Dalam rangka Hari Anak Perempuan Internasional, lima anak perempuan mengambil alih menjadi seorang pemimpin selama sehari pada 9 Oktober 2019 lalu. Kegiatan tahunan #GirlsTakeover atau Sehari Jadi Pemimpin yang digagas oleh Plan Indonesia ini diselenggarakan untuk menyampaikan bahwa anak perempuan juga bisa memimpin. Posisi yang digantikan oleh anak muda ini adalah Menteri Komunikasi dan Informatika, Managing Director Google Indonesia, Duta Besar Swedia, Pemimpin Redaksi Jakarta Post dan Pemimpin Redaksi Media Indonesia.
Tahun ini, tema yang diangkat mengenai representasi anak perempuan di media. Riset yang dilakukan oleh yayasan Plan Indonesia berhasil membuktikan bahwa gambaran fisik perempuan lebih sering digambarkan negatif. Sementara laki-laki sering digambarkan sebagai pemimpin. Belum ada keseimbangan dalam representasi gender di media, khususnya di Indonesia.
“Karena jika tidak ada keadilan, setengah dari bumi ini tidak akan bisa maju. Seandainya ini bisa ditingkatkan, angka partisipasi liberal perempuan bisa lebih tinggi. Tidak hanya menjadi pemimpin masa depan, tapi juga masa kini,” terang Nazla Mariza, Communication and Influencing Director Plan Indonesia pada Kamis (10/10/2019).
Perbedaan antar gender dirasarkan oleh Manda (16) dari Bogor. Pemilihan ketua osis yang didominasi laki-laki membuatnya merasakan suara anak perempuan dirampas. Hal ini membuatnya tergerak untuk membantu dan menyemangati anak perempuan dalam mengekspresikan diri mereka masing-masing.
Usai berkesempatan menjadi pemimpin redaksi surat kabar Jakarta Post, ia menitipkan beberapa pesan yang ingin ia sampaikan mengenai presentasi perempuan dalam media.
“Pesan utama yang saya sampaikan itu tolong tunjukan di media kalau perempuan itu bisa melakukan apapun tanpa di batasi, karena kita mempunyai hak yang sama. Representatif anak perempuan harus di perbanyak lagi supaya bisa menyemangati anak-anak lainnya untuk bisa melakukan hal yang hebat lainnya. kita pasti punya talenta sendiri-sendiri,” ujarnya.
Kurangnya representasi perempuan juga berdampak pada pengetahuan anak-anak tentang gender. Seperti yang dialami oleh Sabrina (15) asal Blitar, Jawa Timur yang pernah merasakan cara bermain anak laki-laki yang kurang sopan. Hal inilah yang mendorongnya untuk mendukung teman-teman sebayanya lewat edukasi kesehatan organ reproduksi dan menyuarakan kesetaraan gender.
“Waktu SD, Sabrina bingung, kenapa sih anak laki-laki kok nyibakin rok anak perempuan. Sejak saat itu Sabrina tergerak untuk memotivasi teman-teman lain lewat Osis dan Forum anak kabupaten Blitar dan RP3A kabupaten Blitar. Sabrina ingin menyuarakan bahwa sebenarnya kita semua setara,” urainya setelah menggantikan Managing Director Google sehari.
Suara perempuan
Mengikuti program ini untuk menyuarakan hak teman-temannya, Naura (17) peduli dengan minimnya wadah bersuara bagi anak perempuan. Bercita-cita sebagai seorang jurnalis, ia berkesempatan menjadi pemimpin redaksi surat kabar di Media Indonesia selama sehari. Tidak hanya seputar anak perempuan, ia juga menyampaikan pesan aspirasi yang telah ia telah kumpulkan dari teman-temannya mengenai urgensi air bersih di Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Alasan ingin ikut acara ini adalah salah satu wadah buat Naura sendiri sebagai anak perempuan menyuarakan apa yang perlu di suarakan khususnya di media. Selain itu juga kesempatan untuk meningkatkan potensi di bidang kepemimpinan,” ujar pencetus komunitas Magelang Cerita dan Duta Baca Kabupaten Magelang ini.
Lain cerita yang dialami oleh Riska (15) yang berkesempatan menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika menggantikan Rudiantara selama satu hari. Dimulai dari menjadi pembicara di wisuda, kunjungan media hingga mengikuti rapat di istana wakil presiden.
“Kemarin seharian bersama bapak (Rudiantara) menjalankan tugasnya. Saat mengikuti kegiatan di istana wakil presiden, aku melihat langsung bapak Jusuf Kalla di depan mata. Serasa melihat gambarnya padahal ini asli ha ha ha,” ujar pelajar asal Lembata, Nusa Tenggara Timur ini.
Tidak hanya menjadi pemimpin selama program, anak muda yang berpartisipasi juga sudah menjadi pemimpin di daerah asalnya masing-masing. Seperti yang dilakukan oleh Wafi (17) asal Surakarta, Jawa Tengah. Ia memiliki komunitas Dream Operation untuk menolong pelajar yatim piatu dan dhuafa lewat bimbingan belajar gratis. Dia dan dua temannya juga memprakarsai pengajaran beragam pelajaran sekolah seperti matematika, sains dan bahasa Inggris.
“Saat kunjungan ke panti asuhan, semua terkesima saat aku pembukaan pakai bahasa inggris. Ternyata mereka belajar bahasa inggris, tapi merasa tidak terbantu dengan pelajarannya di sekolah. Aku diberi kelebihan bidang akademik, maka aku merasa punya tanggung jawab lebih untuk membuat orang lain memiliki pengetahuan yang sama dengan aku lewat komunitas ini,” ujar Wafi yang berkesempatan untuk menggantikan Duta Besar Swedia.
Menyuarakan suara bagi kaum yang tidak bisa bersuara dan membutuhkan bantuan adalah tindakan mulia yang penting dilakukan. Sama seperti kesetaraan gender, belum ada edukasi yang sesuai untuk anak-anak. Diharapkan lewat edukasi di media semua orang bisa semakin sadar akan pentingnya kesetaraan hak asasi manusia, lepas apapun status dan gender yang dimiliki.
Nashya Tamara, mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurusan Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara dan Pingkan Debora Phrily Kaligis, Fakultas Humaniora, Jurusan Hubungan Internasional, Bina Nusantara University, saat ini sedang magang di Kompas Muda Harian Kompas.