Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menurunkan kembali batasan nilai pembebasan bea masuk (de minimis value) impor barang kiriman dari 75 dolar AS (USD) menuju tiga (3 USD) atau menjadi sekitar Rp 42.000. Hal ini tentu saja memunculkan pro- kontra di beberapa kalangan masyarakat.
Ada yang menyambut dengan gegap gempita, ada pula yang memberikan kecaman. Tak berpihak kepada konsumen katanya. Jika memang benar begitu, mengapa pemerintah melakukan langkah tersebut?
Bentuk respon
Langkah tersebut sejatinya merupakan sebuah bentuk respon pemerintah dari aspirasi pelaku industri dan usaha yang menginginkan adanya kesetaraan dalam berbisnis. Perlu diketahui bahwa pada tahun 2019 terdapat 49,69 juta paket dari luar negeri yang masuk Indonesia.
Angka ini meningkat tajam dibandingkan tahun 2018 lalu. Waktu itu terdapat 19,57 juta paket yang masuk. Artinya, banyak pelaku usaha lokal seperti pengusaha tas, sepatu, maupun tekstil yang terpaksa gulung tikar akibat tidak mampu bersaing. Terlebih adanya perang dagang Amerika Serikat dan China yang semakin meluas dan berdampak ke sektor industri kosmetik.
Hal itu membuat para pelaku usaha menuntut pemerintah untuk melindungi produk-produk dalam negeri dan menciptakan kesetaraan pelaku usaha baik pelaku usaha online maupun offline.
Revisi aturan lama
Penurunan batas nilai pembebasan bea masuk yang dilakukan pemerintah Indonesia tersebut sejatinya merevisi peraturan yang ada sebelumnya. Lebih tepatnya PMK nomor 112 tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman. Jika pada pasal 13 PMK 112 menyatakan bahwa batas nilai pembebasan bea masuk adalah sebesar 75 USD maka pada aturan terbaru batas nilai pembebasan bea masuk adalah sebesar tiga USD.
Mayoritas impor barang kiriman bernilai di bawah 75 USD sedangkan rata-rata impor barang melalui platform e-dagang bernilai 3,8 USD. Dengan demikian, pemerintah menurunkan batas nilai pembebasan bea masuk menjadi 3 USD per kiriman.
Selain bea masuk, pemerintah juga menyesuaikan tarif pungutan pajak dalam rangka impor (PPDI) yang terdiri dari bea masuk, PPN, dan PPh. Penyesuaian tarif ini masing-masing dikenai sebesar 7,5 persen untuk bea masuk, PPN 10 persen, dan PPh sebesar 0 persen.
Usut punya usut pembedaan tarif ketiga jenis barang tersebut disebabkan karena banyak sejumlah perajin tas dan sepatu di Indonesia yang gulung tikar
Jika dilihat dari ketiga tarif ini, hanya PPh yang mengalami perubahan yang awalnya sebesar 10 persen untuk wajib pajak (WP) yang mempunyai NPWP atau 20 persen untuk yang tidak ber-NPWP. Dengan demikian setiap masyarakat yang melakukan impor barang kiriman akan dikenai tarif sebesar 17,5 persen per kiriman.
Perlu diketahui bahwa, tarif 17,5 persen hanya dikenakan untuk impor barang-barang bersifat umum selain tas, sepatu, dan produk hasil tekstil. Lho kenapa bisa begitu? Usut punya usut pembedaan tarif ketiga jenis barang tersebut disebabkan karena banyak sejumlah perajin tas dan sepatu di Indonesia yang gulung tikar dan hanya menjual produk asal China, sehingga diperlukan adanya penyesuaian khusus tarif bea masuk dan PPh untuk ketiga jenis barang tersebut.
Bea masuk yang dimaksudkan untuk ketiga jenis barang tersebut sebesar 15 sampai dengan 20 persen untuk tas, 25 sampai dengan 30 persen untuk sepatu, dan 15 sampai 20 persen untuk tekstil. Sedangkan untuk PPh dikenai 7,5 sampai dengan 10 persen, sehingga tarif PDRI untuk ketiga jenis barang tersebut sebesar 32,5 sampai dengan 40 persen untuk tas, 42,5 sampai 50 persen untuk sepatu, dan 32,5 sampai 45 persen untuk tekstil.
Walau menuai pro-kontra, kendatinya aturan ini diberlakukan dengan adanya harapan bahwa para pelaku industri lokal dapat meningkatkan skala produksi mereka. Selain itu dengan adanya penurunan batas nilai pembebasan bea masuk ini diharapkan akan mengurangi praktik penyalahgunaan yang masih kerap terjadi terutama praktik under-invoicing yang masih kerap terjadi. Jika industri lokal menjadi sehat, kita yang diuntungkan juga bukan?
Ibnu Abrar, mahasiswa Politeknik Keungan Negara STAN Jakarta
Comments are closed.