Bebas: Ramuan Nostalgia-Komedi yang Tak Setengah Hati

0
263

Ketika mendengar film “Sunny” akan diadaptasi menjadi film Indonesia, saya antusias sekaligus khawatir. Antusias karena film ini merupakan film dengan tema persahabatan yang tidak klise dan membumi. Khawatir karena banyak film lokal soal persahabatan yang gagal membangun senyawa antar pemainnya. Alhasil, film-film tersebut pun jadi kentang alias kena tanggung.

Namun nyatanya, Miles Films berhasil menjawab ekspektasi dan kekhawatiran penonton Indonesia seperti saya. “Bebas” mampu menyuguhkan adaptasi hampir sempurna dari film “Sunny” yang sukses membuat penonton lokal menelusuri lorong waktu ke masa-masa SMA.

Sinopsisnya memang tak jauh berbeda dengan film aslinya. Film “Bebas” berkisah soal Vina (Marsha Timothy) yang tak sengaja bertemu kembali dengan Kris (Susan Bachtiar), sahabatnya semasa SMA, yang ternyata dalam keadaan sekarat. Kondisi ini membuat Kris meminta tolong kepada Vina untuk menemukan anggota geng masa SMA yakni geng Bebas. Pencarian ini jadi awal persatuan sekumpulan orang yang ternyata sudah tak sepenuhnya sama.

Salah satu kesulitan film remake adalah membuat penonton tetap betah di kursi bioskop padahal mereka sudah mengetahui jalan cerita film tersebut. Tentu saja yang membuat betah adalah racikan kejutan menarik di dalam film. Di film ini, para penulis naskah yakni Mira Lesmana dan Gina S. Noer patut diacungi dua jempol karena mampu menghadirkan adaptasi seimbang dari kehidupan remaja Korea Selatan di film “Sunny” dengan remaja Indonesia.

Fenomena gencet-gencetan antar geng, titip salam melalui acara radio, membuat koreografi untuk tampil di acara sekolah, dan berbagai hal dihadirkan tanpa bumbu berlebihan sehingga penonton akan sering terpancing mengafirmasi kejadian tersebut dengan kehidupan pribadinya.

Tak disangka, film ini juga sukses mengocok perut dengan punchline komedi yang asyik. Para pemeran terlihat natural tanpa terlihat berusaha menjadi jenaka. Hal ini sekaligus membuktikan kualitas akting para aktris dan aktor di dalamnya. Mulai dari pemeran dewasa, remaja, bahkan hingga figuran sekalipun terlihat tak dipilih secara asal.

Beberapa penampilan pemeran sampingan seperti Sarah Sechan, Dea Panendra, dan Tika Panggabean juga memperkaya rasa dari film “Bebas”. Meski hanya tampil dalam durasi yang terhitung sedikit, para aktris ini tetap membekas alias tak sekadar lewat. Sekali lagi, semuanya terasa pas.

Pemeran geng Bebas dewasa (Indy Barends, Susan Bachtiar, Marsha Timothy, Widi Mulia, dan Baim Wong) bersama dengan kedua penulis naskah film “Bebas” yakni Mira Lesmana dan Gina S.Noer, Jakarta Selatan, Sabtu (14/09/2019). (Foto: Diana Valencia)

Dalam sebuah film bertema persahabatan, kekompakkan para pemain di dalamnya merupakan salah satu indikator yang wajib ditelaah. Geng Bebas remaja ternyata tak bisa dianggap remeh. Meski berisikan para pendatang baru dan bintang muda di ranah perfilman Indonesia, mereka semua tampil maksimal dengan senyawa yang luar biasa. Sheryl Sheinafia, Maizura, Agatha Priscilla, Zulfa Maharani, Lutesha, dan Baskara Mahendra seolah memang sudah berkawan sejak lama. Tak ada rasa canggung yang hadir ketika mereka berdialog, berjoget bersama, atau bahkan saling lontar ejekkan.

Semua memiliki karakter pakem yang punya keunikan sendiri, terutama Sheryl Sheinafia yang tampil sebagai Kris semasa muda. Ia berhasil memberikan impresi yang tak mudah dilupakan sebagai seorang pemimpin geng. Ia sukses menjadi pembawa suasana yang terlihat konsisten pada karakternya yang kuat dan tak kenal takut.

Geng Bebas remaja nampaknya dapat menebus dosa sang sutradara, Riri Riza, ketika cukup banyak mendapatkan kritikan di film Ada Apa Dengan Cinta 2. Pasalnya di film AADC 2, geng Cinta yang digambarkan sudah berkawan selama belasan tahun memang terlihat kurang meyakinkan. Alih-alih sebagai sahabat lama, geng Cinta tampak sebagai sahabat yang sudah lama tidak bertemu, tidak dekat dan terlalu kaku. Kali ini, Riri nampaknya boleh berbangga soal racikan geng Bebas yang berhasil menjadi regenerasi geng Cinta AADC.

Tak ada gading yang tak retak dan begitu juga film ini. Meski nyaris sempurna, film “Bebas” di perempat film rasanya agak terburu-buru dalam bercerita terutama soal alasan mengapa geng Bebas yang sehidup semati itu bisa berpisah. Namun, eksekusi yang terburu-buru ini diselamatkan oleh tiga perempat bagian awal film yang sangat apik untuk dinikmati.

Film ini boleh jadi tontonan wajib bagi para generasi 90-an yang hendak mengenang masa-masa remaja khususnya SMA. Film yang akan rilis pada 3 Oktober mendatang ini mampu mengajak para penonton kembali merasakan gejolak naif dan nekat khas anak muda. Selain itu, “Bebas” cukup jadi pengingat ampuh bahwa kata ‘selamanya’ dan frasa ‘tak pernah berubah’ adalah sebuah kemustahilan dalam hidup.

Diana Valencia, Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara