Konflik Pemakaian Cantrang di Laut Marabatuan, Kotabaru

55
912

Apabila kapal-kapal cantrang ini terus dibiarkan, sama saja dengan mematikan kehidupan masyarakat di sini,” ujar Burhan (44), Ketua Nelayan Marabatuan, Kecamatan Pulau Sembilan Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan saat di wawancara Tim mahasiswa KKN-PPM Universitas Gadjah Mada Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Pertengahan Juli lalu masyarakat Pulau Marabatuan, Kecamatan Pulau Sembilan, dikejutkan dengan  insiden antara kapal cantrang dengan kapal penduduk setempat. Berdasarkan informasi yang dihimpun anggota KKN-PPM UGM Marabatuan, kapal aparatur desa yang hendak mendekat ke kapal cantrang dilempari dengan balok-balok es. Tidak ada korban jiwa, namun insiden tersebut memicu emosi masyarakat setempat. Ini tidak terlepas dari berbagai insiden yang sebelumnya juga sering terjadi.

Konflik masyarakat Pulau Marabatuan dengan kapal cantrang sudah berlangsung sejak lama. Kapal-kapal tersebut berdatangan ke Pulau Sembilan yang dikenal sebagai kawasan lumbung ikan di Kalimantan Selatan. Imbasnya, persediaan ikan di Pulau Sembilan dan sekitarnya kini semakin berkurang dan merugikan penduduk setempat. Terutama warga Marabatuan yang mayoritas bergantung pada hasil laut.

Dasar hukum

Cantrang merupakan jenis Alat Penangkap Ikan (API) berbentuk jaring yang telah lama dikenal oleh masyarakat nelayan. Cantrang digolongkan sebagai kelompok pukat tarik (seine netz) dan dapat mencapai ukuran sebaran sejauh enam kilometer. Pada 1980 cantrang pernah dilarang pemerintah, tetapi izinnya dikeluarkan kembali di tahun 1997 untuk kapal  dengan ukuran maksimal 5 GT (gross tonnage).

Kapal nelayan Marabatuan pulang. Foto: Cerlang Wilfrid

Cara kerja cantrang dianggap merusak ekosistem. Dalam penggunaannya, cantrang akan menyapu seluruh dasar lautan karena bertujuan menangkap ikan demersial (ikan dasar). Sehingga banyak biota laut tidak layak tangkap yang ikut terjaring, bahkan sampai menghancurkan terumbu karang.

Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informasi, cantrang pada kapal berukuran di atas 30 GT dapat menyapu dasar laut sampai dengan luas 298 hektar. Hal ini tentu menimbulkan kerusakan signifikan pada ekosistem laut.

Melihat dampaknya yang begitu hebat bagi ekosistem laut, tahun 2015 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dipimpin oleh Menteri Susi Pudjiastuti mengambil kebijakan untuk melarang kembali penggunan cantrang. Pelarangan cantrang diatur bersamaan dengan jenis pukat hela (trawls)  melalui Permen KP No. 2 Tahun 2015.

Namun, kebijakan pelarangan cantrang menuai kontroversi  panjang di ruang publik. Sejak 2015, telah terjadi rentetan demonstrasi untuk memprotes kebijakan tersebut. Hal ini disebabkan banyaknya jumlah nelayan yang menggunakan cantrang, terutama di Pulau Jawa. Untuk mengatasi persoalan itu, pemerintah memberikan tenggang waktu bagi para nelayan untuk beralih ke alat tangkap yang dilegalkan. Tapi sampai hari ini masih banyak kapal cantrang beroperasi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di laut Marabatuan.

Observasi anggota KKN-PPM UGM ke kapal nelayan. Foto: Said Ahmad

Alternatif kebijakan

“Sudah berkali-kali kapal cantrang kita tangkap dan kita serahkan ke pemda, tapi di sana pun tidak ada penindakan yang jelas.” Ujar Zulkifli (56), mantan anggota DPRD Kotabaru dalam sosialisasi yang diadakan oleh mahasiswa peserta KKN-PPM UGM.

Sejak 1 Juli 2019, Tim KKN-PPM UGM yang berlokasi di Pulau Marabatuan telah melakukan berbagai observasi dan sosialisasi yang melibatkan masyarakat setempat. Solusi yang sempat ditawarkan tim KKN untuk menyelesaikan persoalan cantrang di Pulau Marabatuan diantaranya dengan melakukan pengawasan persuasif dan membentuk pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas).

Pokmaswas merupakan kelompok masyarakat yang diberikan pelatihan untuk ikut serta mengawasi pemanfaatan sumber daya laut dan perikanan. Hal ini telah diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan Nomor 58 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.

Persaingan

Sampai hari ini, nelayan Marabatuan masih menggunakan peralatan sederhana seperti pancing dan jala. Lebih dari 3.000 warga menggantungkan hidupnya pada tangkapan sehari-hari dari laut. Berbeda dengan 20 tahun lalu, sekarang jumlah tangkapan ikan sangat jauh menurun.

Wilayah yang dulu dikenal sebagai lumbung ikan tersebut, kini tak lagi sekaya dulu. Kini nelayan Marabatuan terpaksa berlayar bermil-mil untuk menangkap ikan dan masih harus bersaing dengan kapal-kapal asing yang datang dari berbagai tempat.

Wawancara anggota KKN-PPM UGM Marabatuan dengan Ketua Nelayan pada Minggu (4/08/2019)

Terlepas dari ketidakpastian hukum dan penegakan aturan yang lemah, kontroversi  cantrang akan terus dibahas. Masyarakat Marabatuan menunjukkan bahwa banyak yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kedepan. Bukan hanya mempertimbangkan ekosistem laut ataupun kebutuhan hidup nelayan cantrang, melainkan juga nasib nelayan-nelayan tradisional seperti di Marabatuan.

Penulis : Eriko Fahri Ginting, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, bagian dari Tim KKN PPM UGM Unit KS-004 Tahun 2019 Kecamatan Pulau Sembilan, Kotabaru, Kalimantan Selatan

Foto : Cerlang Wilfrid, Ilham Akbar, dan Said Ahmad. Tim Publikasi, Design, dan Dokumentasi dari KKN PPM UGM Unit KS-004 Tahun 2019 Kecamatan Pulau Sembilan, Kotabaru, Kalimantan Selatan

Comments are closed.