Ide Atasi Limbah Batik dengan Limbah Botol Plastik Ke Ajang Hult Prize Regional 2020

0
381

Batik merupakan warisan budaya Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai salah satu Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Non Bendawi pada 2 Oktober 2009. Sepuluh tahun pasca momentum tersebut, perkembangan bisnis batik terus melesat. Selain untuk pemakaian di dalam negeri, batik juga menjadi salah satu komoditi ekspor yang menghasilkan pemasukan puluhan juta dolar pertahun.

Namun di balik beragam motif dan warna batik Indonesia, ada persoalan yang memprihatinkan, pencemaran limbah batik menjadi tanggungan berat bagi masyarakat sekitar rumah produksi. Bahkan masalah tersebut memberikan dampak besar pada kerusakan ekosistem sungai, pencemaran air tanah di pemukiman.

Bidang pertanian juga ikut terganggu, dan air terus mengalir ke laut dari sungai-sungai yang tercemar.  Industri batik masih menjadi oknum nakal yang membuang air limbahnya ke lingkungan tanpa diolah dengan dalih keterbatasan tempat, dana, dan penguasaan teknologi.

Disisi lain, Indonesia juga menjadi negara terbesar ke-empat sebagai pengguna botol plastik di dunia. Menurut data IBWA (International Bottle Water Association), ada sebanyak 4,82 miliar botol plastik yang digunakan oleh 259 Juta penduduk Indonesia sebagai konsumen air minum dalam kemasan pertahun. Jika satu botol memiliki berat 40 gram untuk ukuran botol satu liter, maka akan didapat 192.800 ton limbah botol plastik jenis PET (polyethylene terephthalate) dengan lambang 1. Mirisnya hingga saat ini tidak ditemukan data tentang upaya konkret terkait daur ulang botol plastik di Indonesia.

Berangkat dari masalah di atas, dua mahasiswi Indonesia, Aryanis Mutia Zahra (Mutia menjadi penggagas ide serta ketua tim, dari Institut Pertanian Bogor) dan Nur Rahmawati Ayukaryana (Ayu, anggota tim, Institut Teknologi Bandung) mencoba mengolah air limbah industri batik dengan aerogel sebagai filter yang dibuat dari daur ulang plastik jenis PET.

Poster Tantangan Hult Prize 2020

Kedua mahasiswi itu lalu membentuk tim bernama Mhaerofilter bersama Hua Yajun (Hua, anggota tim, dari Dalian University of Technology China) dan Miki Tatsuma (Miki, anggota tim, dari TUAT Jepang). Mereka mengikuti ajang Hult Prize yang diselenggarakan di Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT) pada Agustus 2019). Mhaerofilter menjadi juara pertama setelah bersaing dengan 20 tim lain, selanjutnya mereka berhak lolos ke ajang Hult Prize Regional.

Ketika ditanya perasaan saat Mhaerofilter dinyatakan menjadi juara pertama dan lolos ke ajang Hult Prize Regional, Ayu menjawab, “Kami masih ingat bagaimana kami berganti ide terus menerus. Akhirnya kami memutuskan mengangkat permasalahan pada industri batik, sekaligus sebagai upaya mempromosikannya,”.

Ia mengenang kala itu ia dan kawan-kawannya hanya sekelompok mahasiwa berbasis teknik dengan pengetahuan bisnis yang minim. “Kami semua terdiam dan gemetar saat terpilih sebagai pemenang, namun kami akan melakukan yang terbaik untuk mewujudkan ide yang berdampak bagi masa depan. To save water, save heritage, and save the future,” tambahnya.

“Kita memiliki potensi 1,15 juta aerogel yang dapat dihasilkan jika kita berhasil mengkonversi limbah botol plastik pertahun,” tambah Mutia. Ia menyampaikan, tiap satuan PET aerogel dapat menyaring 524 liter limbah air dan 0,6 kilogram kandungan lilin yang dihasilkan oleh industri batik selama satu minggu. Jumlah tersebut dapat digunakan kembali dalam produksi batik atau dapat dibuang ke lingkungan dengan lebih aman.

harga tiap satuan aerogel sebagai filter penyaring akan dipasarkan dengan harga yang murah jika dibandingkan dengan instalasi pengolahan limbah

Mutia memperkirakan, Indonesia membutuhkan 2,65 Juta PET aerogel pertahun. “Kemudian harga tiap satuan aerogel sebagai filter penyaring akan dipasarkan dengan harga yang murah jika dibandingkan dengan instalasi pengolahan limbah,” imbuhnya. Oleh karena itu ia berharap Mhaerofilter dapat dijangkau oleh industri batik di berbagai skala unit usaha.

Temuan tersebut diyakini akan mendukung semangat mempromosikan batik secara global sebagai eco-friendly fashion. Langkah pertama dalam promosi tersebut adalah berupaya maksimal dalam ajang Hult Prize Regional di awal tahun 2020 mendatang. Mutia bersama tim Mhaerofilter masih menunggu pengumuman di negara mana mereka akan bersaing kembali.

20 tim berkompetisi di Hult Prize kampus TUAT

Hult Prize adalah kompetisi tahunan terbesar skala internasional yang menantang seluruh pelajar perguruan tinggi di dunia untuk mencari solusi terbaik dari berbagai masalah terkait SGD (sustainable development goals). Tema Hult Prize tahun 2020 adalah “Building Startups That Have A Positive Impact on Our Planet with Every Dollar Earned.”

Kompetisi Hult Prize Regional akan diadakan di 27 Negara, dan tim yang memenangkan kompetisi di tiap negara tersebut berhak lanjut ke Program Akselerator di Boston pada musim panas tahun depan. Pada akhirnya, enam tim terbaik dalam program akan dipilih untuk melakukan pitching di New York dengan peluang memenangkan hadiah sebesar USD 1 Juta untuk memulai bisnis.

Aryanis Mutia Zahra, Mahasiswi Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor – Anggota Program Pertukaran Pelajar Tokyo University of Agriculture and Technology Tahun 2019/2020, Jepang