ada rasa hormat dan tunduk, sekaligus mendapatkan rasa aman dan damai didalam hati.
Bangunan Maha vihara adalah salah satu bukti yang jelas bahwa perbedaan bukanlah suatu hal yang buruk. melainkan sesuatu yang indah jika bisa saling melengkapi
Warna yang dihadirkan didalam interior ruangan tersebut adalah putih dengan ornamen bewarna emas. Putih melambangkan kekudusan dan kesucian, sementara dengan warna emas yang melambangkan kemakmuran di adat Jawa dan melambangkan kebijaksanaan pada agama Buddha.
Bangunan Maha vihara adalah salah satu bukti yang jelas bahwa perbedaan bukanlah suatu hal yang buruk, melainkan sesuatu yang indah jika bisa saling melengkapi. Jika tidak adanya suatu perbedaan ini, tidak akan menciptakan suatu kolaborasi yang kaya akan nilai dan keindahan.
Satu bukti yang menyatakan bahwa agama dan adat atau budaya bisa bersatu, dan menjadi sebuah harmoni yang indah dan terasa nyaman dihati. Sama seperti masyarakat Indonesia yang majemuk, tetapi jika bersatu akan membentuk sebuah kekuatan yang tak terkalahkan dan menghasilkan hubungan yang memancarkan suatu keindahan.
Juanita Priscilla, mahasiswa Program Studi Desain Interior Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra Surabaya